Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 24. Rahasia yang Terungkap
24
Suasana rumah sakit malam itu terasa sunyi. Hanya suara detak mesin monitor jantung dan langkah kaki perawat yang sesekali lewat di lorong panjang. Ruangan VIP tempat Ranvir Singh dirawat dipenuhi aroma obat-obatan dan antiseptik. Pria tua itu terbaring lemah di ranjang, dengan selang oksigen menempel di hidungnya dan monitor yang menunjukkan denyut jantungnya yang masih stabil, meski lemah.
Ia tiba-tiba terkena serangan jantung akibat mendengar kabar jika salah satu villa pribadi miliknya kebakaran.
Ayumi duduk di kursi samping tempat tidur, mengenakan gaun berwarna gading yang mewah yang memancarkan keanggunan khas seorang mantan aktris. Di wajahnya tampak lelah, tapi bukan semata karena menjaga suaminya. Ada sesuatu di matanya, kebosanan yang memanjang, terselip di antara rasa bersalah dan kerinduan akan kehidupan lamanya yang dulu gemerlap.
Patrick berdiri tak jauh dari sana, menatap layar monitor jantung Ranvir dengan canggung. “Dokter bilang beliau akan pulih secepatnya.” katanya pelan. “Tinggal butuh istirahat dan dijaga emosinya.”
Ayumi menoleh perlahan, tersenyum tipis. “Emosi?” gumamnya sambil menatap suaminya yang tertidur lemah. “Yang tersisa dari pria itu sekarang hanya kenangan, Patrick. Ia bahkan nyaris tak bisa berbicara tanpa kelelahan.”
Patrick menunduk, tidak tahu harus menjawab apa. Ia baru bekerja dengan Ayumi selama beberapa hari, tapi entah mengapa, setiap hari yang ia lalui di sisi perempuan itu terasa seperti godaan yang makin sukar dihindari.
“Duduklah,” kata Ayumi tiba-tiba, menepuk kursi di sebelahnya.
Nada suaranya lembut, tapi ada sesuatu di dalamnya, seolah sebuah perintah yang tidak bisa ditolak.
Patrick menelan ludah dan menurut, duduk perlahan di sisi sang nyonya. Jarak mereka hanya sejengkal. Dari dekat, ia bisa mencium samar aroma parfum bunga lembut yang menguar dari tubuh Ayumi.
“Patrick,” ucap Ayumi lirih. “Kamu tahu, dulu aku hidup di dunia yang penuh lampu sorot. Semua orang memujaku, memanggil namaku, memotretku… tapi satu hal yang mereka tak tahu, aku selalu sendirian.”
Patrick menoleh, menatap wajahnya yang diterangi cahaya putih dari lampu rumah sakit. “Saya rasa… semua orang punya kesepian masing-masing, Ayumi.”
Ayumi tertawa kecil, suaranya serak. “Kamu bicara seperti sudah hidup seratus tahun.”
Ia kemudian menghela napas. “Tapi kamu benar. Kesepian memang gak mengenal usia. Bahkan sekarang pun, duduk di sini, di samping pria yang dulu kupikir akan menyelamatkanku dari segala rasa kosong… aku masih merasa sendirian.”
Patrick menatapnya lebih lama dari seharusnya. Ada sesuatu dalam cara Ayumi menatap lantai, dalam cara bibirnya bergetar menahan sesuatu, yang membuat hatinya terguncang.
“Ayumi…” panggilnya, "Aku gak akan biarin kamu merasa sendirian. Aku berani menjamin itu. Apapun yang kamu minta, kalau aku bisa kasih, pasti aku kasih. Termasuk soal kepu_asan." Ucapnya pelan nyaris tanpa sadar.
Wanita itu menoleh, sedikit terkejut. Tapi alih-alih marah, matanya justru melembut. “Kamu berani juga ya bilang begitu ke aku,” katanya dengan nada menggoda.
Patrick tersenyum gugup. “Aku serius lho.”
Ayumi menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Kamu baik banget, Patrick. Kenapa gak sejak dulu kamu jadi asistenku. Aku pasti gak akan kesepian.”
Ucapan itu membuat Patrick terdiam. Ia tak tahu bagaimana harus menanggapinya, tapi matanya tak bisa berpaling dari wajah perempuan itu, dari sorot matanya yang samar-samar menyala dalam kelelahan.
Tiba-tiba, Ayumi bersandar. Tubuhnya condong ke arah Patrick seolah memancing, cukup dekat hingga napas mereka hampir bersentuhan. “Aku… hanya butuh seseorang untuk bicara malam ini,” katanya pelan, seolah berusaha membenarkan kedekatan mereka. “Seseorang yang bisa mengingatkanku bahwa aku masih hidup.”
Patrick berdeham gugup, tapi tak menjauh. “Aku di sini, Ayumi. Aku gak akan ke mana-mana.”
Ayumi menatapnya. Ada jeda panjang, sebuah keheningan yang menggantung di antara desir mesin infus dan dengung AC ruangan.
Perlahan, Ayumi menyentuh tangan Patrick. Sentuhan itu lembut, ringan, tapi cukup untuk membuat napas keduanya tertahan.
Patrick tak menarik diri.
Dan Ayumi pun tidak melepaskan.
Mereka hanya duduk begitu, tanpa kata, tanpa gerak berlebihan. Namun kehangatan kecil yang mengalir di antara tangan mereka terasa jauh lebih bising daripada suara detak jantung di monitor Ranvir Singh.
