“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”
Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.
Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.
Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.
Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.
Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.
Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - IBUKU
Xia mengangguk pelan, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh. Tapi semakin ia berusaha, semakin hangat cairan itu mengalir di pipinya. Ia tidak mengerti mengapa bisa menangis seperti ini.
Terakhir kali air matanya jatuh untuk seseorang… adalah saat kedua orang tuanya meninggal.
Setelah itu, ia berjanji tidak akan pernah membiarkan perasaannya menguasai dirinya lagi.
Namun kini, di hadapan pria yang bahkan nyaris tak ia kenal, air matanya mengalir begitu mudah.
Yu Liang menatapnya dengan cemas. Dengan sisa tenaga, ia mengangkat tangannya, menyentuh jemari Xia dengan hati-hati, seolah takut menyakitinya.
“Apakah kau benar-benar baik-baik saja, Dokter?” tanyanya lembut.
“Apa kau ingin beristirahat? Pergilah. Aku tahu tugasmu tidak mudah.”
Xia terdiam, menatap tangan Yu Liang yang menggenggam jemarinya. Hangatnya begitu nyata, meski tubuh pria itu tampak lemah.
Yu Liang melanjutkan pelan, suaranya nyaris seperti bisikan, tapi setiap katanya terasa tajam menembus hati.
“Seharusnya kau menjaga kesehatanmu. Karena satu-satunya yang tahu seberapa lelah dirimu… hanyalah tubuhmu sendiri.”
Ia menatap Xia dengan mata tenang yang justru membuatnya semakin goyah.
“Bagaimana kau bisa menjaga pasienmu jika kau sendiri tidak peduli pada tubuhmu?”
Air mata Xia pecah seketika. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan satu tangan. Tangisnya terdengar pelan, teredam, namun begitu nyata.
Bagaimana bisa… pria yang lemah di hadapannya ini tampak jauh lebih kuat darinya?
Bagaimana bisa seseorang yang sedang menanggung rasa sakit justru menenangkan dirinya?
Suaranya bergetar ketika ia akhirnya berbicara.
“Tuan Yu…” panggilnya perlahan. “Apa kau masih bisa percaya pada seseorang?”
Yu Liang sempat menatapnya bingung. Tatapannya kosong beberapa detik, sebelum akhirnya ia menarik napas panjang dan menjawab lirih,
“Ya…” katanya pelan. “Ibuku.”
Xia terdiam.
Suara itu sederhana, tapi terasa menghantam dadanya.
Mungkin karena di balik satu kata itu, tersimpan seluruh kesetiaan, luka, dan kehilangan yang bahkan tak perlu dijelaskan dengan kalimat panjang.
Ia menatap Yu Liang dalam diam.
Untuk pertama kalinya, ia merasa bukan sedang menghadapi pasien, melainkan seseorang yang perlahan membuka pintu hatinya tanpa ia sadari.
Xia mengangguk pelan.
Ia tahu betul bagaimana dunia bisa berubah kejam dan menghancurkan kepercayaan siapa pun. Namun satu hal yang tidak pernah hilang darinya adalah kepercayaannya kepada ibunya, satu-satunya sosok yang membuatnya tetap bertahan di tengah kebohongan dan pengkhianatan yang mengelilinginya.
Dengan hati-hati, Xia menggenggam tangan lemah Yu Liang. Sentuhan itu ringan, tapi terasa dalam.
“Yu Liang…” suaranya nyaris seperti bisikan. “Apa kau bisa percaya padaku?”
Pria itu menatapnya bingung, mata kelamnya berusaha mencari makna di balik kata-kata itu.
“Maksudmu, Dokter?” tanyanya perlahan.
Xia menatapnya lama, seolah mencari keberanian di antara tatapan itu.
“Apa kau bisa percaya kepadaku… bahwa aku bisa menjagamu?”
Hening menyelimuti ruangan.
Hujan di luar terdengar semakin pelan, seolah ikut menunggu jawaban Yu Liang. Dan ketika pria itu tersenyum, senyum itu begitu lembut, nyaris menenangkan, namun menyakitkan di waktu yang sama.
“Tidak perlu,” ujarnya pelan.
“Kau hanya perlu percaya pada tubuhmu sendiri, Dokter. Aku melihat… kau punya banyak hal yang sedang kau sembunyikan.”
Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada yang Xia harapkan. Ia menatap pria itu dengan sorot mata tajam, seolah ingin menyangkal, namun tak bisa.
Dalam hatinya, sebuah kalimat muncul begitu saja,
“Kau lah penyebab semua masalahku, Yu Liang.”
Namun sebelum ia sempat menjawab, suara Yu Liang terdengar lagi, lembut, namun tegas.
“Terima kasih… tapi aku tidak ingin menyebabkan orang lain celaka karena aku.”
Xia membeku.
Ada sesuatu dalam nada suaranya, campuran antara rasa bersalah, kehilangan, dan ketulusan yang membuat dadanya terasa sesak.
Untuk sesaat, dia hanya bisa menatap Yu Liang dalam diam, menahan ribuan kata yang tak sanggup diucapkan.
Dan di balik semua itu, satu kesadaran kecil mulai tumbuh di benaknya. Bahwa pria yang tampak rapuh di hadapannya ini… mungkin menyembunyikan kekuatan yang jauh lebih besar daripada siapa pun tahu.
Suara detak mesin monitor memenuhi ruangan, berpadu dengan desiran lembut oksigen dari tabung di samping ranjang.
Yu Liang akhirnya tertidur kembali. Napasnya stabil, wajahnya tenang, namun sesuatu dalam gelombang datar monitor itu membuat Xia tidak bisa mengalihkan pandang.
