Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Delapan
Setelah makan malam, suasana di rumah Mama Lily masih terasa hangat meski ada sedikit keraguan di benak Dipta. Dia memandangi piringnya yang sudah kosong, berusaha menggali keberanian untuk mengajukan hal yang sebenarnya sudah mengganggunya sejak tadi pagi. Saat Mama Lily menyusun piring bekas makan malamnya, Dipta tahu ini adalah saat yang tepat.
“Mama,” panggil Dipta dengan suara pelan.
“Ya, Nak. Ada apa?” Mama Lily berbalik, memandang Dipta dengan senyuman. Namun, ada kerutan di dahi Mama Lily yang menunjukkan bahwa dia bisa merasakan ketegangan di udara.
Dipta menarik napas dalam-dalam. “Aku ... aku mau bicara tentang Khanza.”
“Mmmmm ... ada apa dengan Khanza? Wanita yang tinggal di rumah Vania itu'kan?” Mama Lily mulai memperhatikan, merasakan ada sesuatu yang serius di balik kata-kata Dipta. Dia yakin putranya dari siang berada di rumah menunggu kehadirannya, pasti karena ingin mengatakan sesuatu.
Mama Lily yang pulang dari Butik mendapat kabar jika anaknya itu menunggu kehadirannya dari pagi cukup merasa heran. Tapi tubuhnya yang sudah lengket kerena berkeringat, membuat Mama Lily memilih mandi dan akhirnya ketiduran. Baru malam ini mereka bertemu.
“Aku ... aku sebenarnya sudah menjalin hubungan dengannya, Ma.” Suara Dipta sedikit bergetar saat mengatakannya. Dia melihat reaksi wajah Mama Lily perlahan berubah, dari senyuman hangat menjadi kerut serius.
“Khanza? Yang memiliki anak itu? Yang tinggal dengan Vania itu?” tanya Mama Lily, suaranya mengandung ketidakpercayaan. “Dipta, kamu tahu apa yang kamu lakukan? Dia ... dia tidak memiliki masa depan yang jelas."
“Aku tahu itu, Mama. Tapi perasaanku tidak bisa dibohongi. Aku mencintainya,” jawab Dipta tegas, meski dia sedikit gugup karena melihat raut wajah Mama Lily yang berubah masam.
“Mencintai bukan berarti harus bersama'kan? Khanza sudah memiliki anak dan tak tahu siapa ayah dari anaknya. Apa kamu mau terjebak dalam situasi yang rumit seperti itu?” Mama Lily mencoba menahan emosinya, namun nada suaranya mulai meninggi.
Dipta merasa tertekan, tetapi berusaha untuk tetap tenang. “Mama, aku mampu menghadapi semua itu. Aku ingin ada di samping Khanza dan anaknya. Dia membutuhkan aku.”
“Mungkin dia memang membutuhkan kamu, tetapi kamu tidak bisa mengabaikan kenyataan. Kenapa kamu tidak memilih Vania saja? Dia baik, kaya, dan bisa memberikan masa depan yang lebih baik untukmu. Kenapa kamu tidak memilih dia?” Mama Lily berusaha melemparkan ide lain yang lebih “logis”.
Dipta merasakan hatinya bergetar. Nama Vania terasa mencekik napasnya. “Khanza adalah orang yang aku cinta, Mama. Bukan Vania. Aku tak memiliki perasaan apa-apa selain dari persahabatan!" ucap Dipta penuh penekanan.
“Jangan katakan itu, Dipta! Vania adalah wanita yang baik. Dia dokter, sukses, dan selalu berada di sampingmu. Dia layak mendapatkan cinta kamu, bukan Khanza!” Mama Lily berbicara lebih keras sekarang, suaranya penuh emosi. “Aku tak mengerti sampai kapan pun kamu akan terus berpegang pada hubungan yang tidak pasti seperti itu.”
“Mama, aku bukan memilih hubungan yang tidak pasti. Aku punya alasan yang kuat untuk mencintai Khanza. Dia ... dia istimewa!” Dipta tersulut, hatinya berontak melawan ketidakadilan yang dia rasakan dari penilaian Mama terhadap Khanza.
“Istimewa? Bagaimana bisa kamu bilang dia istimewa jika dia membawa semua masalah di hidupnya ke dalam hidupmu nantinya?” Mama Lily menjawab dengan nada tegas. “Apa kamu sudah memikirkan semua ini? Semua konsekuensinya? Lihatlah, dia memiliki anak dari seseorang yang tidak jelas. Apa kamu siap menghadapi pikiran orang-orang di luar sana? Apa yang akan orang-orang katakan?"
