NovelToon NovelToon
The War Duke'S Prison Flower

The War Duke'S Prison Flower

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Dark Romance
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Luo Aige

Putri Rosella Lysandrel Aetherielle, anak bungsu Kerajaan Vermont, diserahkan sebagai tawanan perang demi menyelamatkan tahta dan harga diri keluarganya.

Namun yang ia terima bukan kehormatan, melainkan siksaan—baik dari musuh, maupun dari darah dagingnya sendiri.

Di bawah bayang-bayang sang Duke penakluk, Rosella hidup bukan sebagai tawanan… melainkan sebagai alat pelampiasan kemenangan.

Dan ketika pengkhianatan terakhir merenggut nyawanya, Rosella mengira segalanya telah usai.

Tapi takdir memberinya satu kesempatan lagi.

Ia terbangun di hari pertama penawanannya—dengan luka yang sama, ingatan penuh darah, dan tekad yang membara:

“Jika aku harus mati lagi,
maka kau lebih dulu, Tuan Duke.”

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Luo Aige, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Riuh pasar Ashgrath

Suasana dapur pagi itu sudah riuh sejak matahari belum naik tinggi. Panci-panci besar mendidih di atas tungku, mengeluarkan uap panas yang bercampur dengan aroma kaldu. Beberapa pelayan sibuk mondar-mandir, ada yang menyiangi sayuran, ada yang menakar beras. Di tengah hiruk pikuk itu, Rosella berdiri di sisi meja panjang, memotong sayuran dengan gerakan rapi dan hati-hati. Lyrra, seperti biasa, tenggelam dalam pekerjaannya, tangannya sibuk menguleni adonan, wajahnya datar, seolah segala suara di sekeliling hanyalah dengung lalat yang tidak penting.

Tiba-tiba, suara melengking pecah dari ujung meja.

“Tiga hari lagi ulang tahun Grand Duchess! Yang ke enam puluh tujuh tahun!” seru Feya lantang, dengan mata berbinar seperti baru saja menemukan harta karun.

Beberapa pelayan lain sampai menoleh kaget, ada yang hampir menjatuhkan sendok dari tangannya. Rosella sendiri hanya berhenti sesaat, lalu melanjutkan irama pisau di atas talenan. Alisnya sedikit terangkat, tapi wajahnya tetap datar. Lyrra bahkan tidak repot-repot menoleh, hanya menghela napas seakan sudah tahu arah keributan ini.

“Suaramu itu, Feya,” ujar Lyrra dengan nada malas, matanya tetap menatap adonan. “Kalau kau berteriak lebih keras sedikit, mungkin atap dapur akan runtuh.”

Feya terkekeh, menepuk dada dengan bangga. “Ayolah, ini berita besar, Lyrra! Masa kau bisa sesantai itu? Tiga hari lagi pesta besar! Akan ada makanan melimpah, musik, lentera-lentera indah!”

“Dan kerja tambahan yang melelahkan,” potong Lyrra dingin. Ia menepuk-nepuk adonan dengan keras, seolah melampiaskan rasa sebalnya pada tepung yang tak berdosa. “Kau pikir pesta sebesar itu bisa berdiri sendiri? Semua beban ada di dapur ini.”

Feya menggembungkan pipinya, tampak kesal karena antusiasmenya dipotong begitu saja. “Kau itu memang tidak tahu cara menikmati hidup, Lyrra. Coba bayangkan … daging panggang dengan kulit renyah, sup harum yang mengepul, kue manis berlapis-lapis … ah, aku sampai bisa mencium aromanya dari sekarang.”

“Yang kau cium itu aroma bawang yang sedang kau iris, bodoh,” timpal Lyrra datar, membuat beberapa pelayan yang mendengar tak tahan menahan senyum.

Rosella menunduk sedikit, bibirnya terangkat samar. Ia tidak ikut menimpali, hanya mendengarkan percakapan itu sambil meneruskan pekerjaannya. Feya, bukannya surut, malah semakin berapi-api.

“Rosella!” serunya, mencondongkan tubuh pada gadis berambut pirang itu. “Kau juga pasti menantikannya, kan? Ayolah, katakan kalau aku tidak sendirian di sini!”

