“SANDRAWI!”
Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.
Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.
Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Busuk
BUG!
“Kurang ajar! Kau pikir siapa dirimu bisa seenaknya menyentuh Sandrawi?!” maki Bagantara, tinjunya kembali menghantam rahang Dodi tanpa ampun. Matanya merah membara, suaranya menggema di lorong belakang rumah itu.
Dodi limbung, dua pukulan telak membuat tubuhnya oleng dan ambruk ke tanah. Rahangnya ngilu, dadanya berdegup tak menentu. Ia terpaksa menyeka sudut bibirnya yang mulai terasa asin, entah darah atau sekadar liur bercampur debu.
“Kau pikir siapa kau berani bicara seperti itu tentang adikku?!” Bagantara mengempaskan tubuh Dodi ke dinding, mencengkram kerah bajunya dengan kemarahan yang tak terbendung.
Dodi masih meringis menahan sakit, tak menduga amarah Bagantara begitu meledak-ledak. “S-Sebentar, Mas… saya cuma nanya…”
“Cukup bacotmu! Omonganmu cuma karangan, kan?! Sandrawi nggak pernah jual dirinya di tempat begini!” amarah Bagantara semakin membara, napasnya menggebu penuh emosi.
Dodi mengangkat tangan melindungi wajahnya dari pukulan lanjutan. Meski babak belur, ia tak mundur. Ada sesuatu yang harus ia korek dari pria di hadapannya.
“S-Saya nggak bohong… saya memang pernah sama Sandrawi,” dalih Dodi tergagap, menahan rasa ngilu.
BUG!
Tinju keras kembali mendarat di pelipisnya.
“Brengsek! Jangan menodai nama adikku dengan kebohongan busukmu! Aku sumpah, kubikin wajahmu remuk kalau terus ngoceh seenaknya! Sandrawi bukan perempuan murahan seperti yang kau bayangkan!”
Dari kejauhan, Renaya mengintip dari balik tembok dengan dada berkecamuk. Naluri ingin melerai Bagantara kian menggebu, namun logikanya menahannya tetap di tempat. Ia ingin tahu, kemarahan macam apa yang membuat Bagantara berani membabi buta.
Dodi meringis, lalu menggertakkan gigi demi memancing lebih dalam. “A-Adikmu… maksudmu kau… kau tidur sama adikmu sendiri?”
Bagantara mendorongnya sekuat tenaga hingga punggung Dodi menghantam keras tanah. Napasnya tersendat.
“Jaga mulutmu!” geramnya. “Justru aku ada di sini supaya dia jauh dari laki-laki bangsat kayak kamu! Tapi ternyata aku lengah… jangan-jangan… kau yang menghamili Sandrawi?!”
Pertanyaan itu menusuk Dodi tanpa ampun. Ia terdiam, mulutnya terbuka tanpa suara, kebingungan merangkai jawaban.
“Bukan saya, Mas! Saya… saya cuma… iseng ngomong begitu,” lirih Dodi, canggung sekaligus takut.
“Jangan kau bohongi aku!” Bagantara menyorotkan pandangan seperti binatang buas.
“Aku sungguh nggak pernah menyentuh Sandrawi… aku cuma pura-pura buat mancing cerita… aku dengar Sandrawi cuma melayani satu orang… aku pengen tahu siapa pria beruntung itu…”
“Keparat!” Bagantara mengangkat tinjunya lagi, siap mendaratkan pukulan mematikan.
Namun Dodi, yang semula hanya bertahan, kali ini tak sudi diam. Ia menyergap lengan Bagantara, membalas dengan hantaman keras yang membuat Bagantara terhuyung, roboh mencium tanah.
“Sampai di sini cukup. Terima kasih informasinya,” gumam Dodi sinis sebelum berbalik pergi, tak peduli pria itu mengerang kesakitan.
Renaya segera keluar dari persembunyian, menghampiri Dodi yang berjalan pincang sambil memegangi rahangnya.
“Cepat cerita! Dia bilang apa?!” tuntut Renaya tanpa basa-basi.
Dodi meringis, menyeka sudut mulutnya yang mulai lebam. “Bukan nanya kabarku dulu? Mukaku hampir gepeng, tahu!”
Renaya mengibaskan tangannya cuek. “Itu gampang, nanti kubelikan balsem. Jawab saja, kenapa dia ngamuk begitu?”
Kemudian Dodi bercerita panjang lebar, tidak melewatkan satu detail penting pun. Menurutnya, Bagantara sebenarnya tidak memiliki hubungan spesial apa pun dengan Sandrawi.
Kehadiran Bagantara di sana semata-mata untuk menjaga Sandrawi agar terhindar dari pria-pria hidung belang.
“Jadi maksudmu, dia sengaja menyewa Sandrawi dan melarangnya melayani pria lain selain dirinya, sebagai bentuk perlindungan?” tanya Renaya dengan alis berkerut.
Dodi mengangguk lemah. Noda darah samar membekas di sudut bibir dan hidungnya. “Iya, tapi dia bilang dia kecolongan. Bahkan sempat menuduh aku yang menghamili Sandrawi.”
Renaya menghela napas dalam-dalam, pikirannya berputar dengan beragam spekulasi. Tuduhan yang sempat meluncur pada Bagantara kini berubah seiring cerita Dodi yang menggambarkan sosok pria itu sebagai pelindung Sandrawi.
“Apakah selama ini aku terlalu cepat menilai dia?” gumam Renaya dalam hati.
“Duh, mukaku sakit banget,” keluh Dodi sambil memegangi wajahnya yang masih nyeri.
