DUNIA KITA BERBEDA: ADHISTI DAN KENZO

"Silahkan duduk, Pak." guru BK itu mempersilahkan Kenzo untuk duduk. Sedangkan mama Rika melipat tangannya didepan dada, sembari menatap sinis. Ia sedang menunggu suaminya yang membeli materai sepuluh ribu sebagai penguat untuk perjanjian tersebut.

"Terimakasih, Bu." Kenzo menarik kursi losong disamping Dita yang duduk dengan kepala merunduk setelah ia menuliskan surat perjanjian tersebut.

Kenzo melirik gadis kecil yang sudah membuat hatinya dipenuhi debaran dan sebuah kebahagiaan, entah perasaan seperti apa yang ia rasakan, ia hanya begitu merasa jika jiwanya seperti kembali lagi. "Memangnya ada masalah apa, ya, Bu?" tanya pria itu dengan sopan.

Ia sebenarnya tidak pernah berurusan dengan guru, sebab ia belum memiliki anak yang bersekolah. Jikapun ada, pasti seusia Dewi Pandita.

"Begini, Pak. Tapi sebelumnya bapak siapa, ya?" tanya sang guru dengan sesopan mungkin.

Kenzo mengingat jika Dewi Pandita menyembunyikan tentang kisah sang ayah saat dimobil pagi tadi.

"Saya papanya," jawabnya asal. Entah kenapa ia merasa begitu perduli, ada rasa yang tak dapat ia ungkapkan.

Seketika mereka tercengang. Bagaimana mungkin itu terjadi, apakah Kenzo tidak melihat kondisi pakaian Dita yang begitu sangat miris?

"Jika dilihat dari wajah memang seperti mirip," gumam guru matematika dengan sangat pelan.

Dewi Pandita mengangkat wajahnya, lalu menatap Kenzo dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi benaknya. Ia ingin menyangkalnya, namun hatinya menolak untuk hal itu.

Sedangkan Mama Rika tampak mengangakan mulutnya tak percaya.

"Oh, kalau begitu mungkin lebih baik saya mengatakan inti permasalahannya. Sebab Dewi Pandita pagi tadi ada melanggar sebuah aturan sekolah yang mana tidak dibenarkan adanya pembullyan." wanita itu menatap Dewi Pandita yang terlihat sangat tak biasa, ada raut kebingungan diwajahnya.

"Dewi Pandita menendang teman sekelasnya hingga mengalami cidera dibagian siku, dan kedua orangtuanya menuntut agar ia dikeluarkan dari sekolah atau membayar denda sepuluh juta rupiah atas tindakan yang telah dilakukannya," jelas sang guru BP.

Kenzo menghela nafasnya dengan berat, lalu menatap Dewi Pandita dengan tatapan lembut. "Apakah benar?" tanyanya.

Dewi Pandita menggelengkan kepalanya. "Bukan aku yang memulai, tapi dia yang terlebih dahulu, d8a mencoba memerasku."

Sontak Mama Rika tak terima dengan penjelasan dari Dewi Pandita yang dianggapnya pembohong. "Dasar kau--ya! Jangan jadi pembohong. Dasar anak tidak tahu diri!"

Kenzo mengangkat tangannya setinggi pundak yang meminta jika mama Rika untuk diam sejenak. "Berikan pada anakku untuk berbicara, dia punya hak untuk membela dirinya." pria itu menatap mama Rika yang terlihat sangat angkuh.

"Tau apa kau?! Apa kau fikir penampilan yang seperti ini dapat mengelabui kami, bisa jadi kau hanya karyawan rendahan yang memaksa diri untuk menyekolahkan anak disekolah bergengsi!" ucap Mama Rika dengan sinis.

"Bu, sabarlah, kita selesaikan masalah ini secepatnya," guru wali kelasnya mencoba menenangkan mama Rika yang terlihat emosi.

"Apakah sudah memeriksa CCTV?" tanya Kenzo pada guru Bimbingan Konseling.

Seketika mereka saling pandang, dan hal itu terlupakan begitu saja.

"Oh, Maaf, kami hampir saja melupakannya." lalu sang wali kelas menghubungi pihak administrasi untuk memeriksa rekaman CCTV dan mengirimkannya ke ponselnya.

Seketika wajah Rika memerah, ia takut jika ketahuan bahwa ia yang sudah memulainya terlebih dahulu. Tapi ia ia tidak takut, sebab papanya salah satu orang terkaya, dan bisa memutar balikkan fakta dengan yang namanya uang.

