Setelah sepuluh tahun berumah tangga, akhirnya Sri Lestari, atau biasa di panggil Tari, bisa pisah juga dari rumah orang tuanya.
Sekarang, dia memilih membangun rumah sendiri, yang tak jauh dari rumah kedua orang tuanya
Namun, siapa sangka, keputusan Tari pisah rumah, malah membuat masalah lain. Dia menjadi bahan olok-olokan dari tetangganya.
Tetangga yang dulunya dikenal baik, ternyata malah menjadikannya samsak untuk bahan gosip.
Yuk, ikuti kisah Khalisa serta tetangganya ...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lahiran
Hari hampir subuh, Tari merasa kontraksi di perutnya. Dia membangunkan, Azhar yang masih terlelap.
Beruntung, suaminya bukan orang yang susah untuk di bangunkan.
"Sakit, sepertinya sudah waktunya," ungkap Tari.
Tanpa banyak bertanya, Azhar mengambil tas yang telah di siapkan. Tak lupa, dia ke rumah Sari untuk memanggil mertuanya itu.
"Ibu temani Tari ya, aku yang bawa becak," ujar Azhar.
Azhar memutuskan untuk membawa Tari menggunakan becak, itu pun setelah mendapatkan persetujuan dari istrinya.
Karena untuk meminta mobil tetangga pun, Azhar segan. Segan, untuk membanguni orang yang masih nyaman dengan mimpinya.
Begitu sampai di rumah sakit, Tari di arahkan untuk berbaring di igd, di ruang khusus ibu hamil. Disana, dia di cek pembukaan.
"Udah pembukaan lima, sebaiknya kita ke ruang persalinan aja," ungkap perawat dari igd.
Setelah infus di pasang, Tari di dorong ke ruang persalinan.
Begitu jam menuju angka sembilan, Tari merasa air kencing keluar dari kemaluannya. Dan saat bidan cek, ternyata itu air ketuban yang udah pecah, beruntung pembukaan udah lengkap.
Tak beberapa lama, Tari berhasil melahirkan bayi perempuan cantik, dengan berat badan, hampir mendekati tiga kg.
"Alhamdulillah, bayinya sehat dan lengkap," ungkap bidan, kala bayi mungil itu menangis dengan suara yang begitu nyaring.
Azhar mencium ubun-ubun Tari. Sedangkan Sari juga melakukan hal yang sama. Bangga, pada anaknya.
Tak lama kemudian, Daffa dan ayah Tari juga ikut berkunjung. Padahal, sebelumnya Daffa sudah memakai seragam sekolah, akan tetapi kakeknya malah memaksa Daffa untuk mengantarkannya ke rumah sakit. Dia bahkan, menyuruh Daffa untuk libur sekolah barang satu hari.
"Tari, anakku, bagaimana keadaan mu? Masih sakit? Kamu mau apa?" ayah Tari mendekati Tari yang masih terbaring lemah.
"Ayah, aku baik-baik aja, lihat lah, cucumu yah, dia perempuan, cantik," ucap Tari.
"Biarkan dulu dia, apalagi sedang tidur. Ayah hanya ingin melihatmu, melihat putri ayah, yang hebat," ungkapnya, mengelus-elus, pucuk kepala anaknya.
Seminggu sudah berlalu, dimasa nifasnya. Tari dimasak beberapa jenis ikan oleh suaminya. Sedangkan Sari, dia hanya di beri tugas untuk menjaga Tari, selagi Azhar berada di warung.
Dan hari itu, Rohani menjenguk Tari dengan sekaligus menggendong Nisa, cucunya.
"Sama-sama cewek ya, lahir normal?" tanya Rohani basa-basi.
"Iya, Alhamdulillah," sahut Tari.
"Berapa kilo?"
"Dua koma sembilan," balas Tari.
"Wah, masih menang banyak si Nisa. Dia beratnya aja, tiga kilo setengah," Rohani tersenyum sinis.
"Syukurlah, tapi yang penting anaknya sehat ,,," sahut Sari, dengan napan di tangannya.
"Nisa juga sehat, bahkan nangis aja nyaring. Ya, maklum, selama hamil aja, aku membeli buah dan daging untuk Andin. Makanya, anaknya sehat gini," cerocos Rohani. "Kamu juga, pagi-pagi gini jangan tidur. Karena nanti, darah putihnya naik ke kepala," peringat Rohani lagi.
"Beda sekali sama Andin, dia gampang di atur, padahal umurmu dan dia sangat jauh berbeda," lanjut Rohani.