“Nanti aku obati lukamu,” balas Renaya lembut.
Mereka berdua meninggalkan area lokalisasi itu. Sebelum pulang, Renaya sempat mampir ke apotek untuk membeli obat luka bagi Dodi. Bagaimanapun, Dodi telah banyak membantu, bahkan sampai mengorbankan wajahnya.
“Omong-omong, terima kasih banyak, ya. Sekarang aku mengerti hubungan mereka bukan seperti yang kupikirkan,” ujar Renaya sambil menempelkan plester di pipi Dodi.
“Tidak usah berterima kasih, ini memang tugasku sebagai polisi untuk membantu masyarakat,” jawab Dodi.
“Tapi aku tetap merasa nggak enak, wajahmu sampai jadi sasaran pukulan.”
“Sempat kupikir cuma pukulan biasa, ternyata keras juga. Sekarang mukaku kebas, jadi kurang menarik,” canda Dodi sambil tersenyum miris.
Renaya tertawa kecil, sengaja menekan perlahan di area lebam sebelum menempelkan plester.
“Aduh, pelan-pelan dong!” keluh Dodi sambil meringis.
“Ya sudahlah, dari awal juga wajahmu nggak terlalu menarik,” goda Renaya.
Setelah memastikan luka Dodi terawat, Renaya segera beranjak pulang. Matahari mulai merangkak turun, langit perlahan kelabu. Dia membawa sepotong informasi baru yang justru menambah tanya dalam benaknya.
---
Keesokan paginya, tubuh Ratih terasa lebih ringan dari biasanya. Entah mengapa, pagi itu semangatnya terasa membara. Kepala yang kemarin berat kini terasa lapang, tubuhnya tidak lagi lemas.
Ia menoleh ke arah jam dinding, jarum menunjukkan pukul setengah enam pagi. Seperti biasa, jam segitu adalah waktu ritual menyapu halaman depan rumah.
Beberapa hari terakhir Ratih hanya terbaring, tak berdaya melakukan aktivitas rutin. Akibatnya, rumah jadi sedikit berantakan, terutama halaman depan yang penuh tumpukan daun kering yang belum tersapu.
“Badanku terasa lebih segar pagi ini,” gumam Ratih pelan sambil merenggangkan punggung, kemudian meraih gagang sapu di sudut ruangan.
Sementara Ratih menyapu halaman, suami dan anaknya masih terlelap di kamar. Ia sengaja tak ingin membangunkan mereka, apalagi setelah beberapa hari terakhir semua begitu sibuk merawatnya yang sakit-sakitan sejak Sandrawi tiada.
Ratih juga berusaha menghindari larut dalam kesedihan. Ia tak ingin tenggelam dalam duka yang tiada ujung dan terus menangisi Sandrawi. Masih ada suami dan anak-anak yang membutuhkan kehadirannya di sini.
“Tuh, Mbak Ratih, kok udah keluyuran pagi-pagi begini?” suara Sarah tiba-tiba terdengar dari belakang.
Ratih menoleh, mendapati Sarah tengah membawa nampan berisi beberapa mangkuk.
“Iya, badan agak enakan pagi ini. Daripada cuma rebahan di kasur, mending mulai gerak biar cepat pulih,” jawab Ratih sambil menyunggingkan senyum.
Namun, ekspresi Sarah tampak kurang senang mendengar kabar itu meski tak sampai terlihat jelas di wajahnya.
“Haduh, Mbak... mending istirahat aja dulu. Badan Mbak Ratih kan belum kuat buat aktivitas,” ucap Sarah dengan nada pura-pura prihatin.
“Aku sudah nggak apa-apa kok. Nih, buktinya udah kuat nyapu. Biasanya berdiri saja sudah lemas luar biasa, tapi pagi ini tumben enteng,” jawab Ratih yakin.
“Justru itu, Mbak. Meski nggak lemas, Mbak Ratih nggak boleh capek-capek,” Sarah mencoba membujuk agar Ratih berhenti beraktivitas. “Mbak sudah minum obat belum?”
Ratih menggeleng. Sejak Renaya mengurusnya, obat sudah tak pernah lagi diberikan, dan anehnya, dia merasa lebih baik tanpa obat itu.
“Nggak, aku cuma minum air putih tadi pagi.”
“Haduh, Mbak, obat itu jangan sampai putus. Soalnya obat yang aku kasih itu juga mengandung vitamin buat pemulihan,” kata Sarah. “Obat Mbak Ratih kan mau habis, ‘kan? Aku sudah beli lagi kemarin, sampai harus jalan jauh dan panas-panasan.”
Sarah menyerahkan sebuah plastik kecil berisi beberapa butir kapsul kepada Ratih, obat yang selama ini menjadi rutinitasnya.
“Aku rasa sudah nggak butuh obat lagi, Sar. Badan sudah enakan, kayaknya nggak perlu minum lagi,” tolak Ratih dengan halus.
“Tidak boleh, Mbak. Obatnya harus tetap diminum. Mbak Ratih kan masih masa pemulihan,” Sarah bersikeras. “Aku juga beliin bubur ayam buat sarapan, ya. Yuk, masuk dulu, Mbak. Jangan terlalu capek.”
Sarah mengambil sapu dari tangan Ratih, meletakkannya di sudut dinding, lalu menggenggam tangan Ratih menariknya masuk ke dalam rumah. Sekilas, Ratih merasakan ada sesuatu yang ganjil dari sikap wanita itu saat menuntunnya menuju dapur.