Trauma masa lalu, membuat Sean Alarick Aldino enggan mengulangi hal yang dianggapnya sebagai suatu kebodohannya. Karena desakan dari ibundanya yang terus memaksanya untuk menikah dan bahkan berencana menjodohkannya, Sean terpaksa menarik seorang gadis yang tidak lain adalah sekretarisnya dan mengakuinya sebagai calon istri pilihannya.
Di mata Fany, Sean adalah CEO muda dan tampan yang mesum, sehingga ia merasa keberatan untuk pengakuan Sean yang berujung pernikahan dadakan mereka.
Tidak mampu menolak karena sebuah alasan, Fany akhirnya menikah dengan Sean. Meskipun sudah menikah, Fany tetap saja tidak ingin berdekatan dengan Sean selain urusan pekerjaan. Karena trauma di masa lalunya, Sean tidak merasa keberatan dengan keinginan Fany yang tidak ingin berdekatan dengannya.
Bagaimana kisah rumah tangga mereka akan berjalan? Trauma apakah yang membuat Sean menahan diri untuk menjauhi Fany?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queisha Calandra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 29.
Author's Pov.
Sean menurunkan Fany ke dalam bak mandi yang sudah penuh dengan air hangat yang sebelumnya sudah ia siapkan setelah mereka sampai. Sebelumnya ia juga sudah melucuti pakaian compang-camping beserta dalaman yang Fany pakai sampai wanita berperut besar itu telanjang bulat di depannya.
Fany terlihat seksi dan menggoda di mata Sean saat ini. Tapi, melihat begitu banyaknya bekas cupang di tubuh Fany membuat Sean ingin menampar dirinya sendiri. Andai ia tidak membiarkan Fany pergi sendiri, semua itu tidak akan ada di tubuh Fany.
"Aku akan membersihkan tubuhmu, kamu tenang dan pejamkan matamu!" Ucap Sean sambil meraih botol sabun di sampingnya. sementara Fany hanya diam menatapnya dengan tatapan kosong.
Sean mulai membersihkan setiap inci dari tubuh Fany. Ia tidak ingin ada celah yang tersisa, bekas pria-pria itu tidak boleh ada yang tertinggal atau itu hanya akan mengorek luka kecewa di hatinya saat ini. Sekali lagi, Sean harus menahan amarahnya, ia ingin marah meskipun pada dirinya sendiri yang telah lalai menjaganya Fany.
"SshhSshhhh.." Fany mendesis, merasakan tangan Sean menyentuh area sensitifnya.
"Tahan sebentar! Aku akan berhati-hati." Ucap Sean mengerti apa yang Fany rasakan. Apa yang Sean lakukan saat ini sama dengan merangsang Fany. Fany memejamkan matanya, ia menahan diri agar tidak tergoda. Walau bagaiman pun Sean hanya ingin membersihkan dirinya, bukannya untuk bercinta dengannya. Lagipula ia baru saja melalui kejadian yang begitu berat baginya.
Sean menggendong Fany kembali ke kamar mereka. Ia juga menurunkan Fany di atas ranjang dalam keadaan agak basah dan telanjang. Kemudian Sean juga melepaskan pakaiannya yang basah karena memandikan Fany.
Sean tidur di samping Fany dan menutupi tubuh polos mereka menggunakan selimut tebal. Sean juga mencium bibir Fany dengan lumatan-lumatan lembut sebelum akhirnya mereka tidur dengan Sean yang memeluk Fany dengan posesif.
.........
Sean terjaga dari tidurnya. Dengan kedua mata yang masih terpejam, ia meraba-raba tempat dimana seharusnya Fany tidur. Tapi, ia tidak menemukan Fany sehingga ia membuka matanya. Ia menemukan Fany terduduk di sudut ranjang sambil meremas Selimut yang menutupi bagian depan tubuhnya saja.
Sean mendekatinya dan memeluknya dengan posesif. Sean bisa melihat bahwa wanita itu sedang menangis.
"Kenapa kamu tidak pergi?" Tanya Fany pelan.
"Kenapa aku harus pergi?" Tanya Sean menanggapi pertanyaan Fany.
"Arinka pasti sudah menunggumu." Jawab Fany menambah goresan di hatinya sendiri.