Rosella melirik sekilas, suaranya tenang dan pendek. “Aku sudah tahu soal ulang tahun Grand Duchess.”

Feya ternganga, lalu menepuk kening sendiri dengan dramatis. “Hah?! Jadi kalian berdua sengaja membiarkan aku heboh sendirian? Benar-benar keterlaluan. Aku ini hanya berusaha membawa semangat pagi ke dapur, dan lihat apa balasannya? Dinginnya Lyrra dan diamnya Rosella.”

Lyrra mendesah pelan, menepuk-nepuk adonan di depannya lebih keras dari biasanya. “Astaga, Feya … kau itu seperti ayam jantan yang salah jam berkokok.”

“Apa maksudmu salah jam? Aku justru tepat waktu, berita ini penting!” sanggah Feya sambil menepuk dadanya. “Apa kalian tidak sadar? Perayaan ulang tahun Grand Duchess bukan sekadar pesta biasa. Itu artinya seluruh dapur istana ini akan jadi pusat perhatian! Bayangkan, makanan kita akan dicicipi para bangsawan, para pejabat tinggi, bahkan mungkin Duke Orion sendiri!”

Kata terakhir itu sempat membuat beberapa pelayan lain menelan ludah canggung. Nama sang Duke, bagi mereka, bukan nama yang enak disebut sembarangan. Rosella sendiri sempat berhenti sejenak, tapi kemudian kembali melanjutkan potongan sayur di tangannya tanpa komentar.

“Ya, dan bayangkan juga kalau kau salah menakar garam, maka seluruh istana akan mengutukmu,” timpal Lyrra dingin.

Feya langsung terdiam sejenak, lalu buru-buru menggeleng keras. “Tidak mungkin! Aku … aku pasti bisa melakukan yang terbaik.” Ia bahkan tersenyum canggung, matanya melirik kanan–kiri, mencari pembelaan.

“Tidak ada yang memintamu membayangkan sejauh itu,” potong Lyrra lagi, kali ini nadanya lebih lembut, meski tetap terdengar malas.

Rosella menunduk sedikit, tersenyum tipis, mendengarkan tanpa ikut serta. Ia sudah terbiasa dengan perang kata-kata antara keduanya, yang hampir selalu berakhir sama. Lyrra dengan wajah dinginnya, dan Feya dengan tawa kikuknya sendiri.

Namun, momen ringan itu buyar begitu suara langkah berat terdengar dari arah pintu dapur. Suara itu berbeda dari langkah pelayan biasa—lebih tegas, lebih teratur, dan menimbulkan semacam aura tak terkatakan yang langsung membuat seisi ruangan kaku.

Para pelayan serentak menunduk, tangan mereka berhenti di udara, sendok dan pisau tergenggam tanpa berani bergerak. Hanya suara kayu terbakar di tungku yang masih berderak.

Dari ambang pintu muncul sosok kepala pelayan. Master Helvig. Pria paruh baya dengan wajah datar yang nyaris tak pernah berubah, tubuhnya tinggi dan tegap, jubah hitam sederhana membalut tubuhnya. Sorot matanya menyapu seluruh ruangan sekali, dingin dan tajam, cukup untuk membuat beberapa pelayan yang tadi sempat menahan tawa kini merunduk hingga hampir menyentuh meja.

Di belakangnya, beberapa pengikut muda berdiri tegak, tak bersuara, hanya menunggu perintah.

Suara Helvig pecah, berat dan tegas.

“Siapa yang berteriak?”

Keheningan seketika menyelimuti dapur. Tak ada yang berani mengangkat kepala. Rosella menunduk dalam, jemarinya meremas ujung talenan. Lyrra sempat menoleh sekilas ke arah Feya, lalu menunduk lagi, dan berbisik pelan nyaris tak terdengar, “Apa kubilang.”

Feya sendiri menelan ludah, matanya bergerak ke kanan dan ke kiri, seolah mencari jalan keluar. Namun wajahnya cepat-cepat tersenyum kecil, senyum yang jelas bukan senyum percaya diri, melainkan lebih mirip senyum orang yang ketahuan mencuri kue di meja.

