Demi melunasi utang ayahnya yang menumpuk, Rumi rela menikah kontrak dengan Radit, duda kaya raya yang kehilangan istrinya tiga tahun silam karena perceraian.
Bagi mereka, pernikahan ini tak lebih dari sekadar kesepatakan. Rumi demi menyelamatkan keluarganya, Radit demi menenangkan ibunya yang terus mendesak soal pernikahan ulang. Tak ada cinta, hanya kewajiban.
Namun seiring waktu, Rumi mulai bisa melihat sisi lain dari Radit. Pria yang terluka, masih dibayang-bayangi masa lalu, tapi perlahan mulai membuka hati.
Saat benih cinta tumbuh di antara keterpaksaan, keduanya dihadapkan pada kenyataan pahit, semua ini hanyalah kontrak. Dan saat hati mulai memiliki rumah, mereka harus memilih. Tetap pada janji atau pergi sebelum rasa itu tumbuh semakin dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurAzizah504, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Amplop Putih
Pagi itu, Rumi berdiri di depan kantor Radit. Tangan kirinya menggenggam amplop putih yang sudah lecek, bekas diremas berkali-kali. Di dalamnya, hasil pemeriksaan Nayara yang menyatakan kehamilannya dengan nama ayah, Radit Wijaya.
Langkah Rumi ringan, tapi jantungnya berdebar tidak karuan. Wajahnya pucat, tapi matanya tajam. Tak ada air mata. Hanya diam yang dalam.
Sesampainya di lantai atas, Nauval terkejut melihatnya.
"Rumi? Ada perlu ya sama Radit? Radit lagi—"
"Aku mau ketemu suamiku. Sekarang."
Nauval hendak menahan, tapi raut Rumi membuatnya tak berani bicara lebih lanjut.
Pintu ruang CEO terbuka. Radit sedang mengetik di depan laptop.
"Rumi?" ucap Radit kaget. "Kenapa ke sini? Kamu nggak bilang—"
Rumi mendekat perlahan. Dia meletakkan amplop putih itu di atas meja kerja Radit. Pelan. Lalu duduk di hadapannya. Tatapannya menusuk, tapi masih tenang.
"Aku nggak akan marah, Mas," katanya dengan suara datar. "Aku cuma mau tahu, sejak kapan Mas mulai berbohong."
Radit mematung. Tangannya bergetar saat meraih amplop itu. Ia tahu isinya. Ia tahu, semuanya sudah tak bisa disembunyikan lagi.
"Rumi, aku bisa jelaskan semuanya. Itu—"
"Kamu tidur dengan wanita lain, dan hasilnya ..." Rumi menyentuh dadanya sendiri. "... kamu akan jadi ayah dari dua anak dari dua perempuan yang berbeda. Hebat sekali kamu."
Radit bangkit, hendak mendekati Rumi.
"Sayang, tolong, aku dijebak. Aku nggak tahu minuman itu sudah dicampur. Aku nggak sadar, aku—"
"Tapi kamu masih sering menemuinya, Mas!" Rumi berteriak, amarahnya meledak. "Kamu tetap sembunyikan semuanya. Kamu tetap diam waktu aku peluk kamu, waktu aku bilang aku percaya kamu dan kamu tetap bohong."
Tangis Rumi akhirnya pecah. Tapi bukan seperti sebelumnya, bukan tangis lemah. Ini tangis amarah, kelelahan, dan kehancuran hati yang ditahan terlalu lama.
"Aku stress, Mas. Aku hamil. Tapi yang lebih bikin aku gila adalah kenyataan bahwa suamiku memilih diam, dan membiarkan aku menebak-nebak semuanya sendirian."
Radit mencoba menyentuhnya lagi, tapi Rumi mundur.
"Aku nggak peduli kamu dijebak atau tidak. Karena kamu tidak pernah memberiku kesempatan untuk memahami kamu dari awal."
Ia berdiri.
"Mulai sekarang, aku akan pilih. Untuk tetap peduli ataupun tidak."
Rumi keluar dari ruangan, meninggalkan Radit yang terduduk lemas. Dunia Radit runtuh perlahan. Dan kali ini, tak ada lagi pelukan dari Rumi untuk membuat semuanya terasa baik-baik saja.
