ADRIAN PRATAMA. Itu nama guru di sekolah gue yang paling gue benci. Karena apa? Karena dia udah membuka aib yang hampir tiga tahun ini gue tutup mati-matian.
“Dewi Mantili. Mulai sekarang kamu saya panggil Tili.”
Nyebelin banget kan tuh orang😠 Aaarrrrggghhh.. Rasanya pengen gue sumpel mulutnya pake popok bekas. Dan yang lebih nyebelin lagi, ternyata sekarang dia dosen di kampus gue😭
ADITYA BRAMASTA. Cowok ganteng, tetangga depan rumah gue yang bikin gue klepek-klepek lewat wajah ganteng plus suara merdunya.
“Wi.. kita nikah yuk.”
Akhirnya kebahagiaan mampir juga di kehidupan gue. Tapi lagi-lagi gue mendapati kenyataan yang membagongkan. Ternyata guru plus dosen nyebelin itu calon kakak ipar gue😱
Gue mesti gimana gaaeeesss???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegombalan Hakiki
WARNING!!!
MEMBACA BAB INI BISA MENIMBULKAN EFEK MESEM² DAN BAPER.
***************************************
“Wi.. kamu udah punya pacar belum?”
“Belum.”
“Masa? Terus Roxas?”
“Dia sahabat aku dari kecil.”
“Beneran cuma sahabat?” Aditya berusaha mendapatkan kepastian jawaban dari Dewi. Dia perlu tahu dulu situasi dan kondisi gadis itu. Karena Aditya sudah bertekad untuk mengejar dan mendapatkannya.
“Iya, di antara kita ngga ada perasaan apa-apa, kecuali sahabat.”
“Kamu mungkin ngga punya perasaan apa-apa, tapi belum tentu dia ngga punya.”
“Roxas punya perasaan sama aku? Ngga mungkin lah hahahaha..”
“Apanya yang ngga mungkin. Biasanya kalau cewek dan cowok bersahabat, kalau ngga dua-duanya ya salah satunya baper.”
Dewi menanggapi ucapan Aditya dengan tawanya. Gadis itu sampai menyusut air di sudut matanya karena tak berhenti tertawa. Tebakan Aditya tentang Roxas yang mempunyai rasa lain padanya benar-benar membuatnya terpingkal.
“Aku sama Roxas beneran ngga ada apa-apa. Aku kasih tau ya, Roxas itu ngga suka sama cewek kinyis-kinyis model aku.”
“Maksudnya?”
“Roxas itu lebih suka cewek yang lebih tua darinya. Mungkin karena dia dibesarkan oleh ibu dan neneknya, jadi dia lebih suka cewek yang lebih tua.”
“Beneran dia suka sama yang lebih tua?”
“Iya. Waktu kelas satu dia pernah naksir guru biologi, namanya bu Melda. Cantik orangnya, bodinya juga kaya gitar Spanyol. Tiap hari si Rox caper ama bu Melda. Tapi sayang cuma dianggap murid doang hihihi..”
“Terus sekarang masih?”
“Ngga.. pas naik kelas 2, bu Melda nikah terus pindah ke luar pulau Jawa, ikut suaminya. Sampe sekarang dia belum nemu lagi yang modelan bu Melda hahaha..”
“Oh kalau dia suka yang lebih tua, aku sih punya banyak stok. Tar aku kenalin deh sama neneknya Rivan.”
“Ya ngga nenek-nenek juga kali, hahaha…”
“Hahaha…”
Langkah Roxas terhenti ketika mendengar tawa Dewi. Kemudian pandangannya tertuju pada Aditya.
Kayanya si Adit deh yang waktu itu diomongin Dewi. Ya bagus deh kalo tuh orang bisa bikin Dewi bisa ketawa lagi.
Roxas membenarkan tasnya yang tersampir di bahu, kemudian membuka pintu ruangan dan berjalan menuju Dewi dan Aditya yang masih betah mengobrol. Pemuda itu langsung mendudukkan diri di samping Dewi.
