Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XVIII
Beberapa tahun yang lalu
Pada waktu itu, Shila dan Bara baru berusia 5 tahun. Setengah mati Gia merawat kedua anaknya dengan berbagai tangis yang telah ia lewati.
Pagi itu Gia tengah berada di pasar tanpa kedua anaknya. Sekarang musim panas, tentu Gia tak ingin anak-anaknya merasakan terik matahari yang menyengat ini. Jadilah Gia memutuskan untuk pergi ke pasar seorang diri. Untung saja anak-anaknya tak merengek ketika Gia berpamitan tadi, Gia amat bersyukur mempunyai anak-anak koorperatif seperti mereka. Kalau tidak, tentu Gia tak akan tenang meninggalkan anak-anaknya sendiri dirumah.
Tidak apa nak, kita manusia kuat, harus bisa mandiri dari sejak dini.
Meski berulang kali kalimat itu yang selalu Gia gumamkan dalam hati, tetap Gia tak pernah bisa menutupi perasaan tak terimanya pada kehidupannya beserta anak-anaknya. Betapa jahatnya takdir padanya dan anak-anaknya
Baiklah untuk saat ini lupakan satu hal itu, kalau tidak anak-anaknya dirumah akan kelaparan menanti makanan yang belum sempat Gia buat karena kehabisan bahan masakan itu.
Gia berencana memasak tongkol yang ditambah sayur bening dan sedikit sambal. Mengingatnya saja sudah membuat Gia ingin mengeluarkan air liurnya sangking tak sabarnya menyantap masakannya nanti. Tak cukup mewah, namun cukup bergizi untuknya dan anak-anaknya.
Kali ini Gia memutuskan untuk pergi ke penjual yang menjajakan sayur pauk sebagai dagangannya. Tangan Gia dengan telaten melihat-lihat sayuran yang hendak akan ia beli.
Sembari menghitung-hitung pengeluarannya didalam hati samar-samar Gia mendengar suara ibu-ibu yang tengah berbincang. Gia menoleh sekilas ke arah samping dimana suara ibu-ibu itu terdengar. Dapat Gia tangkap, ibu-ibu itu tengah berada di toko penjual ayam yang jaraknya hanya tiga stan di depan tempat Gia membeli sayur pauk. Posisi ibu-ibu itu tengah membelakangi Gia, sehingga ibu-ibu itu tak menyadari keberadaan Gia.
Awalnya Gia tak mempermasalahkan kehebohan dari ibu-ibu itu, tangannya masih aktif memilah-milah bahan apa saja yang akan ia beli. Namun fokusnya terhenti kala namanya tanpa sengaja terdengar oleh gendang telinganya.
" Mbak Gia itu lama-lama sikapnya semakin mencurigakan gak sih ibu-ibu. Saya lihat-lihat kok semakin kegatelan yah. "
Gia melirik ke arah samping kembali, batinnya entah kenapa sedikit merasa kurang enak. Dapat Gia lihat yang mengeluarkan kalimat itu adalah ibu Wendi salah satu tetangganya.
" Kemarin aja waktu ada acara kerja bakti, Bu Gia sengaja tampil cantik sambil bawa gorengan ke bapak-bapak yang lagi kerja bakti. Kek sengaja banget gitu ibu-ibu. Padahal mah biasanya saya lihat kalau lagi dirumah tuh mbak Gia penampilannya gak secantik itu. Bahkan bisa dibilang kayak gembel malah. Eh, pas ada kerja bakti malah sok kecentilan dandan cantik gitu. Kelihatan banget sengajanya. " Lanjut Bu Wendi.
Ditempatnya Gia menarik napas sesak. Setengah mati Gia menahan air matanya agar tak keluar pada detik ini juga. Tentu kalimat itu cukup bahkan lebih dari kata cukup untuk menyakiti hatinya.