Beberapa saat kemudian, sebuah rekaman dikirimkan kepada sang Wali Kelas melalui pesan WA dan terlihat wajahnya sedikit panik.

Rekaman tersebut mereka kirim ke layar laptop, dan ditonton bersama, maka disana memperlihatkan bagaimana kejadian yang sesungguhnya.

Seketika mama Rika tidak ingin melihat kenyataan tersebut. Ia sudah kalah malu dengan argumennya, dan ingin menjadikan cidera disiku puterinya sebagai bukti konkrit untuk membesarkan masalah tersebut.

"Saya tidak terima. Jelas dia telah menendang puteri saya dibagian perut hingga terjungkal, dan itu sudah menjadi cukup bukti agar ia dikeluarkan dari sekolah ini!" Mama Rika bersikeras dengan pendapatnya.

Saat bersamaan, seorang pria datang dengan membawa selembar materai yang akan dijadikan sebagai penguat perjanjian.

Ia menyerahkan materai tersebut kepada sang guru BK. "Ini materainya, dan urus secepatnya!" ucapnya dengan menegaskan kalimatnya. Sedangkan Rika mengamit tangan papanya yang menginginkan pembelaan.

"Tenang, Sayang. Papa akan mengurus semuanya dengan sangat mudah," ia meyakinkan puterinya.

"Tetapi menurut rekaman CCTV Rika yang terlebih dahulu memulai semuanya," guru BK itu mencoba memberitahu pada papanya Rika.

Seketika pria itu tidak terima. Ia merasa jika pihak sekolah tidak menghargainya sebagai orang terpandang. "Saya tidak mau tau! Saya ingin gadis kecil ini harus menerima hukuman karena menendang puteri saya. Apa susahnya menyingkirkan anak miskin ini?!" ucapnya penuh penekanan, sembari menunjuk ke arah Dewi Pandita.

"Apakah sebuah kebenaran tidak dapat membuka hatimu untuk melihat kenyataan jika anak anda yang bersalah," Kenzo angkat bicara karena baginya sudah cukup mereka menghina Dewi Pandita atas apa yang tidak dilakukan oleh sang gadis kecil.

Kenzo beranjak dari duduknya. Lalu memutar tubuhnya dan menghadap pada pria yang sama mengenakan stelan jas mahal.

"Apakah sebagai sesama lelaki kuta perlu menyelesaikan masalah anak-anak secara dewasa, tanpa kalian harus menghakiminya?" tantang Kenzo dengan tatapan dingin.

Sontak pria itu terkejut, dan tatapannya terlihat sangat panik. Bibirnya bergetar karena tidak menduga apa yang sedang dilihatnya saat inj.

"Pak Kenzo? Mengapa bapak bisa ada disini?" tanya pria itu dengan tatapan yang penuh ketakutan.

Sedangkan sang istrinya menatap suaminya dengan rasa penasaran.

"Dia puteriku, dan entah mengapa ia memakai pakaian seperti ini, seolah tidak ingin tahu tentang siapa papanya," jawab Kenzo dengan skak mat.

Ia seperti pernah melihat dimana pria tersebut, dan sesaat ingatannya kembali datang. "Bukankah kamu staf management diperusahaan saya?" tanya Kenzo dengan mengerutkan keningnya.

"Oh, iya, Bos. Maafkan anak saya telah berbuat lancang pada puteri Anda. Saya akan mendidiknya dengan baik, dan harap Bos tidak tersinggung dengan ucapan saya." pria itu mengatupkan kedua tangannya dibawah dagu.

Seketika mama Rika tercengang dengan perkataan pria tersebut. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi. Ini sangat diluar prediksi.

"Oh, begitu? Tetapi ini tidak hanya sekedar dengan permintaan maaf, tetapi puteri anda harus meminta maaf pada puteriku dan jika ia berani mengusik Dewi Pandita, mungkin sanksinya cukup jelas, aku akan memutuskan hubungan pekerjaan denganmu," ucap Kenzo dengan nada penuh penekanan.

Seketika wajah mama Rika terkejut mendengarnya. Ia merasa jika ini adalah sebuah musibah besar karena sudah membuat masalah dengan orang yang salah.

"Oh, Maafkan saya, Pak. Saya akan mengajarkan prilaku baik pada puteri saya. Tolong jangan diambil hati, ini hanya masalah anak-anak saja." ucapnya dengan wajah pucat.