“Wi.. lo mau pulang bareng gue ngga?” tawar Roxas.
“Euungg..”
“Dia pulang bareng gue, bro. Ngga apa-apa kan?” Aditya langsung menyambar.
“Ok deh. Gue titip Dewi ya.”
“Sip. Eh, lo mau kan gabung ama band gue?”
“Gue diterima emangnya?”
“Diterima. Mau ngga?”
“Ya maulah,” wajah Roxas terlihat senang.
“Kayanya bulan depan kita bakalan ada kontrak jadi home band di Blue Light café.”
“Serius?? whoaaaa… keren-keren,” Roxas bersorak kegirangan.
“Nanti gue kabarin lagi, deh.”
“Sip. Kalo gitu gue cabut duluan yak.”
Roxas bangun dari duduknya kemudian menghampiri tunggangan kesayangannya. Pemuda itu duduk di atas sepeda motor kemudian menstaternya, namun si hejo belum mau menyala. Pemuda itu beberapa kali mencoba menyelah motor namun tetap tak mau menyala. Dia kemudian membuka tutup tangki bensinnya.
“Wi..”
“Apa? Bensin lo abis lagi? Kebiasaan.”
“Ya maklum Wi. Ini jarumnya udah rusak, mana gue tau abis atau ngga bensinnya. Orang jarumnya nunjuk huruf E mulu.”
Roxas turun dari motornya lalu melihat ke sekeliling. Tak jauh darinya terdapat penjual bensin eceran. Pemuda itu bergegas mendekati sahabatnya yang masih berada di tempatnya semula.
“Wi.. minta duit dong buat beli bensin.”
“Ah elo mah kebiasaan,” Dewi merogoh saku celananya lalu mengeluarkan selembar sepuluh ribuan dan memberikannya pada Roxas.
“Kurang, Wi.”
“Pas itu, kan pertalite harganya sepuluh ribu.”
“Ya kalo di pom bensin. Kalo di eceran kan dua belas rebu. Minta lagi.”
“Buset dah, si hejo dari dulu nyusahin gue mulu.”
Sambil menggerutu Dewi merogoh kembali saku celananya. Dia memberikan selembar dua puluh ribuan dan menukarnya dengan lembaran sepuluh ribuan tadi.
“Thanks ya, Wi. Gue duluan. Assalamu’alaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Roxas mendorong motornya menuju penjual bensin eceran yang hanya berjarak beberapa meter saja dari studio musik. Setelah sosok Roxas tak terlihat, Aditya bangun dari duduknya dan mengajak Dewi pergi.
“Udah siang. Kamu laper ngga?”
“Laper sih. Tapi mending shalat dulu deh, udah adzan juga.”
“Wokeh.”
Aditya dan Dewi berjalan meninggalkan studio musik One Feel. Mereka berhenti sejenak di pinggir jalan, menunggu beberapa kendaraan yang masih lalu lalang. Saat kendaraan yang melintas sedikit berkurang, barulah mereka menyebrang untuk sampai di masjid. Refleks Aditya menggandeng tangan Dewi saat menyebrang. Walau terkejut, Dewi tak menampik tangan pemuda itu. Dia menundukkan kepala seraya menyunggingkan senyuman.
🌸🌸🌸
“Mau makan di mana?” tanya Aditya setelah mereka selesai menunaikan ibadah shalat dzuhur.
“Terserah.”
“Di warteg langgananku mau?”
“Boleh.”
Keduanya segera keluar dari pelataran masjid dan berjalan menyusuri trotoar. Hati Dewi berbunga-bunga bisa bertemu, mengobrol bahkan berjalan berdua dengan Aditya. Dia masih belum percaya kalau yang berjalan di sampingnya sekarang adalah lelaki yang sudah mencuri hatinya.
Setelah melewati beberapa jajaran toko dan ruko, akhirnya mereka sampai di warteg langganan Aditya. Begitu pemuda itu masuk ke dalam, sang penjual langsung menyambutnya. Aditya mengajak Dewi duduk di bagian paling ujung.