Setelah keluar dari kantor Radit, langkah Rumi tak lagi ragu. Tak ada tangis di sepanjang perjalanan. Hanya wajah kosong dan tangan yang sesekali menyentuh perutnya.
Ia tidak pulang ke rumah Radit.
Dia memilih belok ke arah yang berbeda. Menuju rumah masa kecilnya, rumah bapaknya.
Sore itu, Anwar terkejut melihat anaknya berdiri di depan pagar. Rambutnya sedikit acak, wajahnya lelah. Tapi mata Rumi, penuh luka yang disimpan rapi.
"Rumi? Ya Allah, Nak. Kamu kenapa?"
Rumi hanya tersenyum kecil, lalu memeluk sang ayah erat. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia membiarkan tubuhnya gemetar dalam pelukan orang tuanya. Bukan karena lemah. Tapi karena di sini ia tahu, ia boleh merasa lelah.
"Boleh Rumi tinggal di sini, Pak? Untuk sementara saja. Sampai Rumi tahu harus bagaimana."
Anwar mengangguk cepat. Matanya berkaca-kaca. Ia tidak bertanya banyak, hanya menuntun Rumi masuk lalu menyiapkan kamar lamanya.
Malam itu, Rumi duduk di ranjang masa kecilnya. Aroma kayu tua, tirai jendela yang familiar, dan suara jangkrik dari kebun belakang. Semua membawa ingatan akan masa lalu.
Tapi kali ini berbeda.
Di dalam dirinya, ada kehidupan kecil yang harus ia lindungi. Dan hatinya—meski masih memeluk luka—sudah tak bisa percaya sepenuhnya pada Radit.
...****************...
Pagi itu, Radit datang ke rumah mertuanya. Pakaian kerjanya belum diganti sejak kemarin, matanya sembab karena semalaman tak tidur. Ia berdiri ragu di depan pagar, menatap pintu rumah yang tertutup rapat.
Belum sempat mengetuk, pintu itu terbuka. Anwar keluar, mengenakan baju koko putih dan peci yang biasa dipakai salat subuh.
Ya, Anwar memutuskan untuk bertaubat. Tapi sekarang, Tuhan kembali memberinya cobaan yang teramat besar. Putrinya terluka.
"Kamu cari siapa, Dit?"
"Saya ... Rumi, Pak. Dia pulang ke sini, kan?" Radit terbata. Untuk pertama kalinya, ia merasa tidak percaya diri. Untuk pertama kalinya, Radit ketakutan seolah hampir mati.
"Iya. Dia pulang ke rumah bapaknya."
"Boleh saya temui?"
Anwar menatap Radit lama. Tatapan yang sempat hangat selama beberapa waktu lalu, kini berubah menjadi dingin dan tajam. Ia menarik napas dalam sebelum berkata, "Untuk saat ini, saya minta kamu jangan temui dia dulu."
Radit terdiam. Tubuhnya nyaris lunglai, tapi ia tetap berdiri tegak.
"Saya hanya mau menjelaskan, Pak. Semuanya nggak seperti yang terlihat."
"Kalau memang mau menjelaskan, kenapa bukan dari kemarin? Kenapa harus nunggu sampai anak saya hancur?"
Anwar mulai kehilangan kesabarannya. Sorot matanya penuh amarah, tapi tetap ditahan. Ia tahu ini menyangkut nyawa dua orang, anaknya dan cucunya yang belum lahir.
"Dit, kamu suami Rumi. Tapi kamu juga seorang pria dewasa. Kamu tahu konsekuensi dari setiap pilihanmu. Anak saya lagi hamil. Kamu pikir dia kuat hadapi semuanya sendiri? Saya udah cukup sabar, tapi sekarang, biar saya yang jaga Rumi. Dan kamu, pergi."
Radit terdiam. Ia ingin memaksa, ingin berteriak, ingin menangis. Tapi semua itu tertahan. Ia hanya bisa menunduk, menelan pil pahit yang ia buat sendiri.
Anwar menutup pintu perlahan.
Dan Radit pun berdiri sendiri di balik pagar.
kapal ku gak boleh karammmm!!/Sob/