Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 27
Bab 27
Setelah kata-kata itu meluncur dari bibir Rangga, seluruh energi di dalam tubuhnya seakan bergetar, seperti badai yang terbangun dari tidurnya. Aliran Chi yang semula mengalir lembut kini meningkat pesat, berputar dengan liar di setiap urat nadinya. Aura panas yang terpancar dari tubuhnya membuat udara di sekitar bergetar ringan, menimbulkan tekanan yang membuat suasana di ruang itu mendadak menjadi tegang dan berat.
Prof. Q menatapnya tanpa berkata apa pun selama beberapa detik. Ujung bibirnya bergerak sedikit, menandakan rasa heran yang disembunyikan. Tak lama, dia tersenyum kecil — senyum yang samar dan berlapis makna — sebelum akhirnya berkata dengan nada datar namun menusuk,
> “Kau tahu aturan Night Watcher, bukan? Pertarungan tidak boleh dilakukan di tempat umum. Atau kau sudah melupakannya?”
Rangga terkekeh rendah, seolah sindiran itu hanyalah angin lalu. Matanya memantulkan kilau tajam, dan suara tawanya mengandung keangkuhan yang tenang.
> “Aku sudah bukan bagian dari Night Watcher lagi,” ujarnya santai, sembari menjilat ujung bibirnya yang kering.
Nada suaranya terdengar ringan, namun di dalamnya terkandung ketegasan yang membuat siapa pun tak akan berani meragukannya.
Prof. Q menaikkan alisnya, menatap pria di hadapannya dengan ekspresi seperti sedang mengamati binatang buas di dalam kurungan kaca.
> “Begitu, ya… Kalau begitu, kau dan aku bisa saja bertarung di sini dan sekarang,” ucapnya pelan. “Tapi aku khawatir… bangunan ini tidak akan bertahan dari benturan kita. Kau yakin mau mengambil risiko itu?”
Kata-kata itu membuat udara di antara keduanya seolah membeku. Namun setelah beberapa saat, aura Chi yang berputar di tubuh Rangga perlahan-lahan surut, seperti gelombang yang kembali ke laut setelah menghantam karang. Ia menarik napas dalam, menatap Prof. Q dengan tatapan setenang malam tanpa angin.
> “Ayo masuk,” katanya datar.
Prof. Q tersenyum tipis, tanpa tanda-tanda ketakutan sama sekali. Dengan langkah ringan, ia melangkah melewati ambang pintu dan memasuki rumah Rangga. Begitu duduk di sofa ruang tamu, ia menyandarkan tubuhnya dengan santai, lalu menatap Rangga yang berdiri di hadapannya.
> “Langsung saja ke pokoknya,” ujar Rangga dengan nada malas. “Kalau kau datang hanya untuk bermain teka-teki, sebaiknya pergi sekarang juga. Aku sedang tidak punya waktu untuk meladeni permainanmu.”
Prof. Q tersenyum lebar, seolah menikmati nada ketidaksabaran itu.
> “Tenanglah. Aku datang bukan untuk bermain-main. Aku hanya ingin memberitahumu satu hal penting — kau masih punya waktu… beberapa hari lagi.”
Rangga mengangkat alisnya.
> “Aku sudah tahu itu. Kau tidak perlu repot-repot mengingatkan. Tapi yang ingin kutahu, sebenarnya apa maksud kedatanganmu ini? Kau tidak terlihat seperti orang dari RedLotus atau Voyage. Tapi kadang kau juga membantu Night Watcher. Jadi, di sisi mana sebenarnya kau berdiri?”
Prof. Q menatapnya, lalu terkekeh kecil.
> “Posisiku sederhana. Aku hanya pengamat. Aku tidak akan ikut campur dalam perang mereka. Aku di sini karena sedang… melakukan sebuah percobaan.”
Ia tersenyum lebih lebar, seolah ada rahasia besar di balik kata-kata itu. “Tentu saja, tidak ada gunanya menjelaskan riset ilmiahku padamu.”
Rangga melipat tangan di dada, matanya menyipit.
> “Kalau begitu, kau bisa keluar sekarang.”