“Biasa mas?” tanya penjual warteg.
“Iya, bu. Nasi rames pake ayam.”
“Mbaknya?”
“Samain aja, bu. Tapi minta sambelnya ya bu.”
“Nggih..”
Dengan cepat wanita paruh baya itu menyiapkan pesanan. Tak berapa lama kemudian, dua porsi nasi rames sudah tersaji di depan Dewi dan Aditya.
“Minumnya apa mas?”
“Es teh manis, dua ya mbok.”
“Siap, mas.”
Dengan lahap Dewi dan Aditya menyantap nasi rames sambil sesekali menyeruput es teh manis. Aditya melirik pada Dewi yang tampak cuek menikmati makanannya tanpa harus menjaga imagenya alias jaim. Dari sekian gadis yang makan bersama dengannya, baru Dewi yang terlihat apa adanya.
“Enak ngga?”
“Enak. Sambelnya pedes, mantul.”
“Sambelnya emang paling juara di sini. Dari sekian warteg yang aku datangin, ini yang paling mantul sambelnya.”
“Survey membuktikan dong.”
“Iya, hehehe..”
Keduanya menghabiskan makanan sambil mengobrol santai. Tak bisa dipungkiri lagi, Aditya sudah terpincut hatinya oleh Dewi. Matanya sesekali memandangi wajah cantik Dewi yang merona akibat kepedesan.
“Habis dari sini mau kemana?”
“Pulang. Aku harus belajar. Besok ada trial. Walasku ku kan galak kaya singa edan.”
“Hahaha… emang segalak apa sih walas kamu?’
“Bukan cuma galak tapi nyebelin juga. Setiap omongan yang keluar dari mulutnya ngga pernah enak.”
“Pasti bentukannya perut buncit sama kumis baplang,” terka Aditya sambil tertawa.
“Salah. Casingnya mah bagus, cuma ring tone nya bikin kuping sakit hahaha…”
Tak ayal Aditya ikut tertawa mendengar penuturan Dewi. Tanpa pemuda itu tahu, wali kelas yang dimaksud Dewi adalah kakaknya sendiri. Usai menghabiskan makanannya, Aditya berinisiatif mengantar Dewi pulang.
“Mbok.. semuanya jadi berapa?”
“Empat puluh ribu, mas.”
Aditya mengeluarkan selembar lima puluh ribuan dari saku celananya. Setelah menerima uang kembalian, keduanya segera keluar dari warteg. Terpaan angin terasa menyejukkan tubuh keduanya, karena udara di dalam warteg cukup panas, walau ada kipas angin yang terpasang di sudut ruangan.
“Rumahmu di mana?”
“Pungkur.”
“Berarti kita harus ke lampu merah dulu, ya.”
“Iya.”
Kembali keduanya menyusuri trotoar untuk sampai di dekat lampu merah. Angkot yang akan mereka naiki memang tidak melewati warteg tempat mereka makan. Baru berdiri sebentar, angkot yang ditunggu datang. Keduanya segera naik ke dalam angkot. Mereka mengambil duduk di bagian pojok.
“No hp kamu berapa?”
Aditya mengeluarkan ponselnya. Dengan cepat jarinya mengetikkan sederetan angka yang disebutkan Dewi. Setelah menyimpan nomor tersebut, dia segera mendial nomor gadis tersebut.
“Itu nomorku. Disimpan ya. Kasih nama yang bagus, kaya aku.”
Aditya memperlihatkan layar ponselnya. Dewi hanya mampu tersenyum membaca nama yang diberikan Aditya untuknya. Calon Makmum.
“Kamu simpen pake nama apa?”
“Kepo.”
“My Hubby aja.”
“Idih..”
Aditya tersenyum, memperlihatkan lesung pipinya. Hati Dewi tambah berdebar melihat senyum manis pemuda di hadapannya. Hari ini hatinya benar-benar bahagia. Sepertinya nanti malam dia tidak akan bisa tidur nyenyak karena Aditya.