Tanpa alasan, tangannya naik menggaruk tengkuknya sendiri, padahal jelas tak ada rasa gatal di sana. Gerakan kecil itu, betapapun singkat, tidak luput dari mata Helvig.

Tatapan dingin itu menajam, lalu tangan sang kepala pelayan terangkat, menunjuk lurus ke arah Feya.

“Kau.”

Feya membeku sejenak, tapi lalu mengangguk cepat. “Ya … saya.” Suaranya pelan, nyaris seperti anak kecil yang ketahuan berbuat nakal.

“Mulai hari ini, kau yang akan keluar berbelanja kebutuhan dapur untuk persiapan ulang tahun Grand Duchess,” ucap Helvig, nadanya sama datarnya seperti biasa, tapi tak ada seorang pun yang berani membantah.

Mata Feya membesar, seolah tak percaya dengan yang baru ia dengar. Antara senang karena diberi kepercayaan, juga terkejut karena tanggung jawab sebesar itu jatuh kepadanya. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar. Ia hanya menunduk dalam, berusaha menutupi campuran rasa gugup dan gembira yang berputar di dadanya.

Namun Helvig belum selesai. Jemarinya kembali teracung, kali ini ke arah meja tempat Rosella berdiri.

“Dan kau.”

Pisau di tangan Rosella hampir terlepas. Tubuhnya menegang, matanya terangkat perlahan menatap kepala pelayan itu. Helvig tidak memberi penjelasan apa pun, hanya tatapan dingin yang membuat darahnya seakan berhenti mengalir.

Rosella terdiam membeku, sementara di sampingnya Lyrra sempat melirik sekilas, sorot matanya seolah berkata, aku sudah menduga kau akan terseret juga.

~oo0oo~

Siang itu jalanan menuju pasar Ashgrath dipenuhi debu kering yang beterbangan tiap kali roda gerobak lewat. Matahari menyorot terik, membuat batu-batu jalan terasa menyengat. Rosella berjalan tenang dengan keranjang rotan di lengannya, sementara Feya di sebelahnya tampak sama sekali tidak tenang.

“Apakah semua orang di Dreadholt seperti itu?” gerutunya sambil mendengus, wajahnya masam. “Selalu dengan muka dingin! Tidak ada yang tahu cara tersenyum, apa giginya pada rontok semua, hah?”

Rosella tetap menatap lurus ke depan, langkahnya teratur.

Feya tidak menyerah. “Kau tahu, tadi aku melihat prajurit di gerbang. Tatapannya … astaga, seperti ingin menelanku hidup-hidup. Padahal aku cuma lewat sambil membawa keranjang kosong. Apa dia pikir aku ini penyusup yang mau menyerang dapur dengan bawang merah?”

Tak ada jawaban dari Rosella.

Feya mendesah panjang, lalu menoleh lagi dengan alis berkerut. “Jangan-jangan semua orang di sini lahir dengan wajah begitu? Bayi-bayi Dreadholt pun mungkin keluar dari rahim dengan ekspresi seram. Bidannya pasti pingsan duluan sebelum sempat memotong tali pusar.”

Beberapa orang yang lewat menoleh sekilas karena mendengar celoteh Feya yang terlalu nyaring, tapi gadis itu tak peduli.

“Aku bersumpah, kalau aku harus tinggal di sini terlalu lama, wajah dingin mereka itu akan masuk ke dalam mimpiku. Bisa-bisa aku terbangun tengah malam dengan wajahku sendiri berubah kaku seperti patung es.”

Rosella meliriknya sekilas, matanya tetap tenang, lalu kembali menunduk memperhatikan jalan. Feya mendengus lagi, setengah kesal, setengah pasrah.

“Ya sudah, diamlah. Aku bicara sendiri saja. Kau memang ahli dalam membuat orang merasa sedang bercakap dengan tembok.”

Pasar utama Ashgrath selalu ramai. Jalanan lebarnya dipenuhi lapak-lapak seadanya, ada yang beralaskan tikar lusuh, ada pula yang menata barang di atas papan kayu kasar. Bau anyir ikan dari gerobak yang baru saja diturunkan bercampur dengan aroma daging panggang, rempah kering, dan peluh manusia yang berdesakan. Suara teriakan pedagang bersahut-sahutan, sebagian menawar dengan nada sengit, sebagian lagi hanya berusaha menggaet perhatian pembeli.