Namun Prof. Q tidak bergeming. Ia justru bersandar lebih santai dan menatap Rangga dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
> “Sebelum aku pergi, ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Kau… ingin tahu asal-usul Barbar City, bukan?”
Rangga menatapnya penuh selidik.
> “Barbar City?” gumamnya pelan.
Prof. Q mengangguk.
> “Ya. Kota itu sebenarnya didirikan oleh generasi pertama Night Watcher bersama tujuh orang dari RedLotus. Waktu itu, Night Watcher Nomor Satu Negara Haz dan Hedges bersekutu untuk mengambil alih wilayah itu. Tujuan mereka sederhana — untuk memisahkan dunia atas dan dunia bawah.”
Rangga terdiam, menyimak dengan serius. Ia tidak pernah benar-benar tahu asal-usul kota itu. Hanya mendengar rumor, tanpa penjelasan yang pasti. Kini, untuk pertama kalinya, seseorang menjelaskan semuanya dengan gamblang.
Prof. Q melanjutkan dengan nada seperti dosen yang memberi kuliah panjang.
> “RedLotus di masa itu berbeda dengan sekarang. Dulu, mereka hanyalah sekelompok orang yang memiliki perbedaan pandangan dengan Night Watcher. Tapi seiring waktu, pemimpin baru muncul — seseorang yang haus kekuasaan — dan membawa RedLotus ke arah yang gelap. Dari kelompok idealis, mereka berubah menjadi organisasi pembunuh bayaran yang menentang Night Watcher sepenuhnya.”
Ia meneguk sedikit air dari gelas di depannya, lalu melanjutkan.
> “Dan tujuan pendirian Barbar City dulu sebenarnya sangat sederhana. Night Watcher menemukan banyak ahli seni bela diri yang tidak mau tunduk pada aturan dunia biasa. Maka mereka membuat kesepakatan — siapa yang mau hidup damai, tetap tinggal di dunia luar. Tapi siapa yang menolak… mereka dikurung di kota itu, dibiarkan bertarung dan membunuh sesama.”
Prof. Q berhenti sejenak, menatap Rangga lurus-lurus.
> “Singkatnya, Barbar City adalah… penjara.”
Ia tersenyum. “Dan Hedges — dia adalah sipirnya. Sama seperti Night Watcher Nomor Satu Negara Haz, kalian semua hanyalah penjaga gerbang.”
Rangga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
> “Jadi kau bilang… semua ini hanya eksperimen kalian?”
Prof. Q mengangkat bahu.
> “Waktu itu, untuk menyeimbangkan kekuatan Hedges, Night Watcher mengirimkan orang terkuat mereka ke pulau itu. Tujuannya, agar Hedges tidak berani berbuat seenaknya. Dari situlah keseimbangan kekuatan terbentuk. Tapi seiring waktu, lebih banyak orang dibuang ke sana — hingga akhirnya kota itu tumbuh menjadi neraka seperti sekarang.”
Rangga termenung lama. Penjelasan itu menyingkap tabir yang selama ini tertutup kabut.
> “Jadi, maksudmu…” ia bergumam pelan, “Hedges sebenarnya orang RedLotus?”
Prof. Q tersenyum puas.
> “Akhirnya kau menangkap intinya. Tepat sekali.”
Rangga menarik napas dalam, matanya menajam. Tapi sebelum ia sempat bicara, Prof. Q kembali menyambung, suaranya tenang namun tajam.
> “Meskipun para pendiri RedLotus sempat berselisih, mereka tetap punya tujuan yang sama — kekuasaan. Jika kau ingin memahaminya dengan bahasamu sendiri, mereka ingin menjadikan semua orang… anjing mereka. Termasuk Hedges.”
Ia tersenyum miring.
> “Dan sekarang, waktunya hampir tiba. Hedges akan menunjukkan kekuatannya. Kota Binjai akan menjadi medan perang utama. Dia akan menarik semua kekuatan Night Watcher yang terkuat ke sana… membuat mereka tidak bisa meninggalkan pulau itu.”
Rangga menghela napas, suaranya dingin.
> “Jadi itu rencanamu? Menjebak mereka?”
Prof. Q hanya tersenyum samar.