"Saat ini, yang kuinginkan adalah bersamamu." Jawab Sean. Fany tersenyum miring kemudian menggelengkan kepalanya. Saat ini? Ya hanya saat ini. Memangnya apa yang ia harapkan?
"Kau tidak perlu seperti ini! Jangan memaksakan dirimu. Jika kau tidak suka melihat sampah, buang saja!" Ucap Fany.
"Aku memang tidak menyukai sampah. Tapi, kamu bukan sampah." Jawab Sean mengerti kemana arah bicara Fany.
"Tapi, aku benar ingin pergi darimu." Ujar Fany.
"Aku tidak akan mengizinkanmu." Ucap Sean.
"Kau tidak boleh egois. Menahanku sama saja dengan membiarkanku menusuk diriku sendiri." Ucap Fany.
"Aku akan berusaha mencegahmu untuk itu." Jawab Sean. Fany menghela nafas dan memilih untuk berhenti mendebat suaminya.
"Pergilah bekerja! Sudah siang." Ucap Fany mengalihkan pembicaraan.
"Aku mengambil cuti." Jawab Sean.
"Kau selalu sibuk. Jangan membuat pekerjaanmu memukulmu besok!" Ucap Fany memperingatkan.
"Aku tidak peduli meskipun mereka akan membunuhku sekalipun. Aku hanya ingin bersamamu." Jawab Sean.
"Aku tidak akan kabur. Jangan khawatir!" Ucap Fany seakan ia tahu apa alasan Sean ingin mengambil hari libur untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak memiliki jaminan atas itu. Aku tidak mau kehilangan lagi." Jawab Sean.
"Terserah." Ujar Fany. Ia melepas pelukan Sean dan beranjak pergi ke kamar mandi. Melihat Fany sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, Sean merasa sedikit lega. Ia memutuskan hari ini akan menemani Fany apapun yang wanita itu lakukan. Masalah Arinka, ia akan menjelaskannya lain waktu. Untuk sementara ini, Sean akan menonaktifkan ponselnya agar tidak ada lagi yang mengganggu mereka.
.......
Sean's Pov.
Menyiapkan sarapan menggantikan Fany, sudah kulakukan. Sekarang hanya tinggal menunggu Fany keluar dari kamar. Aku tahu mungkin Fany merasa bingung dengan sikapku. Tapi jujur, aku memang merasa bersalah. Untuk itu aku berusaha membuat semua seakan tidak pernah terjadi. Fany, tetaplah istriku meskipun hal buruk baru saja menimpanya. Aku tidak akan menyalahkannya. Karena semua itu adalah salahku.
"Fan, sarapan sudah siap. Ayo kita sarapan bersama!" Ucapku setelah membuka pintu kamar kami dan melihat Fany sedang bercermin, menatap kosong dirinya sendiri di depan meja rias. Ia tidak menjawab sampai aku memutuskan untuk menghampirinya dan memanggilnya sekali lagi. "Fany." Panggilku. Dia tidak juga menjawab tapi bulir air matanya perlahan turun. Ia menangis dan meronta saat aku memeluk tubuhnya dari belakang.
"Lepaskan aku! Pergi!" Ucapnya sambil menangis histeris.
"Tidak mau. Kamu tenanglah! Kita bicara baik-baik." Ucapku berusaha membujuknya agar merasa tenang.
"Kenapa kau masih membiarkanku disini? Aku ini wanita hina yang kotor. Aku benci diriku." Ujarnya. Aku tahu apa yang terjadi pada Fany sekarang. Dan aku sangat mengerti dengan perasaannya kini.
"Sssttt... Jangan bicara seperti itu. Kamu tetap wanitaku. Wanita yang bersih. Kamu tidak kotor! Jangan menyebut dirimu sendiri seperti itu, itu sama saja dengan menghina anak kita juga." Ucapku.
"Tapi, aku memang kotor, Sean. Kau harusnya jijik melihatku. Sekarang lepaskan aku!" Ucap Fany sambil terus meronta ingin kulepaskan.
"Aku tidak akan melepaskanmu, apapun yang terjadi." Ucapku terus meyakinkan dirinya.
