Senja merasa menderita dengan pernikahan yang terpaksa ia jalani bersama seorang CEO bernama Arsaka Bumantara. Pria yang menikahinya itu selalu membuatnya merasa terhina, hingga kehilangan kepercayaan diri. Namun sebuah kejadian membuat dunia berbalik seratus delapan puluh derajat. Bagaimana kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meylani Putri Putti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28
Zein datang ke rumah Saka dengn wajahnya datar, tapi sorot matanya menyimpan amarah yang ditahan.
Begitu pintu dibuka, Saka sudah berdiri di ambang dengan raut tegang dan mata yang tajam.“Ada perlu apa datang ke sini?” suaranya dingin, sarat emosi. “Kau sudah terlalu jauh ikut campur urusan rumah tangga orang, Zein!” ucapnya dengan nada tegas.
Zein menatapnya tanpa bergeming. “Kalau yang kamu maksud urusan rumah tangga itu berarti menyakiti istrimu, aku memang nggak bisa diam, Saka," jawab Zein kalem.
Saka mendengus, melangkah mendekat dengan rahang mengeras. “Kamu nggak tahu apa-apa tentang kami! Jangan sok jadi pahlawan!”
Zein menarik napas panjang, masih menahan diri. “Aku nggak butuh tahu semuanya. Aku cuma tahu, Senja ketakutan setengah mati, dan kamu penyebabnya!” tunjuk Zein di wajah Saka.
Tanpa aba-aba, Saka tiba-tiba melayangkan tinjunya ke wajah Zein. Satu pukulan keras mendarat, lalu disusul pukulan lain bertubi-tubi. Zein sempat terhuyung, mencoba menahan diri agar tidak membalas, tapi serangan Saka datang terlalu cepat dan penuh amarah.
“Berani-beraninya kamu ikut campur urusan aku!” bentak Saka di sela napas beratnya. Pukulan terakhir membuat Zein terjatuh ke lantai, darah mengalir tipis di sudut bibirnya.
Zein menatapnya dari bawah, matanya tetap tajam meski tubuhnya lemah. “Kekerasan nggak akan bikin kamu benar, Saka…” katanya pelan, namun cukup untuk membuat Saka terhenti sejenak.
Saka menatapnya penuh kebencian, lalu berkata dengan nada dingin, “Mulai hari ini, aku pastikan perusahaan kamu yang baru bangkit itu hancur total. Biar kamu tahu akibatnya kalau berani menantangku! ”
Tanpa menunggu jawaban, Saka berbalik, menutup pintu dengan keras hingga suara benturannya menggema di seluruh rumah.
Zein masih berdiri terpaku di teras, menahan sakit di wajahnya. Ia menarik napas dalam, menghapus darah di bibirnya, lalu berbalik pergi dengan tekad yang justru semakin kuat di dalam dada.
***
Di dalam kamar, Saka duduk di tepi ranjang dengan napas memburu. Buku-buku jarinya masih memerah akibat amarah yang belum juga reda. Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi rasa kesal terus berputar di kepalanya seperti pusaran yang tak mau berhenti.
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Ia menatap layar sebentar . Saka menarik napas, lalu mengangkatnya.
“Ya, Ma…” suaranya terdengar berat.
Di seberang, suara lembut tapi tegas terdengar. “Saka, malam ini ada pertemuan keluarga di rumah. Semua harus datang. Mama mau kamu bawa Senja, jangan datang sendiri lagi seperti kemarin-kemarin.”
Saka terdiam sejenak. “Senja?” ulangnya lirih, menahan gugup yang samar.
“Iya. Kalian kan baru menikah. Sudah saatnya keluarga besar mengenal menantu Mama lebih dekat.”
“Baik, Ma… nanti saya usahakan datang,” jawabnya akhirnya, meski nada suaranya terdengar ragu.
Begitu panggilan terputus, Saka menatap ponselnya lama. Ia segera mencoba menghubungi Senja, tapi nada sambung yang terdengar hanya sunyi, kemudian pesan otomatis: nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.
Sekali, dua kali, tiga kali — hasilnya sama. Ia menatap layar dengan rahang mengeras, campuran gelisah dan marah kembali menguasai dirinya. Dalam hati, ia bergumam pelan,
“Ke mana kamu, Senja…?”gumamnya.
Sempat terpikir olehnya untuk menghubungi Zein, karena dialah yang mengantar Senja. Namun lagi-lagi gengsi menguasainya.