> “Aku hanya memberimu informasi. Kau bebas menafsirkannya sesukamu. Oh, dan tolong sampaikan pesan ini pada Dirman. Karena jika aku tidak salah, Kota Binjai akan menjadi kuburannya. Dirman adalah tiang terakhir kekuatan Night Watcher di dunia ini. Jika dia jatuh… sisa-sisa mereka akan lenyap.”
Rangga menatapnya tajam.
> “Aku paham,” katanya lirih. “Tapi Dirman tidak akan mati.”
Prof. Q terkekeh ringan.
> “Kau yakin, anak muda? Dirman adalah manusia paling berbakat yang pernah kulihat. Tapi bahkan manusia sekuat dia pun punya batas.”
Rangga mendekat setapak, menatapnya lurus.
> “Selama aku masih hidup, dia tidak akan mati.”
Nada suaranya tak mengandung keraguan sedikit pun. “Sekarang, kalau kau sudah selesai bicara — pergilah.”
Prof. Q berdiri, masih dengan ekspresi tenang.
> “Baiklah. Aku akan pergi, dan menunggu… hasil eksperimenku padamu.”
Ia berjalan ke arah pintu, menambahkan dengan senyum tipis,
“Jangan mengecewakanku, Rangga.”
Rangga mendengus.
> “Setelah semua ini selesai, aku akan menangkapmu hidup-hidup. Kau akan bekerja untukku, menciptakan penemuan baru setiap hari. Kalau gagal—jangan harap makan.”
Prof. Q tertawa kecil, tidak memperdulikannya. Ia keluar dengan langkah ringan dan menutup pintu perlahan.
Begitu keheningan kembali memenuhi ruangan, Rangga menghela napas berat. Ketenangan yang ia miliki selama beberapa hari terakhir seolah runtuh dalam sekejap. Ada rasa kesal yang mendesak di dadanya, membuat pikirannya bergejolak.
Ia mengambil ponselnya, menekan nomor Sisil Bahri, dan menyampaikan pesan dari Prof. Q barusan. Namun meski sudah melakukan itu, hatinya tetap terasa gelisah. Ia berdiri, memandang ke luar jendela, lalu memutuskan untuk berkemas. Dalam benaknya, hanya satu pikiran: kembali ke Kota Lyren Haven untUk sementara waktu.
Namun baru saja ia mulai memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, ponselnya berdering lagi. Nomor tak dikenal muncul di layar. Rangga mengernyit, lalu mengangkatnya.
Suara di seberang membuatnya terdiam sejenak — suara Dirman, tenang namun berat, seolah membawa badai di balik keteduhannya.
> “Apa kau benar-benar tidak akan kembali, Rangga?”
Rangga menatap lantai, suaranya datar.
> “Kembali atau tidak, hasilnya tidak akan jauh berbeda. Aku akan ikut dalam perang ini, apa pun yang terjadi. Kalau pun kembali, aku tetap akan bertarung.”
Dirman terdiam sesaat sebelum berkata pelan,
> “Aku tahu pesan yang kau bawa. Di Kota Binjai, para anggota RedLotus semakin berani. Mereka menyusup ke mana-mana, membuat kekacauan di setiap sudut. Dunia bawah tanah sudah dipenuhi rumor. Aku akan bergerak dalam dua hari ini.”
Kata-kata itu membuat dada Rangga mengencang. Ia tidak bisa berkata-kata.
> “Kalau aku mati di sana,” lanjut Dirman dengan nada tenang, “kau yang harus menjaga Night Watcher Negara Haz. Itu warisan terakhir yang tersisa.”
Rangga mengepalkan tangan.
> “Aku sudah bilang, aku akan membantumu menebas mereka dengan belati itu. Selama aku masih berdiri, kau tidak akan mati.”
Setelah mengatakan itu, Rangga menutup telepon.
Senyap.
Angin sore berhembus melalui jendela yang terbuka setengah, menggerakkan tirai putih yang memudar warnanya. Dan di tengah kesunyian itu, Rangga berdiri diam — matanya menatap jauh, seolah sudah melihat perang yang akan datang.
Perang sama siapa, se dahsyat apa?
Bersambung...
thumb up buat thor