Rosella berjalan di samping Feya, keranjang rotan kecil di tangannya perlahan terisi sayuran. Matanya hanya menatap lurus, berusaha menjaga jarak dari orang-orang yang terlalu berisik. Feya, di sisi lain, sibuk memandangi segala hal dengan mata berbinar—buah berwarna cerah, kain murah yang dijajakan, bahkan perhiasan imitasi yang digantung seadanya. Sesekali ia berbisik kecil sambil menyikut Rosella, tapi gadis itu hanya menanggapinya dengan anggukan tipis atau diam sama sekali.

Lalu, riuh yang berbeda muncul dari arah depan. Bukan teriakan pedagang, melainkan suara keras yang penuh amarah. Beberapa orang mulai menoleh, sebagian berhenti berjalan, membentuk lingkaran samar di tengah jalan pasar.

“Sudah kukatab, bayar sekarang juga!” bentak seorang lelaki dengan suara serak, tubuhnya tegap dengan lengan penuh urat yang menegang. Tangan kasarnya mendorong seorang pria paruh baya hingga jatuh tersungkur di atas tanah berdebu. Keranjang kecil berisi kentang murahan yang dibawanya terguling, isinya berserakan begitu saja di jalan.

Rosella sempat ingin melewati saja, menundukkan kepala agar tidak terlibat. Namun sebelum ia sempat menyingkir, tubuh pria paruh baya itu justru terlempar ke arahnya. Lelaki itu jatuh di tanah tepat di depan kaki Rosella, wajahnya lebam, bibirnya pecah, darah tipis menetes di dagunya. Ia merintih, berusaha bangkit dengan kedua tangannya yang gemetar.

“Tolong … beri aku waktu sedikit lagi,” suaranya serak, nyaris tercekik. “Aku sedang kesulitan, hanya sebulan saja, aku pasti bisa melunasi semuanya ....”

Belum sempat ia melanjutkan, salah satu dari preman pasar itu menendang, lagi, membuatnya terhuyung. “Kau pikir kami ini panti amal, hah?!” bentak lelaki itu, wajahnya mendekat dengan tatapan penuh amarah. “Utang itu utang! Kalau tidak sanggup bayar, jual saja anak istrimu!”

Beberapa orang di kerumunan tersentak, sebagian memilih diam pura-pura tidak melihat. Tidak ada yang berani maju.

Rosella merasakan dadanya mengeras. Ia masih berdiri tegak, tatapannya tajam pada pemandangan itu. Tangannya mengepal di samping keranjang yang ia bawa.

Namun, sebelum ia melangkah, Feya cepat-cepat menyambar lengannya. “Rosella! Jangan—” bisiknya panik, wajahnya pucat. “Mereka itu orang-orang pasar, dan mereka sangat kejam! Biarkan saja, ini bukan urusan kita!”

Rosella menoleh sebentar, tatapannya tenang namun dingin, seolah ucapan Feya hanya sekadar desir angin yang tak mampu menahan langkahnya. Ia menggerakkan tangannya pelan, membuat Feya terpaksa melepaskan cengkeramannya.

“Rosella, tolong dengarkan aku!” Feya setengah berbisik, setengah memohon, matanya melebar ketakutan. Tapi gadis berambut pirang itu tetap maju.

Lalu suaranya terdengar—tegas, dingin, memecah riuh pasar yang mendadak sunyi di sekitar kerumunan.

“Cukup.”

Suara Rosella memang tidak lantang, tapi cara ia mengucapkannya membuat udara seakan menegang. Orang-orang di sekitarnya saling berpandangan, tak percaya seorang gadis asing dengan pakaian sederhana berani menantang para penagih utang pasar Ashgrath yang terkenal kejam.

Lelaki besar yang tadi menendang si penghutang menyipitkan mata. Ia melangkah mendekat, tubuhnya menjulang, napasnya kasar, seakan ingin memperlihatkan bahwa sekali pukul saja bisa meremukkan siapa pun yang melawan. “Apa kau bicara padaku, hah?!” bentaknya, jarinya menuding tepat ke wajah Rosella. “Seorang pelayan pasar sepertimu berani mencampuri urusan kami?”

Rosella tidak mundur. Kedua kakinya menapak kuat di tanah, matanya lurus menatap lawannya. “Memeras orang yang sudah jelas tak punya apa-apa bukanlah solusi, itu hanyalah kekejaman,” ujarnya, nada suaranya tenang tapi tajam.

Kerumunan mendengus pelan, sebagian terkejut, sebagian cemas. Feya yang berdiri di belakang Rosella hampir menangis ketakutan. Ia meraih lengan Rosella sekali lagi, kali ini lebih kuat. “Rosella, tolong, jangan … kumohon. Mereka bisa membunuhmu,” bisiknya tergesa, nyaris tercekik oleh rasa takut.

Tapi Rosella tidak bergeming, seolah suara Feya tak lagi sampai padanya. Tatapannya terkunci pada lelaki besar itu, seakan tidak ada orang lain di dunia ini selain mereka berdua.

Lelaki itu mendengus, tawa pendek keluar dari mulutnya. “Hahaha … dengar ini! Seorang gadis remeh berani memberi kami pelajaran soal kekejaman!” Ia menoleh pada dua temannya yang berdiri tak jauh, lalu meludah ke tanah. “Kau pikir siapa dirimu, hah? Kau ingin jadi pahlawan pasar Ashgrath? Jangan sok suci di sini!”

Rosella mengangkat dagunya sedikit. “Kalau kau punya urusan dengan utang, bicarakan dengan kepala pasar atau majikan yang berwenang. Menendang orang yang sudah tidak bisa melawan hanya menunjukkan kelemahanmu.”

Sekejap suasana hening. Lalu, tawa kasar lelaki itu meledak, disusul oleh dua rekannya. Suara tawa mereka bergema di antara bangunan-bangunan tua di sisi jalan pasar. “Kau bilang aku lemah? Kau bahkan bukan siapa-siapa. Aku bisa patahkan tanganmu sekarang juga, gadis tengil!”

Feya langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, tubuhnya gemetar hebat. Ia ingin menarik Rosella kabur, tapi tak berani melangkah ke depan.

Rosella tetap tak bergeser. Bibirnya sedikit melengkung, bukan senyum ramah, tapi lebih pada tantangan. “Coba saja.”

Kerumunan mendesah kaget. Seorang wanita tua di dekat situ bahkan buru-buru mundur, takut terkena masalah. Suasana pasar yang biasanya riuh kini justru menegang, semua orang menunggu apakah lelaki besar itu benar-benar akan menyerang atau hanya menggertak.

Wajah lelaki itu memerah, urat lehernya menegang. Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, kepalan besar siap melayang ke arah Rosella. Kerumunan menahan napas, sebagian bersiap menjerit, sebagian lain memilih mundur menjauh. Feya sudah menutup matanya rapat-rapat, hampir tak sanggup melihat.

Namun sebelum pukulan itu sempat jatuh, sebuah tangan lain muncul dari samping—kokoh, kuat, mencengkeram pergelangan lelaki itu dengan keras. Gerakan sederhana, tapi cukup membuat lengannya terhenti di udara, tak mampu bergerak meski ia sudah mengerahkan tenaga.

.

.

.

Bersambung

1
yumin kwan
lah.... salah rose sndr, yang ceroboh.... kok Orion yg disalahin... uda baik Orion ga lampiaskan ke rosella
yumin kwan
penasaran..... apa isi surat yg ditulis rosella
yumin kwan
tetap kutunggu💪
yumin kwan
belum tau alurnya akan ke mana.... siapa lagi tuh tokoh barunya??
yumin kwan
Duke... itu cemburu namanya.... jealous....
masak gitu aja ga ngerti 😁
ronarona rahma
/Good/
yumin kwan
jgn digantung ya Kak.... pliz.... sampai selesai di sini.
Dimas Rizky Aditya: di tunggu
total 2 replies
Tsuyuri
Nggak sabar nih, author update cepat yaa!
Dimas Rizky Aditya: author nya lagi galau jadi agak lama the next nya berlanjut ya
total 2 replies
Marii Buratei
Gila, endingnya bikin terharu.
Xuě Lì: Aaa! makasih🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!