"Hiks, hiks, kau hanya menghiburku saja. Aku tahu hatimu bukan milikku sejak awal. Sekarang, dengan kondisiku yang seperti ini, mustahil kau mau mengakui aku istrimu." Ucapnya lagi, ia masih meragukan diriku dan itu sangat wajar baginya.
"Aku tidak sedang menghiburmu. Kenyataannya kamu memang istriku. Aku berjanji tidak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi." Ucapku. Akhirnya ia bisa lebih tenang. Aku membimbingnya untuk berdiri berhadapan dengan ku dan memeluknya.
"Sekarang, tenanglah! Ayo kita pergi ke dapur. Anak kita pasti kita sudah kelaparan." Ucapku. Dalam sekejap Fany merubah ekspresinya yang semula sedih kini tersenyum menatapku. Apa seorang yang sedang hamil memang memiliki perubahan perasaan yang begitu cepat? Entahlah tapi ini jauh lebih baik daripada harus melihatnya terpuruk seperti kemarin.
"Sean. Aku ingin pergi jalan-jalan setelah sarapan. Boleh?" Tanya Fany saat aku menggandeng lengannya dan menggiring nya ke dapur.
"Aku akan pergi bersamamu kemana pun kamu mau." Jawabku. Hari ini aku harus bisa membuatnya senang. Jika tidak, aku akan merasa sangat bersalah.
"Terimakasih!" Ucapnya. Hanya dengan melihatnya tersenyum dan kembali bersemangat membuatku merasa lebih tenang. Seharusnya dia yang tersenyum tidak akan menimbulkan masalah yang berarti pada anak kami kan?
......
"Sean, aku mau main itu." Ujar Fany menunjuk mesin capit boneka yang berada tidak jauh dari tempat kami berdiri. Ya, aku sedang menemani Fany menikmati hari ini.
"Kamu bisa mainnya?" Tanyaku mengingat ini baru pertama kalinya aku melihat Fany ingin memainkan permainan itu.
"Aku ingin kamu yang main." Jawabnya.
"Aku?" Dia menganggukkan kepalanya cepat. "Selama ini aku belum pernah menang lo." Lanjut ku.
"Kalau begitu kau harus berusaha kali ini biar menang!" Ujarnya bersemangat sambil menggandeng lenganku.
Selain menurutinya, apa yang bisa ku lakukan untuk membuatnya senang? Tidak apa-apa, hari ini aku memang sengaja meluangkan waktu untuknya. Kalau bukan untuk melihat dia tersenyum lalu apa gunanya aku disini.
.......
"Yeay... Akhirnya dapat juga." Ujar Fany bergembira sambil memainkan boneka yang baru saja kudapatkan setelah hampir dua jam berusaha.
"Aku sudah bilang kan, aku belum pernah menang selama ini. Dan saat ini aku bisa menang khusus buat kamu." Ucapku berbangga diri.
"Terimakasih!" Ucapnya dengan senang kemudian ia terdiam.
"Kenapa?" Tanyaku khawatir dengan perubahan tiba-tibanya.
"Anak kita bergerak." Ucapnya.
"Benarkah? Mana?" Tanyaku penasaran. Selama ini aku memang tidak terlalu perhatian tentang kehamilan Fany. Tapi, kali ini aku tidak boleh melewatkan satu pun.
"Sini, rasakan!" Ucap Fany sambil membimbing tanganku menyentuh perutnya. Benar, anak kami bergerak-gerak di dalam sana. Aku bahkan bisa merasakan gerakannya yang begitu cepat,
"Fan, bagaimana kalau kita pergi ke dokter. Aku ingin melihat anak kita." Ucapku mengusulkan mengingat bahwa waktu itu aku tidak sempat menemani Fany memeriksakan kandungannya. Ditambah ia baru saja mengalami hal yang buruk. Aku jadi khawatir dengan kondisi bayi kami.
"Sekarang?" Tanyanya dengan kedua mata yang berbinar.
"Ya, atau mungkin besok? Lebih cepat lebih baik." Jawabku.
"Sekarang saja. Yuk!" Ujarnya.
Kalau membuatnya bahagia bisa semudah ini, kenapa selama ini aku mempersulit nya? Ya Tuhan, semoga dia selalu bahagia meskipun kelak mungkin aku akan meninggalkannya.
Bersambung....