Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.
Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyakit, Ketakutan, dan Kematian yang Mengintai
Beberapa jam kemudian, langit mulai gelap. Hujan turun pelan, menimpa atap klinik, menciptakan suara gemericik yang entah kenapa terasa menambah beban di dada Atna.
Namanya dipanggil lagi. Ia melangkah masuk, kali ini kakinya terasa berat seperti diseret. Dokter yang tadi menanganinya duduk dengan wajah tegang, selembar hasil laboratorium tergeletak di meja.
“Atna… hasil tes kamu sudah keluar,” ucapnya perlahan, nada suaranya seperti menimbang kata demi kata.
Atna mencoba tersenyum, tapi hanya bibirnya yang bergerak—matanya sudah basah. “Gimana, Dok?”
Dokter menarik napas panjang, lalu menatapnya dalam-dalam.
“Hasil menunjukkan kamu positif HIV… dan indikasi sudah masuk tahap AIDS.”
Kata-kata itu terasa seperti peluru yang menembus dadanya. Ruang klinik seketika menjadi hening. Detak jarum jam di dinding terdengar sangat jelas, seakan menghitung mundur hidupnya.
Atna menggenggam lututnya di kursi, tubuhnya gemetar. Di sudut pandangnya, ia merasa melihat lantai mulai menghitam… seperti noda tinta yang menyebar perlahan.
Dokter masih bicara—tentang terapi, obat, dan kemungkinan hidup lebih lama—tapi suaranya terdengar jauh, seperti datang dari ujung lorong.
Di balik bahunya, pantulan kaca lemari medis memperlihatkan sesuatu: pocong kotor itu berdiri di sana, kepalanya sedikit miring, dan matanya merah membara. Mulutnya bergerak, membentuk kata yang tak bersuara… namun Atna bisa membacanya.
"Hukuman dimulai."
Darah di wajah Atna mengalir turun, membuat tubuhnya semakin dingin. Di luar, petir menyambar, dan semua lampu di klinik meredup sepersekian detik—cukup lama untuk membuatnya tahu bahwa ini bukan sekadar penyakit… ini adalah vonis dari dunia lain.
Payung kecil di tangan Atna hampir tak berguna. Hujan turun deras, membasahi ujung bajunya. Jalanan desa tampak sepi, hanya suara air yang jatuh ke tanah dan sesekali deru motor lewat.
Di genggamannya, amplop berisi hasil tes terasa berat—lebih berat dari sekadar kertas. Setiap langkah seperti menyeret rantai tak kasat mata yang melilit kakinya.
Ia mencoba mempercepat langkah, tapi suara itu kembali terdengar: gedebuk… pelan… lalu gesekan seperti kain basah yang diseret di aspal.
Atna menoleh cepat.
Kosong.
Tapi di kejauhan, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, ia sempat melihat siluet pocong itu… berdiri mematung di tengah hujan, kain kafannya menempel di tubuh, meneteskan air gelap seperti darah encer.
“Bukan… bukan nyata,” gumam Atna, setengah memohon pada dirinya sendiri.
Ia berlari kecil, tapi suara itu ikut mendekat—tanpa langkah, hanya gesekan kain dan suara air yang berpindah. Jantungnya memukul keras dari dalam dada, seakan ingin keluar.
Sampai di depan rumah, ia buru-buru membuka pagar, masuk, dan mengunci pintu rapat-rapat. Nafasnya terengah. Air hujan masih menetes dari rambutnya saat ia menjatuhkan diri di kursi ruang tamu.
Tapi sebelum ia bisa menenangkan diri, kaca jendela berembun karena hawa dingin… dan di tengah embun itu, muncul bekas telapak tangan panjang yang menempel dari luar, perlahan menggeser turun… meninggalkan jejak air yang pekat, bukan bening.
Atna menatapnya, tubuhnya membeku. Ia tahu—pocong itu tidak hanya mengikutinya… tapi sudah menemukan jalannya ke sini.
Malam itu, Atna terbaring di ranjang, tubuhnya menggigil meski sudah dibungkus selimut tebal. Suhu tubuhnya panas, kepala berdenyut seperti dipukul dari dalam.
Amplop hasil tes masih tergeletak di meja rias, tak berani ia buka lagi. Ia tahu apa isinya—dan itu membuat pikirannya makin kacau.
Lampu kamar berpendar lemah. Suara hujan di luar mulai mereda, digantikan oleh kesunyian yang terlalu pekat untuk ukuran desa ini.
Tiba-tiba—klik.
Lampu padam.
Jantung Atna langsung meloncat. Hanya ada cahaya samar dari luar jendela, cukup untuk membuat bayangan-bayangan di dalam kamar bergerak pelan.
“Siapa…?” suaranya nyaris tak terdengar.
Dari sudut ruangan, terdengar gesekan kain. Pelan, tapi semakin mendekat. Aroma tanah basah bercampur darah mulai menusuk hidungnya.
Atna ingin berteriak, tapi tenggorokannya kering. Tubuhnya kaku, hanya matanya yang bergerak.
Dan dari kegelapan itu, muncul pocong susuk—kepala miring, matanya merah menyala. Kain kafannya basah, meneteskan cairan hitam di lantai.
Suaranya serak, berlapis-lapis, seperti datang dari banyak mulut yang berbicara bersamaan:
“Sudah kubilang… bayaranmu belum lunas…”
Pocong itu melompat mendekat—sekali, dua kali—dan tiba-tiba sudah berada di sisi ranjang. Jemari panjangnya yang menonjol dari lilitan kain menyentuh leher Atna.
Sentuhan itu dingin menusuk, membuat Atna sesak napas. Pandangannya berkunang-kunang.
Di telinganya, bisikan itu berlanjut:
“Hidupmu… hanya milikku… sampai darah terakhir…”
Mata Atna melebar, berusaha meronta—dan sekejap kemudian lampu kembali menyala.
Kosong.
Hanya dirinya di ranjang, terengah, keringat bercampur air mata.
Tapi di lehernya… jelas terlihat bekas jemari panjang—lebam hitam kebiruan, sama seperti memar di pergelangan tangan Dania.
Atna terbaring, demamnya makin tinggi. Pocong susuk yang dulu membayanginya sudah lenyap sejak peristiwa di mimpi Dania—tapi ketakutan itu masih tertinggal seperti bekas luka yang tak bisa hilang.
Ia memejamkan mata, berharap tidur bisa mengusir pusingnya. Tapi yang datang justru kilatan-kilatan bayangan: wajah-wajah lelaki yang pernah bersamanya, senyum palsu yang ia pasang di club, dan suara dukun yang pernah mengingatkan, “Kutukan tetap berjalan, meski penjagamu telah tiada.”
Di luar, suara hujan rintik-rintik di atap. Tapi Atna mendengar sesuatu yang lain—detak langkah pelan di depan pintu rumahnya.
Bukan pocong… lebih seperti seseorang.
Ia menahan napas.
Langkah itu berhenti tepat di depan pintu kamar.
Tak ada ketukan. Hanya hening… lalu suara napas berat.
Atna memberanikan diri membuka mata, tapi tidak ada bayangan. Hanya dingin yang merambat dari lantai hingga ke ujung jari.
Namun, entah kenapa, di dadanya muncul rasa seperti diremas—bukan oleh tangan hantu, tapi oleh ketakutan akan masa depan yang kini semakin sempit.
Sakit di kepalanya berdenyut. Tangannya gemetar saat meraih gelas air.
Di meja, amplop hasil pemeriksaan masih tertutup rapat, tapi ia tahu di dalamnya ada kebenaran yang lebih menakutkan daripada pocong mana pun.
semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu