Kania nama gadis malang itu. Kehidupan sempurnanya kemudian berantakan setelah sang ibu meninggal dunia. Ayahnya kemudian menikahi janda beranak satu di desanya. Kehidupan bahagia yang sempat dirasakannya di masa lalu terasa seperti barang mewah baginya. Kania nama gadis malang itu. Demi menutupi utang keluarganya, sang ayah bahkan tega menjualnya ke seorang rentenir. Pernikahannya bersama rentenir tua itu akan dilaksanakan, namun tiba-tiba seorang pria asing menghentikannya. " Tuan Kamal, bayar utangmu dulu agar kau bebas menikahi gadis mana pun", pria itu berucap dingin. Hari itu, entah keberuntungan atau kesialan yang datang. Bebas dari tuan Kamal, tapi pria dingin itu menginginkan dirinya sebagai pelunas utang. Kania nama gadis itu. Kisahnya bahkan baru saja dimulai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourfee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25
"Ayah, aku datang". Kania berucap pelan, matanya menatap sendu pria paruh baya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Winara membuka mata ketika mendengar suara lembut putrinya, putri satu-satunya. "Kania ini kau, nak?" Tanya pria itu.
Kania menganggukan kepalanya, bibirnya terkunci rapat. Sedih sekali melihat keadaan ayahnya. Ayah yang kerap kali menyakitinya, ayah kesayangannya.
Winara menyentuh pipi putrinya dengan sayang, air matanya luruh membanjiri wajah tuanya. Sadar, pria itu sangat sadar ia telah menyakiti putrinya. Rasa sakit akan kehilangan istrinya membuat ia mengabaikan putrinya. Ia bahkan menikahi wanita lain, lupa dengan janjinya pada sang istri bahwa mendiang istrinya adalah wanita satu-satunya yang dicintai. Winara terlalu kecewa, kecewa pada takdir yang tidak adil baginya, kecewa kenapa nyawa istrinya harus direnggut secepat itu. Kekecewaan itu pelan-pelan mengakar dalam kalbu, membuatnya terjebak dalam perasaannya sendiri. Ya Tuhan, ia merasa sangat berdosa sekarang. Kini, putrinya telah berdiri di depannya didampingi oleh seorang pria yang menatapnya malas sejak tadi. Ia ingat, ini adalah suami dari putrinya, pria ini adalah menantunya. Rasa penasaran menghampirinya perlahan. Entah seperti apa kehidupan pernikahan yang dijalani putrinya.
"Kalau aku menikah, aku ingin suamiku seperti ayah", Ucap putrinya kala itu. Miris sekali, sekarang bahkan ia tega menjual putrinya pada rentenir tua itu. Kania maafkan ayah, batinnya berbisik lirih. Pria itu menatap lekat wajah putrinya. Gadis mungil itu seperti miniatur istrinya. Winara terisak pelan, ia berdosa sekali. Ayah macam apa dia? Bertindak seolah-olah hanya dialah yang sakit hati karena kepergian istrinya. Maut merenggut kebahagaiannya tanpa permisi, meninggalkan Kania dan luka. Winara bahkan tidak peduli bahkan ketika ia tau putri semata wayangnya begitu akrab dengan luka. Winara ingin memeluk erat putrinya, namun tatapan menantunya membuatnya sedikit meringis. Astaga, tatapan macam apa itu. Apakah itu cara seorang menantu menatap ayah mertuanya? Winara sadar ia pantas menerima hal itu. Sikapnya jauh dari kata baik, jauh sekali.
"Ayah kenapa?" Suara Kania terdengar serak. Gadis itu terlalu sibuk menangisi ayahnya.
Tatapan matanya menyiratkan kerinduan yang paling mendalam. Kerinduan khas seorang anak pada ayahnya.
Mata Kania menyusuri setiap sudut ruangan rawat inap itu. Sebuah kamar biasa, ayahnya bahkan tidak didampingi siapapun. Di mana ibu tirinya yang sinting itu?
"Ayah baik-baik saja. Kau sehat, nak?" Winara bertanya pelan, malu pada putri kandungnya.
"Seperti yang anda lihat. Istriku baik-baik saja. Kau tenang saja, Tuan aku akan memperlakukannya dengan baik. Ia bahkan sangat bahagia ketika jauh darimu apalagi dari istri dan anak tirimu yang terlihat seperti badut itu. Kami bahkan ak- Auhhh". Edward meringis ketika Kania mencubit perutnya kencang. Pria itu bahkan tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Ia beralih melirik istrinya yang memberikan tatapan horor padanya. Astaga, rupanya Edward salah bicara. Pria itu kemudian tutup mulut, batinnya merutuki mulutnya yang selalu asal bicara itu.
"Aku sehat ayah, suamiku memperlakukanku dengan baik. Ayah belum berkenalan dengannya, bukan?" Kania mengelus tangan keriput ayahnya. Pria itu terlihat lebih kurus dari yang terakhir diingatnya.
"Syukurlah. Kania maafkan ayah, nak. Ayah huft ayahhh hiksss". Pria paruh baya itu terisak perlahan. Dadanya sesak oleh penyesalan. Rasa ini sungguh menyiksanya. Ia rapuh, sadar bahwa ia sudah menyakiti putrinya terlalu dalam.
Edward memutar bola matanya malas melihat drama konyol di depannya. Ingin sekali ia menimpali satu dua kalimat ayah mertuanya, tapi ia lebih takut pada istrinya. Pria itu menyentuh bekas cubitan yang masih terasa sakit. Bibirnya komat-kamit tanpa suara mengingat kekerasan yang dilakukan istrinya barusan.
"Namamu siapa nak? Ayah lupa?" Edward melirik sekilas ketika ia tau telah diajak bicara oleh ayah mertuanya.
"Aku Edward Lamos, Tuan. Suami dari putrimu". Edward berucap malas, mengabaikan tatapan tajam istrinya.
"Ahh jangan memanggilku tuan, panggil aku ayah seperti Kania". Winara tersenyum ramah pada menantunya.
"Ayah? Kau bukan ayahku mana mungkin aku memanggilmu ayah? Kau ada-ada saja, Tuan". jawab Edward. Kania merutuki kebodohan suaminya. Gadis itu memijit keningnya, pusing menghadapi sikap konyol pria itu.
"Hahaha kau menikahi putriku, secara tidak langsung kau menjadi anakku. Walaupun kita tidak saling mengenal sebelumnya". Winara berusaha memahami sikap menantunya.
"Tapi aku tidak ingin mempunyai ayah yang tega menjual putrinya pada ren-hei sakit sayang". Edward meringis sekali lagi mendapat perlakuan kasar istrinya.