Sebelas tahun lalu, seorang gadis kecil bernama Anya menyelamatkan remaja laki-laki dari kejaran penculik. Sebelum berpisah, remaja itu memberinya kalung berbentuk bintang dan janji akan bertemu lagi.
Kini, Anya tumbuh menjadi gadis cantik, ceria, dan blak-blakan yang mengelola toko roti warisan orang tuanya. Rotinya laris, pelanggannya setia, dan hidupnya sederhana tapi penuh tawa.
Sementara itu, Adrian Aurelius, CEO dingin dan misterius, telah menghabiskan bertahun-tahun mencari gadis penolongnya. Ketika akhirnya menemukan petunjuk, ia memilih menyamar menjadi pegawai toko roti itu untuk mengetahui ketulusan Anya.
Namun, bekerja di bawah gadis yang cerewet, penuh kejutan, dan selalu membuatnya kewalahan, membuat misi Adrian jadi penuh keseruan… dan perlahan, kenangan masa lalu mulai kembali.
Apakah Anya akan menyadari bahwa “pegawai barunya” adalah remaja yang pernah ia selamatkan?
---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Malam di vila Aurelius terasa lebih lengang dari biasanya. Hanya suara angin yang sesekali menggesek dedaunan, dan cahaya rembulan yang menyorot balkon tempat Adrian berdiri. Matanya menatap jauh ke halaman, tapi pikirannya penuh dengan satu hal: ancaman yang belum selesai.
Di dalam kamar, Anya tertidur dengan tubuh membesar, tangannya memeluk perut yang sudah kian bulat. Setiap tarikan napasnya terdengar berat, namun wajahnya tetap menyiratkan ketenangan. Adrian berjalan pelan ke sisinya, lalu menunduk mencium kening istrinya.
“Bertahanlah, Sayang,” bisiknya lirih. “Aku akan pastikan kau dan anak-anak kita selamat.”
Namun jauh di dalam hatinya, Adrian tahu, pertempuran melawan Dimas baru dimulai.
---
Usia kandungan Anya kini sudah memasuki delapan bulan. Setiap langkah terasa berat, setiap malam penuh gelisah. Mommy Amara bahkan memutuskan untuk pindah sementara ke vila agar bisa lebih dekat menjaga putrinya menantu.
“Anya, jangan terlalu banyak berjalan,” ucap Mommy Amara suatu pagi, saat melihat Anya mencoba turun tangga sendiri.
Anya tersenyum lemah. “Mom, aku tidak apa-apa. Aku hanya ingin duduk sebentar di kafe. Rasanya rindu.”
Adrian yang baru saja turun dari ruang kerja langsung menghentikan langkah istrinya. Ia meraih tangannya dengan tatapan khawatir. “Sayang, dengarkan Mom. Kau harus banyak istirahat. Kafe bisa menunggu, tapi bayi-bayi kita tidak.”
Anya mendesah, lalu mengangguk. “Baiklah, Mas. Aku hanya tidak ingin terlihat seperti tahanan rumah.”
Andara masuk sambil membawa dua botol jus segar. “Kak, biar aku yang jaga kafe. Kau fokus saja sama dua ponakanku yang nakal ini,” ujarnya sambil menepuk pelan perut Anya.
Mereka semua tertawa, namun di balik itu, kecemasan tetap menggelayuti.
---
Dimas, yang merasa geram karena segala upaya menjatuhkan Anya selalu gagal, kini menyiapkan rencana yang lebih licik. Ia tidak hanya ingin mengguncang reputasi, tapi juga mental Anya menjelang persalinan.
Suatu pagi, media sosial kembali dihebohkan dengan artikel gosip baru:
“Dokumen Bocor: Anya Mengidap Komplikasi, Janin Terancam?”
Artikel itu menyertakan foto hasil medis yang dipalsukan, lengkap dengan tanda tangan dokter yang terlihat meyakinkan. Berita itu langsung meledak. Banyak orang mulai berspekulasi, sebagian mendoakan, tapi tak sedikit pula yang kembali melontarkan komentar jahat.
“Kalau benar, kasihan bayinya.”
“Tuhan mungkin sedang menghukumnya.”
“Sudah kuduga, terlalu cepat terkenal pasti ada harganya.”
Anya membaca berita itu dengan tangan gemetar. Ia menutup mulut, air mata mengalir tanpa henti.
“Mas… mereka bilang bayi kita terancam…” suaranya bergetar.
Adrian langsung merebut ponsel itu, melemparnya ke sofa. Ia berlutut di depan istrinya, menggenggam wajahnya erat. “Sayang, dengarkan aku. Itu semua palsu. Aku sudah cek ke dokter tadi pagi, laporan kesehatanmu bersih. Jangan biarkan fitnah itu masuk ke hatimu.”
Mommy Amara menambahkan dengan suara tegas, “Nak, gosip itu tidak akan pernah berhenti. Tapi kita tahu kebenarannya, dan itu yang penting.”
Namun di lubuk hati Anya, ketakutan itu tetap tumbuh. Ia sering bermimpi buruk, membayangkan melahirkan dalam kondisi berbahaya.
---
Adrian tahu, jika ia hanya menunggu, Dimas akan semakin nekat. Malam itu, ia mengundang Daddy, Mommy Amara, dan Andara ke ruang kerja.
“Kita tidak bisa terus bertahan saja,” ucap Adrian dengan suara tegas. “Dimas sudah keterlaluan. Fitnah kesehatan itu jelas hasil rekayasa.”
Daddy mengangguk. “Aku setuju. Tapi kita harus punya bukti, bukan sekadar kecurigaan.”
Adrian membuka laptopnya, memperlihatkan hasil penyelidikan yang ia pesan diam-diam. “Ini. Orang dalam rumah sakit yang menyebarkan dokumen palsu itu ternyata punya hubungan langsung dengan perusahaan Dimas. Ada transfer uang yang masuk ke rekeningnya.”
Mommy Amara menatap layar dengan wajah geram. “Anak itu sudah melewati batas. Ia berani mempertaruhkan nyawa ibu hamil hanya demi menjatuhkan kita.”
Adrian mengepalkan tangan. “Aku tidak akan tinggal diam. Tapi aku tidak mau Anya tahu detailnya, agar dia tidak semakin stres. Biarkan aku yang menanganinya.”
Daddy menatap putranya lama, lalu mengangguk. “Baik. Tapi jangan gegabah. Kita harus hancurkan Dimas dengan cara yang bersih, agar dia tidak bisa bangkit lagi.”
---
Malam itu, hujan turun deras. Anya sulit tidur karena bayi-bayi dalam kandungannya terus bergerak. Adrian duduk di samping ranjang, mengusap perut istrinya dengan sabar.
“Mereka mungkin tidak nyaman, Sayang,” ucapnya lembut.
Anya menghela napas. “Aku juga merasa begitu. Mas, aku takut kalau nanti persalinannya sulit. Aku tidak ingin kehilangan mereka.”
Adrian menatap dalam ke matanya. “Tidak akan, Sayang. Aku sudah pastikan dokter terbaik siap membantumu. Kau tidak akan sendirian.”
Tangisan kecil pecah dari bibir Anya, tapi kali ini bukan hanya ketakutan—juga rasa syukur karena punya suami yang begitu setia.
---
Beberapa hari kemudian, tepat saat Anya dijadwalkan kontrol ke rumah sakit, sebuah mobil misterius mengikuti iring-iringan mereka. Sopir Adrian yang sudah waspada mempercepat laju mobil, namun tiba-tiba kendaraan itu mencoba menabrak dari samping.
“AWAS!” teriak Andara dari kursi belakang.
Sopir banting setir, mobil mereka hampir terguling jika tidak karena pengawalan di belakang yang sigap menahan laju.
Anya menjerit, tangannya refleks memeluk perut. Adrian langsung menahan tubuh istrinya. “Tenang, Sayang. Aku di sini!”
Mobil berhasil lolos, namun ancaman itu jelas bukan kebetulan. Begitu tiba di rumah sakit, Adrian menghubungi orang kepercayaannya. “Cari siapa pemilik mobil itu. Aku ingin nama, alamat, semuanya!”