Beberapa menit kemudian, suara langkah perawat terdengar mendekat di lorong. Ayumi buru-buru menarik tangannya, sementara Patrick berdiri, pura-pura memperbaiki letak kursinya.
Perawat masuk, memeriksa kondisi Ranvir, lalu berkata sopan, “Kondisi Tuan Ranvir stabil, Bu. Tapi sebaiknya Anda beristirahat juga. Sudah lewat tengah malam.”
Ayumi mengangguk. “Terima kasih. Saya akan beristirahat sebentar lagi.”
Begitu perawat keluar, ia menatap Patrick lagi. Kali ini dengan pandangan yang samar di antara kelelahan dan sesuatu yang belum ia ungkapkan.
“Patrick,” ucapnya pelan, “aku tak menyuruhmu untuk mencintaiku. Aku hanya ingin kamu ada di sini saat aku tak bisa bicara dengan siapa pun lagi.”
Patrick menatapnya lama, lalu menjawab dengan suara yang nyaris seperti bisikan, “Aku sudah di sini, Ayumi. Dan aku gak akan pergi.”
Cahaya lampu rumah sakit yang dingin menyoroti wajah keduanya, dua jiwa yang sama-sama kehilangan arah, saling mencari hangat di tengah ruangan yang terasa terlalu sepi.
Di luar, hujan turun perlahan, membasuh kaca jendela.
Dan di dalam, ada bara kecil yang mulai tumbuh di balik kesunyian malam.
"Aku tahu kamu lagi pengen." cetus Patrick yang nampaknya mengerti kegelisahan Ayumi.
"Kamu udah hafal ya sama aku." sambut Ayumi dengan wajah bersemu merah.
Patrick bangkit lalu meraih tangan Ayumi. Wanita itu tersenyum lalu berdiri. Tak butuh banyak bahasa untuk diucapkan, keduanya lalu sepakat menuju ke toilet.
**
Hujan turun deras di luar rumah Aldrich malam itu. Suaranya beradu dengan kaca jendela dan atap rumah yang luas, menciptakan ritme lembut yang biasanya bisa membuat siapa pun terlelap. Namun tidak bagi Aldrich.
Ia sudah berusaha tidur sejak satu jam lalu, tapi matanya tetap menatap langit-langit kamar, pikirannya berkelana ke mana-mana.
Di meja samping ranjangnya, ponselnya bergetar pelan, menunjukkan panggilan yang baru saja ia lakukan. Untuk kesekian kali, tak juga diangkat.
“Anak itu ke mana, sih?” gumamnya jengkel, bangkit dari tempat tidur. “Kalo dia tidur, seharusnya masih bisa dengar panggilan.”
Aldrich meraih jubah tidurnya dan berjalan pelan menyusuri lorong menuju kamar tamu. Lampu-lampu di rumah sudah diredupkan, hanya cahaya dari taman yang sesekali menerobos lewat kisi jendela.
Udara malam lembap dan dingin, membuat napas Aldrich berembus samar. Ia mengetuk pintu kamar tamu pelan, tidak ada jawaban.
“Allen?” panggilnya lirih.
Masih hening.
Rasa penasarannya mengalahkan kesopanan. Ia memutar gagang pintu perlahan dan mendorongnya sedikit terbuka.
Cahaya remang dari luar kamar cukup untuk memperlihatkan sosok Allen yang terlelap di ranjang, berselimut hingga dada, napasnya teratur, wajahnya terlihat begitu tenang.
Aldrich berdiri di ambang pintu cukup lama. Entah kenapa, ada rasa aneh yang muncul di dadanya, sebuah ketenangan yang tidak biasa.
Namun, tiba-tiba saja sifat usilnya muncul, ia tersenyum kecil. “Baiklah, kalo gitu,” gumamnya pelan. “Kamu yang maksa.”
Dengan nada teatrikal yang khas, Aldrich berteriak, “Ada maling di dapur!”
Suara lantangnya menggema ke seluruh ruangan.
Allen sontak terlonjak bangun dengan reflek, matanya masih setengah terbuka dan napasnya tersengal. “Apa? Maling di mana?” ucapnya gugup, tubuhnya spontan duduk tegak.
Namun di saat yang sama, selimut yang menutupi tubuhnya melorot ke bawah karena gerakannya yang terlalu cepat.
Aldrich, yang berdiri tak jauh darinya, langsung tertegun.
Tatapannya membeku sesaat, terpaku oleh sesuatu yang tak seharusnya ia lihat.
Allen pun sadar dalam sepersekian detik bahwa dirinya telah melakukan kesalahan fatal.
Wajahnya seketika memerah, tangannya panik menarik kembali selimut untuk menutupi tubuhnya. “Mas Aldrich!” katanya spontan, suaranya naik satu oktaf karena ketakutan dan kaget setengah mati.
Tanpa kata, Aldrich langsung meninggalkan tempat itu dengan wajah marah. Ia tak peduli akan panggilan Allen yang mungkin berusaha menjelaskan. Karena baginya tak perlu ada penjelasan lagi. Semua sudah jelas, Allen telah menipunya.
Masih adakah kesempatan untuk Allen?
.
YuKa/ 271025
aldrick jangan lari dong dengerin penjelasan Allen dulu 🤭
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