“Kiri.. kiri..”
Dewi mengetuk atap mobil ketika angkot yang dinaikinya sudah sampai di depan jalan masuk menuju kontrakan haji Soleh. Gadis itu bergegas turun disusul oleh Aditya. Pemuda itu mendahului Dewi membayar ongkos angkot.
“Makasih ya buat hari ini.”
“Sama-sama.”
“Kamu tinggal di mana?”
“Itu,” Dewi menunjuk pada pintu gerbang di mana deretan rumah petak milik haji Soleh berada.
“Mau mampir ngga?” tawar Dewi.
“Ngga deh, kapan-kapan aja. Aku harus ke counter sekarang.”
“Ngapain?”
“Kerjalah.”
“Oh, ok. Yang semangat ya kerjanya.”
“Pasti, soalnya udah ketemu kamu,” Aditya mengedipkan sebelah matanya.
“Dasar kang gombal.”
“Tapi aku bukan Deni Cagur, ya. Aku Aditya Bramasta, calon imammu.”
BLUSH
Wajah Dewi kembali merona untuk ke sekian kalinya akibat ucapan Aditya yang sarat dengan kegombalan hakiki.
“Aku kerja dulu, ya. Doakan aku supaya bisa cepat kumpulin uang buat halalin kamu.”
“Apa sih,” jawab Dewi malu-malu.
Aditya hanya melemparkan senyuman manisnya, kemudian membalikkan tubuhnya. Tangannya bergerak menyetop angkot yang akan membawanya ke daerah Burangrang. Setelah angkot yang ditumpangi Aditya berlalu, Dewi melangkahkan kakinya memasuki gerbang rumah petak haji Soleh. Wajahnya tersenyum saat melihat layar ponselnya, dia menuliskan Lesung Pipi Kesayangan sebagai nama pengganti Aditya.
🌸🌸🌸
Waktu menunjukkan pukul empat sore ketika Adrian memasuki lobi hotel Amarta. Hari ini dia ada janji bertemu dengan Yulita, teman kampusnya dahulu untuk membicarakan pekerjaan yang dijanjikan Yulita untuk Aditya. Selain mereka berdua, Adrian juga sekalian mengajak sang adik untuk datang.
Tanpa sengaja bahunya menyenggol seseorang yang melintas di dekatnya. Dengan cepat tangannya menahan lengan wanita yang disenggolnya oleng ke belakang. Baik Adrian maupun wanita itu terkejut ketika mereka beradu pandang.
“Ad..”
“Ara..”
Adrian melepaskan pegangannya. Dia cukup terkejut mengetahui wanita yang disenggolnya adalah Andara atau yang biasa dipanggil Ara, teman sekolah dan kuliahnya dulu. Ara juga sempat menjadi cinta pertama Adrian dan bertahta di hatinya selama hampir empat tahun lamanya.
Perasaan cinta Adrian tumbuh pada Ara saat dirinya duduk di kelas dua SMA. Namun karena Adrian yang pendiam, dia memilih memendam perasaannya pada Ara, sampai akhirnya gadis itu mengetahui perihal perasaannya saat mereka kuliah. Itu pun karena Aditya yang membocorkan.
Alih-alih mendapatkan balasan, Ara malah menggantung perasaannya. Ara yang kerap bergonta-ganti pacar, tak juga memberi kesempatan pada Adrian untuk menjadi kekasihnya, namun juga tak melepaskannya. Baginya Adrian harus tetap menjadi pengagumnya sampai kapan pun. Dan dengan bodohnya pria itu mengikuti permainan Ara.
Namun saat Adrian berada di tingkat dua, perasaannya pada Ara seketika hilang ketika dirinya melihat dengan mata kepalanya sendiri, gadis pujaannya tengah bercumbu dengan salah satu dosen di jurusannya. Penilaian Adrian pada Ara seketika berubah, namun tak ada yang tahu soal itu. Di mata teman-teman dan adiknya termasuk Ara, Adrian dianggap masih memendam perasaan pada Ara. Dia juga membiarkan hal tersebut, baginya tak ada untungnya menjelaskan perihal perasaannya atau membuka aib mantan wanita pujaannya.