Tanpa Rohani ketahui, padahal jika cucunya menangis di malam hari, Amar lah, yang begadang. Karena Amar bisa tidur saat pagi hari, dan dia hanya membangunkan Andin kalau, anak mereka menangis.
Dan Amar juga pintar berbohong. Kalau-kalau Andin tidur di pagi hari, dia selalu beralasan pada emaknya, jika Andin sedang menyusui Nisa, dan gak boleh di ganggu, karena Nisa rentan dengan suara sekecil apapun.
"Ya, biarkan dia istirahat. Karena dia udah begadang saat malam tadi," bela Sari.
"Andin juga begadang, tapi gak kayak gini ... Lagi pula, ini demi kebaikannya," Rohani memutar mata malas.
"Nanti jika darah putih naik, tinggal ke dokter aja," sahut Tari, karena jengah dibanding-bandingkan dengan Andin.
"Aku tahu, mereka begini pasti karena iri, cucu dan mantu ku, lebih dari segala-galanya," batin Rohani.
Tak berapa lama, Andin juga datang dengan membawakan kado untuk anak Tari.
Sebelumnya, dia memang pergi ke toko perlengkapan bayi terlebih dahulu. Makanya, Rohani membawa Nisa lebih dulu ke rumah Tari.
Andin pun ikut berbincang-bincang dengan Tari juga Sari.
Saat Rohani ikut menimpali, buru-buru Andin mengalihkan pembicaraan, takut jika Tari tersinggung dan berakibat baby blues.
Sebab, Andin tahu, hormon pasca ibu nifas bisa saja berbeda-beda.
"Sehat-sehat ya nak, kami pamit dulu," ujar Andin, seraya menggandeng mertuanya.
"Emak gak mau pulang dulu," Rohani melepaskan tangan Andin.
"Yakin? Tadi bang Amar mengirimkan aku uang loh mak," ujar Andin menaik-turunkan alisnya.
Pancingannya berhasil, Rohani bergegas pulang.
"Kamu apa-apa sih? Tadi selalu saja mengalihkan perkataan emak," tanya Rohani mengingat betapa kesal dia tadi.
"Ya, karena ucapan emak bisa bikin hati mbak Nisa sakit. Contohnya, saat emak membandingkan warna kulit Nisa dan anaknya ..." ungkap Andin melirik mertuanya, yang berjalan bersisian dengannya.
"Kan emak benar, kulit anaknya lebih gelap di bandingkan Nisa," Rohani tak mau kalah.
"Iya, tapi lihat lah, kulit bang Azhar. Coba bandingkan dengan bang Amar ... Lagi pula, anaknya masih bayi, dan kulit hitam bukan sesuatu yang boleh di rendahkan, karena itu sama-sama ciptaan Tuhan," nasehat Andin.
Rohani diam, karena tahu menantunya punya seribu cara untuk membuatnya bungkam.
Begitu tiba di rumah, Rohani menagih uang yabg sebelumnya di beritahu oleh Andin.
Dan, betapa murkanya Rohani, kala tahu jika itu hanya lah, sebuah tipuan belaka.
"Ya maaf, habis emak betah amat disana, bisa-bisa mbak Nisa kena baby blues," kekeh Andin.
"Baby blues, gak ada yang namanya blus-blus itu. Itu cuma akal-akalan ibu malas, ataupun kurang waras," ungkap Rohani menghentakkan kakinya, meninggalkan Andin yang terkekeh geli.
Andin pun memilih masuk kamar, dia menghubungi Amar untuk memceritakan perkembangan anaknya yang udah memasuki usia sembilan bulan.
"Ayah, dedek udah mulai malas makan, kadang-kadang di lepehnya," adu Andin.
Amar pun menanggapi, dengan berbicara pada anaknya. Meminta, sang buah hati tidak terlalu membuat istrinya lelah.
"Abang udah kirim uang, tolong beli emas ya, tabungan untuk Nisa," ujar Amar pada istrinya.
Tak terduga, Rohani yang mencuri-curi dengar pembicaraan mantu dan anaknya, mendorong pintu kamar dengan keras.
"Jadi, benar Amar kirim uang? Berarti tadi kamu bohong?" beruntun Rohani mejunjuk Andin.
Tak lupa, perempuan yang berkepala enam itu, menarik paksa ponsel dari tangan Andin.
"Emak juga mau beli emas, kirimkan emak uang dengan jumlah yang sama," perintah Rohani.
Semoga masalahnya lekas membaik thor