Dipta merasa seolah sedang terpenjara dalam kata-kata Mama. Semua yang dia ucapkan memang masuk akal, tetapi perasaannya terhadap Khanza tidak bisa diremehkan. “Khanza bukan hanya tentang masa lalunya, Ma! Dia telah berjuang seorang diri demi anaknya! Tidak ada cara untuk mencintai seseorang secara setengah-setengah. Cintaku untuknya adalah utuh!”
“Dipta ....” Mama Lily menghela napas berat, menatapnya dengan mata penuh harapan. “Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku ingin kamu bahagia. Akan tetapi aku tidak akan merestui hubungan ini. Kamu tidak bisa hidup dalam bayang-bayang orang lain. Kamu hanya terbawa emosi, cinta buta. Kau terjebak dengan orang baru tanpa menyadari jika Vania, yang telah berada di sampingmu lebih dari sepuluh tahun adalah cinta sejatimu sebenarnya!"
Dipta terdiam sesaat. Menarik napas dalam. Dia tak mau bertengkar. “Mama, Cinta sejati adalah cinta yang tanpa syarat, menerima pasangan dengan sangat tulus tanpa memandang fisik, memandang harta atau memandang masa lalunya. Cinta sejati yang tulus adalah cinta yang menerima pasangan karena apa adanya, bukan karena ada apanya."
“Saat ini kamu sedang dibutakan oleh cinta. Kamu tak menyadari jika Vania jauh lebih baik karena terlalu lama berkenalan dan selalu bersama. Mama yakin sebenarnya yang kamu cintai itu Vania bukan Khanza."
“Aku bukan mencintai Vania, Mama. Kenapa Mama tidak bisa mengerti?” Suara Dipta meninggi, kesedihan dan kemarahan bercampur aduk di dalam dirinya.
“Padahal apa kurangnya Vania? Cantik, kaya, pintar dan juga baik."
“Vania adalah sahabatku, Mama. Dan aku menghormatinya, bukan untuk dijadikan pilihan karena aku hanya menganggapnya sebagai adik, tidak lebih. Aku hanya ingin hidup dengan ketulusan!”
Mama Lily tampak putus asa, lalu dia menatap Dipta dengan penuh harap. “Dipta, sampai kapanpun, aku tidak akan merestui hubunganmu dengan Khanza. Aku mohon, carilah wanita yang lebih baik. Manfaatkan masa muda ini untuk sesuatu yang lebih berarti, bukan terjebak dalam masalah yang akan membuatmu tersakiti.”
Dipta merasa hatinya hancur. Dia berdiri dan berjalan ke jendela, melihat malam yang kelam di luar. “Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa, Mama. Ini hidupku dan aku akan memilih apa yang terbaik untukku.”
“Mama ingin kamu bahagia, Dipta. Bukankah itu hal yang paling penting? Jangan biarkan keputusanmu menghancurkan hidupmu sendiri.”
Air mata mulai menggenang di matanya. “Tapi aku tidak bisa membohongi perasaanku, Mama. Jika satu-satunya yang membuat aku bahagia adalah bersama Khanza, aku akan melakukannya.”
Dalam keheningan, ibu dan anak itu terdiam, masing-masing terjebak dalam pemikiran mereka sendiri. Mama Lily tak bisa memaksakan pemahaman yang ada di benaknya, sedangkan Dipta merasa terpuruk dalam pilihan yang harus dihadapi.
“Aku tidak akan berhenti mencintai Khanza,” Dipta berujar perlahan kemudian, menambahkan pada malam yang telah menuai ketegangan di antara mereka. “Dan jika sampai saatnya, dan sampai kapanpun itu, aku harus berjuang, aku akan melakukannya.”
Mama Lily merasakan berat di hatinya, mengetahui bahwa anaknya mengambil jalan yang sangat berisiko. Namun, sekuat apapun dia ingin mengubah pikiran Dipta, dia tahu bahwa dia tidak dapat mengendalikan siapa yang akan Dipta cintai.
“Dan jika kamu tetap bertahan dengan keyakinan mu yang akan terus mencintai Khanza, mama juga tetap dengan pendirian mama, tidak akan pernah merestui hubungan kamu dengan wanita itu!"
“Untuk saat ini, aku hanya berharap Mama bisa memahami keputusanku. Ini bukan hanya perasaanku, tapi juga bagian dari diriku yang ingin hidup dengan orang yang aku cintai. Mama pasti mengerti, jika cinta tak bisa dipaksakan.” Dipta berbisik penuh harapan.
Malam itu menjadi batas bagi mereka, sebuah keputusan yang akan mengubah arah kehidupan Dipta dan hubungannya dengan Khanza. Apa pun yang terjadi selanjutnya, Dipta tahu satu hal: cinta sejatinya tidak akan pernah pudar, meski harus menghadapi banyak tantangan.
makanya jadi cewek jangan murahan