pertemuan yang membuat jatuh hati perempuan yang belum pernah mendapatkan restu dari sang ayah dengan pacar-pacar terdahulunya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurul Laila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Minggu siang, Baskara dan Maharani menikmati makan siangnya di Remboelan. Gadis yang siang itu mengenakan celana cullot warna navy dengan crop top sleeveless berwarna hitam dan rambutnya yang dia buat messy bun, tak lupa kalung pemberian dari Baskara yang selalu melingkar di leher jenjangnya, mendengarkan sang kekasih yang menceritakan tentang harinya survei bersama sahabatnya. Oleh-oleh berupa kain tenun khas lokal dibawakan Baskara untuk cantiknya. Memberikan Maharani ide untuk bekerja sama dengan pengrajin lokal untuk koleksi Hera selanjutnya.
“Kak, aku sebenernya ragu. Tapi aku kepo. Tapi kalo kamu gak mau jawab gak apa-apa.”
Baskara terkekeh, “kamu mau nanya apa?”
“Aku boleh tau cerita tentang kamu sama Papa kamu?”
Baskara diam. Maharani pun menyadari raut wajah pacarnya yang berubah suram.
“Kalo kamu gak nyaman buat cerita, gak apa-apa, Kak.”
“Kamu mau nanya apa?” tanya Baskara lembut.
“Apa yang bikin kamu masih sebel sama Papa kamu, Kak?
“Kayak yang sebelumnya pernah aku ceritain, aku baru tau orang tua aku cerai pas aku lulus kuliah. Mereka cerai pas aku SMA. Selama itu aku baru sadar kalau hubungan orang tua aku udah retak. Aku yang selalu sama Mama bahkan gak sadar beliau “sakit”. Aku gak tau gimana sakitnya Mama waktu itu karna aku cuma liat senyumnya Mama setiap hari. Seolah-olah gak pernah ada masalah apapun. Aku sakit hati jujur, dan kecewa sama diri aku sendiri. Lalu aku denger Papa nikah, gak lama dari aku tau kalau orang tua aku udah cerai. Rasanya kayak, secepat itu Papa dapet pengganti Mama. Pikiran aku mulai kemana-mana. Salah satunya ada rasa ragu soal perasaan Papa ke Mama selama ini. Sedangkan di sini, Mama masih sering mandangin foto lama kami. Yang bikin aku buang semua foto-foto lama.”
“Makanya di rumah gak ada foto keluarga?” tanya Maharani yang di jawab dengan anggukkan.
“Rasanya hati aku remuk tiap kali liat Mama sedih.”
“Kamu udah pernah ngobrol lagi sama Mama? Nanya gimana perasaan Mama sekarang?” lagi-lagi Baskara menggeleng.
“Aku takut. Takut aku malah mencolek lukanya.”
“Papa sama Mama kamu pasti punya alesan yang kuat sampe akhirnya mutusin buat pisah, Kak,” Maharani menggenggam tangan Baskara. “Gak baik nyimpen rasa benci terus menerus, Kak. Gak baik buat kesehatan kamu. Di sisi lain, kamu juga gak akan pernah dapet jawaban dari semua pertanyaan kamu. Kamu pasti bertanya-tanya dalam benak kamu kenapa begini kenapa begitu. Kamu harus ngobrol, biar semuanya terjawab.”
“Aku takut,” Baskara menatap kosong tangannya yang ada di atas meja, “aku takut meledak saat ngeliat Papa dan malah nonjok wajahnya. Aku takut aku makin benci Papa kalau aku denger jawaban darinya. Aku takut, kalau ternyata selama ini Mama sedih seorang diri dan aku cuma anaknya yang gak berguna.”
“Satu hal yang perlu kamu tau, Kak, Mama sudah sembuh dari lukanya. Mata Mama masih sama berbinarnya saat kemarin aku liat. Senyum Mama bukan senyuman palsu yang dipaksakan. Jadi aku rasa, kamu juga perlu berdamai dengan luka kamu. For your own good, okay?”
Baskara mengenggang tangan Maharani yang sedari tadi mengenggam tangan kanannya dengan tangan kirinya.
“Please don’t leave me.”
Maharani kaget dan terkekeh setelahnya, “kok malah jadi kepikiran gitu?”
“Aku bukan cowok keren yang selalu kamu bilang. Aku punya banyak lubang dan cacat.”
Maharani tertawa renyah, “ish, kamu nih. Aku udah bilang kan, aku suka semua sisi kamu. Jadi, jangan terus-terusan berusaha keliatan cool dihadapan aku. Aku mau liat semua sisi kamu.”
“Aku perlu muter-muter gak?” guyon Baskara membuat Maharani tertawa dan memukul pria itu.
“Kesel banget,” katanya dengan gelak tawa, “udah gak mellow?” tanya Maharani dan Baskara tersenyum menjawab pertanyaan itu. “Nanti coba ngobrol dulu sama Mama ya, Kak.”
“I’ll try.”
...♥...
Sudah seminggu setelah obrolan serius dia dan Maharani, namun Baskara belum juga membuka topik itu dengan sang Mama. Setiap hari dia berusaha untuk memantapkan hati, dan menurunkan ekspektasi atas apapun jawaban yang akan dia dengar.
“Baaaas,” panggil Mama mengetuk pintu kamarnya pada Rabu malam.
Baskara keluar dengan rambut setengah basah dan membawa handuknya seusai mandi.
“Ya, Ma?”
“Minggu ini kamu sibuk gak? Hari sabtunya,” tanya Fany.