" Jelas lah ibu-ibu, asal usulnya aja gak jelas. Tiba-tiba pindah ke kampung kita bawa dua bayi tanpa ada suaminya. Padahal si Gia itu pas itu masih muda banget. Jelas dari sana saya curiga mbak Gia itu bukan orang baik-baik. Kayaknya sih dia kebobolan sama pacarnya. Terus pacarnya gak mau tanggung jawab. Akhirnya dia ditinggal deh. Terus sekarang dia malah jadi sok kegatelan ke orang-orang dikampung kita, biar dapet gadun yang mau biayain hidupnya sama anak-anaknya. Aduh gak bisa bayangin seberapa nelangsanya orang tuanya punya anak kayak dia. Nauzubillah banget saya punya anak kaya dia. " Kali ini bukan Bu Wendi, melainkan Bu Nina yang juga salah satu tetangganya itu.
Gia menelan ludahnya kuat-kuat. Rasanya mendengar kalimat-kalimat pedas itu terlontar cukup membuat Gia merasa tercekik. Kalimat pedas itu tak sepenuhnya benar, namun tak sepenuhnya salah. Gia benar-benar kebobolan ketika mengandung anak-anaknya. Namun itu semua bukan keinginannya. Tentu gini-gini Gia tak ingin mengecewakan orang tuanya, meski pada saat itu Gia memutuskan untuk kabur dari kedua orang tuanya. Namun paling tidak Gia masih bisa berpikir untuk tak semakin mempermalukan kedua orang tuanya. Meski pada akhirnya Gia tetap mengecewakan kedua orangtuanya itu.
Pedih sekali mengingat hal-hal seperti itu. Apalagi hal itu di ucapkan dengan teramat pedas oleh orang lain ditambah beberapa fakta yang melenceng dari kenyataannya. Mendengar fakta saja sudah menyakitkan apalagi ditambah fitnah yang menyertai.
Lalu tentang kegatelan apalagi sampai ingin mencari gadun? Lucu sekali pemikiran-pemikiran mereka. Gia bukan wanita gatal yang bahkan melakukan segala cara yang tak halal untuk menghidupi kehidupannya dan anak-anaknya. Yah, meski sempat terbesit dalam pemikirannya untuk seperti itu, namun iman masih Gia pegang teguh untuk tak melakukan hal yang memalukan seperti itu.
Kalau tidak salah ingat, Gia hanya murni ingin berbagi cemilan agar para bapak-bapak yang tengah gotong royong dapat menikmati cemilan sebentar setelah lelahnya membersihkan kolong got kampung mereka itu. Bukankah itu hal biasa yang sering dilakukan orang-orang yang tinggal ditempat padat penduduk seperti Gia ini.
Dan penampilan Gia saat itu murni karena Gia hanya ingin tampil lebih baik dari biasanya agar tak mendengar celaan dari orang-orang, tentu Gia tak ingin anak-anaknya dianggap anak dari seorang ibu miskin. Namun harus Gia tekankan, pakaian Gia pada saat itu masih berada dikata sopan. Bahkan Gia tak berpoles sedikit pun, hanya sedikit memakai pakaian lebih rapi dari biasanya. Yah orang mana yang mau keluar rumah dengan pakaian gembel seperti berada didalam rumah? Coba jawab pertanyaan Gia. Ditambah Gia pada saat itu hendak keluar membeli keperluan anak-anaknya. Kejam sekali orang-orang yang menuduhnya seperti itu.
Gia meremas sayur yang tengah ia genggam. Napas Gia memburu kencang sangking tak kuat menahan tangis.
" Kalau saya yang mendengar kalimat buruk tentang saya, saya hanya akan menjadikannya sebagai pelajaran untuk tidak melakukan hal itu lagi. Contohnya apabila saya dikatakan kegatelan, maka yang harus saya lakukan adalah melakukan hal sesopan mungkin dan membuktikan ke orang lain bahwa saya tak pernah seperti yang mereka katakan. Bukannya sedih dan menangis meraung-raung tidak jelas didepan mereka. "
Gia terdiam sesaat sebelum menoleh ke arah samping, dimana sosok seorang paruh baya tengah ikut memilih-milih sayuran bersamanya. Ialah yang mengucapkan kalimat itu, ibu Reno yang juga nenek Zevan.