Ia menatap layar dengan alis berkerut.
Gelombang tekanan darahnya normal, detak jantung pun stabil… tapi kadar oksigennya, tidak masuk akal. Nilainya terlalu sempurna. Terlalu konstan, bahkan untuk seseorang yang baru saja melalui operasi besar.
Xia menatapnya lebih lama, menekan beberapa tombol di layar, mencoba mengakses data rekam medis terakhir.
Namun, grafik yang seharusnya muncul justru berkedip. File itu, tidak bisa dibuka.
Xia menegakkan tubuhnya. Tangannya bergerak cepat, mengakses lewat jalur administrator.
Namun yang muncul hanya satu baris teks,
ACCESS DENIED. FILE LOCKED BY SYSTEM.
“Tidak mungkin…” gumamnya.
Ia baru saja memeriksa file itu sore tadi, sebelum Yu Liang kembali sadar. Siapa yang mengubah izin aksesnya?
Xia berdiri.
Ia melirik sekeliling ruangan, sunyi.
Perawat jaga sedang mengganti cairan infus di ruang sebelah, dan hanya cahaya redup dari monitor yang menerangi wajahnya.
Ia mengaktifkan tablet pribadinya, menyambungkan kabel langsung ke panel monitor Yu Liang. Sekilas, datanya mulai terbaca ulang.
Namun beberapa baris log justru menampilkan aktivitas aneh, ada jejak seseorang yang menyalin, mengubah, dan memblokir data pasien tepat dua jam lalu.
Dua jam lalu?
Saat itu ia masih berada di ruang rapat direksi, membahas hasil uji medis yang sama. Xia menatap layar dengan tatapan yang berubah tajam. Seseorang di rumah sakit ini sedang bermain-main dengan data pasiennya.
Ia mengetik cepat, membuka trace log jalur IP sistem internal rumah sakit.
Alamatnya muncul, Server B-07, Departemen Patologi Genetik.
Bagian yang bahkan tidak seharusnya memiliki akses ke data pasien Yu Liang. Xia menarik napas panjang. Hatinya berdegup keras, bukan karena takut, tapi karena marah.
Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Baiklah… kalau begitu, kita mulai permainan ini.”
Dia menatap kembali ke arah Yu Liang yang tertidur, wajah pria itu tampak damai di bawah cahaya lembut alat medis.
“Jangan khawatir,” bisiknya pelan. “Aku akan cari tahu siapa yang berani menyentuh datamu.”
Ia mengambil jas putihnya, mengenakan kembali kacamata yang sempat diletakkan di meja, lalu keluar dari ruangan dengan langkah mantap.
Langkah-langkah yang perlahan membawa dirinya menuju ruang server lantai bawah, tempat semua kebohongan dimulai.
...
Langit malam di luar jendela rumah sakit terlihat buram. Gerimis turun tipis, memantul dikaca-kaca panjang koridor yang sepi.
Setiap langkah Xia bergema pelan di lantai marmer, berirama dengan detak jantungnya yang mulai tidak tenang.
Lift menuju lantai bawah terbuka dengan suara ding pelan. Udara dingin dari ruang penyimpanan server menyambutnya begitu pintu logam itu tertutup kembali.
Lantai bawah selalu sepi pada jam seperti ini. Tak ada perawat, tak ada staf administrasi. Hanya deru mesin, udara lembap, dan dengungan listrik halus yang seolah mengawasi.
Xia menempelkan kartu identitasnya pada panel pintu ruang server.
Cahaya merah berkedip.
Access Denied.
Alisnya menegang. “Tidak mungkin.”
Ia mencoba sekali lagi, kali ini dengan bypass digital melalui tablet pribadinya.
Layar menampilkan kode enkripsi yang tidak seharusnya ada di sistem medis biasa. Terlalu kompleks.
Terlalu… militer.
Dengan satu gerakan cepat, Xia mengetikkan override command buatan sendiri. Suara klik terdengar, dan pintu perlahan terbuka. Udara dingin menerpa wajahnya saat ia melangkah masuk.
Lampu biru dari ratusan server menyinari ruangan, membuat bayangan tubuhnya menari di antara barisan rak logam tinggi.
Dia berjalan perlahan, langkahnya berhenti di depan Server B-07, tempat terakhir data medis Yu Liang tercatat.
Tangannya bergetar sedikit saat menancapkan kabel data ke port utama. Layar tablet menyala, menampilkan ribuan baris data yang meluncur cepat.
Namun sesuatu aneh,
Nama User: Dr. Xia Yang muncul sebagai pengakses ilegal di waktu yang sama ketika ia sedang menemani Yu Liang di ruang perawatan.
User: Dr. Xia Yang
Action: Data Override – 23:18
Target: Patient Yu Liang / File Code: HX-07
Ia menatap layar itu, napasnya tertahan.
“Seseorang… memakai identitasku.”
Jemarinya bergerak cepat, membuka log trace yang tersisa. Di sana, ia menemukan file berlabel Confidential. Ia menyalinnya, lalu membuka isi file itu dengan hati-hati.
Tampak grafik biometrik dan urutan DNA, namun strukturnya tidak sesuai dengan basis data manusia mana pun yang pernah ia pelajari.
Simbol di sisi kanan file menampilkan kata asing yang membuat bulu kuduknya berdiri:
Project Helianthe, Status: Active.
Tepat saat ia hendak memperbesar tampilan file itu, seluruh monitor di ruangan padam serentak.
Hanya satu layar di tengah yang masih menyala.
Dan di sana, muncul satu baris pesan dalam warna merah darah,
“Kau seharusnya tidak di sini, Dokter Yang.”