“Sabtu ini aku kosong. Ada apa, Ma?”
“Temenin Mama yuk.”
“Mau kemana?”
“Ketemu temen lama Mama. Mau kan?”
“Tumben ngajak aku,” ledeknya diikuti gelak tawa. “Oke, nanti aku temenin.” Pria itu berjalan ke belakang rumah, menjemur handuknya dan duduk di sofa bersama sang Ibu, “Ma.”
“Ya?” Fany meletakkan remote tv setelah mendapatkan saluran yang dia ingin tonton.
“Aku denger dari Ara, Mama ketemu sama Papa ya?”
“Iya. Ara cerita ya? Minggu lalu pas Mama sama Ara jalan, kebetulan ketemu sama Papa kamu, Bas. Oh, he’s stay here for good loh sekarang. Dapet promosi buat jadi direktur cabang Indo.”
“Oh ya?” jawab Baskara bingung harus menanggapi apa. “Mama oke? Maksudnya, Mama kan juga udah lama gak ketemu sama Papa. Mama baik-baik aja?”
“Baik. Kenapa harus gak baik, Bas?” Fany terkekeh dan memutar duduknya menghadap anak semata wayangnya.
Baskara mengidikkan bahunya, “gak tau. Rindu? Atau ada rasa kecewa? Aku gak tau. Aku gak pernah berani nanyain hal ini sama Mama. Setelah Mama ngasih tau aku kalau kalian cerai dulu, aku baru engeh Mama suka diem-diem mandangin foto Papa dan aku juga suka denger Mama nangis. Aku gak pernah tau alesan kalian pisah. Ngeliat Mama selalu sedih diem-diem gitu, bikin aku sedih dan benci sama Papa. Aku benci sama Papa karena udah ninggalin Mama dan bikin Mama sedih.”
“Kamu mau tau kenapa kami pisah?” tanya Anggi memandangi wajah tampan anaknya. Mengusap wajah itu lembut, “Satu hal yang harus kamu paham, Bas. Pisahnya pasangan gak harus melulu ada luka diantara keduanya. Mama sama Papa kamu pisah memang karena sudah berbeda jalan hidup kami. Memang benar awal rencana kami adalah mama dan kamu akan ikut Papa kamu pindah, tapi kemudian Mama pun dapat promosi jabatan dan Mama pegang project besar saat itu. Mama gak bisa langsung ninggalin begitu aja. Setidaknya, Mama ingin menunda sampai project itu selesai. Tapi apa daya, ada banyak faktor yang membuat kami selalu salah persepsi. Komunikasi pada waktu itu juga gak secanggih sekarang. Akhirnya pun, kami pikir pisah adalah keputusan terbaik. Kami tau ini akan melukai kamu. Maafin Mama sama Papa kamu yang udah egois.”
Fany memperhatikan wajah anak lanangnya. Alis mengkerut, dan terlihat berfikir sangat dalam.
“Kamu mikirin apa?”
“Semuanya masih susah aku terima, Ma.”
“Iya. Gak apa-apa, Bas.”
“Kalau kalian putus baik-baik, kenapa kemudian Papa nikah lagi? Secepat itu?”
“Bas, kita gak akan pernah bisa mengendalikan perasaan kita. Mungkin di tengah kesendiriannya, Papa ketemu sama istrinya yang sekarang, yang bisa mengimbangi dirinya dan menemaninya.”
“Aku juga ngalamin ditinggal pasangan, Ma, dan aku tau gimana rasanya. Hampa, bingung, kangen, aku ngebayangin gimana dulu Mama sendiri menghadapi ini semua dan harus ngurusin aku. Gimana bisa Mama ngadepin ini semua sendiri, Ma? Gimana bisa mama begitu kuat?” Baskara merebahkan kepalanya dipangkuan sang Ibu, menggenggam erat tangan Ibunya.
Fany tersenyum lembut, “karena Mama punya kamu. Kamu selalu memberikan warna dalam hidup Mama, kamu semangat Mama, kamu selalu berhasil membuat hari Mama jadi lebih senang di antara rasa sepinya Mama, Bas.”
“Maaf ya, Ma, dulu aku gak paham apa-apa. Dulu aku gak nemenin Mama. Ngebiarin Mama sedih sendiri.”
Dengan lembut, Fany mengusap kepala anak tunggalnya itu dan berkata, “kamu gak salah, Sayang.”
Baskara menegakkan tubuhnya dan memeluk ibunya.
“Anak Mama udah gede,” Fany terkekeh. “Bas, Mama cuma mohon sama kamu, jangan lagi benci Papa. Mama bersedih sendiri karena pada saat itu Mama memang sempat mengerutuki keputusan Mama, menyalahkan diri sendiri, dan kangen sama Papa. Maafin Mama, kamu harus mengalami ini semua ya, Bas.”
Baskara memeluk erat Ibunya dan berkata, “Mama gak usah minta maaf sama aku.”
“Masih benci sama Papa?”
Baskara lagi-lagi menggedikkan bahunya.
“Iya gak apa-apa. Kamu masih punya banyak waktu buat mencerna semuanya, Bas. Satu hal pesan Mama, kalau ada hal apa pun, Mama harap kamu sama Ara bisa membicarakan semuanya. Jangan menunda-nunda karena kamu pikir saat itu bukan waktu yang tepat. Langsung bicarakan semuanya. Dengen kepala dan hati dingin.”
“Iya, Ma, aku akan selalu ingat pesen Mama.”
...♥
...