Dan akhirnya ia kembali pergi sendiri. Jika sebelumnya ia memang tak ingin Senja ikut di acara keluarganya itu, kali ia justru menginginkan istrinya untuk hadir. Namun Senja justru pergi entah kemana.
Saka tiba di rumah keluarganya dengan langkah berat. Begitu masuk ke ruang tamu yang dipenuhi keluarga besar, suasana mendadak terasa canggung. Beberapa pasang mata menatapnya heran, sebagian lain berbisik pelan di antara gelas dan piring porselen.
Ia berusaha tersenyum tipis, menyalami satu per satu, namun tatapan-tatapan itu tak juga hilang. Baru beberapa langkah, suara ibunya terdengar dari arah meja utama.
“Saka, mana Senja?” tanyanya datar, tapi sorot matanya tajam.
Saka terdiam sejenak, lalu menelan ludah. “Senja… nggak bisa datang, Mams. Dia lagi sakit,” jawabnya, berusaha terdengar tenang.
Namun ibunya hanya menatap tanpa ekspresi. “Sakit? Alasan klasik. Sejak kapan orang sakit, punya jadwal, dan jadwalnya selalu tepat dengan pertemuan keluarga," suaranya halus sambil mencibir, jelas ia menyindir putranya.
Ia lalu bangkit, memberi isyarat agar Saka mengikutinya ke ruangan belakang. Ibu dan anak itu pun meninggalkan kerumunan tanpa peduli sorot mata yang melihat. Begitu pintu tertutup, tatapan bu Wardah berubah serius. “Sekarang jujur, Saka. Sebenarnya ada apa dengan pernikahan kalian? Kenapa sih kamu gak pernah bawa Senja di acara pertemuan keluarga kita? ” tanyanya dengan kedua telapak tangan terangkat sebatas pinggang.
Saka menunduk. Butuh waktu sebelum akhirnya ia berkata pelan dengan mengakuinya, “Kami… nggak saling mencintai, Ma. Aku menikah cuma karena dorongan Oma, akibat kejadian malam itu. Tapi aku pikir, kalau aku sabar sedikit, setelah Oma menyerahkan semua aset perusahaan, aku bisa atur semuanya lagi.”
Bu Wardah menarik napas panjang, menatap anaknya dengan campuran kecewa dan lelah. “Kamu pikir Oma akan semudah itu menyerahkan semua harta? Kamu lupa, Saka dia baru akan mewariskan semuanya kalau kamu sudah punya anak.”
Saka diam. Rahangnya menegang. Ia tak berani menatap ibunya, hanya mengangguk perlahan.
"Iya ini aku juga sedang mencoba agar Senja hamil, tapi... " Saka menjeda kata katanya. Lalu ia menatap sang ibunda. "Tapi... aku pikir kalau pun Senja hamil dan melahirkan, maka yang jadi korban pasti anak anak kami," Desahnya.
Bu Wardah menghela napas panjang. Serba salah menghadapi situasi ini. Satu sisi ia mengerti dengan watak Saka, satu sisi ia harus mengikuti aturan rumah yang di pegang langsung oleh ibu mertuanya. "Mama gak tahu, kamu akan kecewa atau tidak setelah mendengar ini Saka," Lirihnya.
Saka tersentak dan menoleh menatap bu Wardah. "Apa itu, Ma? Apa ada yang Oma sembunyikan dari ku?"
Sekali lagi bu Wardah menghela napas panjang sambil mengatur kata katanya. "Sebenarnya Oma yang merencanakan ini," Gumamnya lirih.
Mata Saka memicing. "Rencana apa, Maksudnya Ma?!"
Hus! bu Wardah meletakkan jari telunjuk di tengah-tengah bibirnya. "Pelan kan suaramu!" desisnya.
Saka yang penasaran hanya mengangguk lirih sementara matanya mengedar ke segala arah.
Dia lalu mendekati bu Wardah agar jarak mereka semakin dekat.
"Kau tahu?" bisik bu Wardah. "Malam itu, saat kau tidur dengan Senja.. itu adalah.. "
"Adalah apa, Ma?" potong Saka, matanya menatap tajam. Sementara jantungnya berdetak kencang."
Bu Wardah menelan ludah, entah kenapa ia merasa berat.
"Ada apa, Ma? ayolah!" desak Saka.
Sekali lagi wanita itu menarik napas panjang. "Itu adalah rencana, Oma."
Seketika itu mata Saka terbuka lebar dengan jantung yang berdetak semakin tak karuan.