Mata Adrian menelusuri garis wajah Ara yang tidak banyak berubah. Dia masih tetap cantik, walau terlihat lebih dewasa karena riasan wajah. Pandangannya kemudian tertuju pada tangan sebelah kanannya. Di sana terdapat tattoo yang entah bertuliskan apa.
Bukan hanya Adrian yang menilai penampilan Ara. Begitu pun dengan wanita itu yang terpaku melihat pria yang dulu begitu memujanya. Penampilan Adrian sekarang bukan hanya lebih tampan, namun juga gagah. Bentuk tubuhnya yang proporsional semakin menambah daya tarik pria itu. Menyesal juga dulu dirinya tak pernah memberi kesempatan Adrian sebagai kekasihnya.
“Kamu ngga apa-apa?” pertanyaan Adrian membuyarkan lamunan Ara.
“I’m okay. Long time no see. I miss you (aku baik-baik aja. Lama tidak bertemu. Aku merindukanmu).”
“Ok.”
Adrian melanjutkan langkahnya. Namun dengan cepat Ara menahannya. Tangannya memegang lengan Adrian, bermaksud menahan langkah pria itu. Dengan gerakan pelan Adrian melepaskan pegangan Ara.
“Setelah sekian lama kita tidak bertemu, kamu cuma bilang, ok. Bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol dulu. Have a coffee maybe (minum kopi mungkin),” tawar Ara.
“Sorry, aku ada janji dengan seseorang.”
“Please Ad.. sebentar aja. Apa kamu ngga kangen sama aku?” nada suara Ara dibuat semanis dan semanja mungkin.
“Ngga.”
Ara cukup kesal mendengarnya, namun dia juga tak mau kalah. Wanita itu terus berusaha menahan Adrian agar tetap bersamanya.
“Ck.. kamu masih marah sama aku? Maaf soal masa lalu. Tapi ngga ada salahnya kan kalau kita memulai hubungan sekarang? Masih belum terlambat. Aku sudah bercerai,” bisik Ara di telinga Adrian.
Ara memang telah menikah dua tahun lalu dengan kekasihnya yang juga teman kuliah Adrian karena wanita itu sudah kadung berbadan dua. Namun ternyata pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Enam bulan yang lalu mereka bercerai dan anak semata wayangnya diasuh oleh mantan suaminya.
“Bukan urusanku kamu sudah bercerai atau belum.”
Adrian hendak melanjutkan perjalanannya lagi namun Ara buru-buru menghadangnya. Dia berdiri tepat di depan Adrian secara merentangkan kedua tangannya.
“C’mon Ad.. aku baru sadar ternyata laki-laki yang mencintaiku dengan tulus cuma kamu seorang. Aku menyesal telah mengabaikanmu, dan sekarang aku mau memperbaiki kesalahanku.”
“Aku tidak berminat, minggir.”
Adrian menghalau tubuh Ara dengan tangannya kemudian melangkah pergi. Dengan tidak tahu malunya Ara terus saja mengikuti Adrian. Wanita itu berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Adrian.
“Ad..”
🌸🌸🌸
**Yang digombalin Aditya itu Dewi ya, bukan kalian🤣🤣🤣
Ayo ngaku, siapa yang mesem² and baper waktu Aditya gombalin Dewi🙋
Eh bang Ad ketemu sama mantan gebetan😁
Nih penampakan Ara alias Andara, mantan wanita pujaan Adrian**
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
kanebo nya masih gak thor.. aku mau 1 aja...😞
dari bab awal dak comed...
krn mengulang baca dan gak ada bosen nya yang ada malah bikin kangen😍😍
lagu "bring me to life" teringat karya mu thor🙈