Anya masih terisak, tubuhnya gemetar. “Mas… aku tidak kuat lagi…”
Adrian memeluknya erat. “Bertahanlah, Sayang. Kita sudah hampir sampai. Sebentar lagi, bayi-bayi kita akan lahir, dan setelah itu semua ancaman ini akan berakhir.”
---
Hari itu akhirnya tiba. Kontraksi datang lebih cepat dari perkiraan. Malam-malam panjang berganti dengan teriakan sakit, tangis, dan doa. Adrian tidak bergeming, tetap di sisi istrinya, menggenggam tangannya meski hampir hancur karena tekanan.
“Mas… aku tidak sanggup…” Anya menangis dalam peluh.
“Kau sanggup, Sayang. Kau perempuan terkuat yang pernah kukenal. Bertahanlah sedikit lagi, demi mereka.”
Suara tangisan bayi akhirnya pecah, menggema memenuhi ruangan. Seorang dokter mengangkat bayi mungil dengan tubuh merah, lalu satu lagi tak lama kemudian.
“Kembar sehat, laki-laki dan perempuan,” ucap dokter dengan senyum lega.
Air mata Adrian jatuh seketika. Ia menunduk mencium kening Anya yang lelah tapi tersenyum. “Kau berhasil, Sayang. Kau luar biasa.”
Anya menatap dua malaikat kecil yang digendong perawat. “Mereka… akhirnya ada di sini…”
Mommy Amara, Daddy, dan Andara yang menunggu di luar pun menangis bahagia begitu mendengar kabar itu.
---
Kabar kelahiran kembar Aurelius menyebar begitu cepat. Media sosial dipenuhi ucapan selamat. Semua gosip buruk mendadak tenggelam di balik berita bahagia itu.
Namun di sisi lain kota, Dimas menatap layar televisi dengan wajah penuh amarah. Ia menghantam meja hingga pecah.
“Bagaimana bisa… semua usahaku gagal?!”
Asistennya hanya terdiam, tak berani menatap.
Dimas tidak tahu, Adrian sudah menyiapkan langkah terakhir. Beberapa hari kemudian, kepolisian menggerebek kantor Dimas dengan bukti transfer suap, pemalsuan dokumen medis, dan rencana kecelakaan mobil. Semua jejak sudah jelas.
Dimas ditangkap, wajahnya dipampang di media dengan label: “Mastermind Fitnah Aurelius Ditangkap.”
Adrian menatap berita itu dari ruang rawat dengan senyum lega. Ia lalu beralih menatap istrinya yang sedang menggendong bayi mereka.
“Semua sudah berakhir, Sayang. Kau tidak perlu takut lagi.”
Anya tersenyum, menatap bayi-bayinya yang tenang. “Ya, Mas. Sekarang aku hanya ingin membesarkan mereka dengan cinta, tanpa bayang-bayang kebencian.”
Adrian meraih tangannya. “Dan aku akan selalu di sini, melindungi kalian. Karena kau dan mereka… adalah rumahku.”
---
Malam itu, di balkon vila, Anya duduk dengan kedua bayinya di pelukan. Adrian berdiri di sampingnya, menatap langit penuh bintang.
“Mas, aku sadar… perjalanan ini tidak pernah mudah. Selalu ada serangan, selalu ada gosip. Tapi akhirnya, kita menang.”
Adrian tersenyum. “Ya, Sayang. Karena kita selalu bersama. Dan sekarang, mereka yang akan meneruskan cinta kita.”
Bintang-bintang seolah lebih terang malam itu, seakan memberi restu pada keluarga kecil yang baru lahir dari badai.
Dan meski dunia luar mungkin akan selalu penuh gosip dan stigma, Anya tahu satu hal: ia tidak lagi takut. Karena kini, rumahnya lengkap—dengan cinta seorang suami dan dua malaikat kecil yang akan menjadi cahaya hidupnya.
---
Bersambung…
apalagi dukungan keluarga sangat penting untuk menyelesaikan setiap masalah
di sini aku mendapatkan banyak pelajaran terutama bahwa keluarga merupakan dukungan pertama dan nomor satu untuk melewati setiap rintangan dunia luar..
Terima kasih banyak kak inda