Bayangmu di Hari Pertama
Cinta yang tak lenyap meski waktu dan alam memisahkan.
Wina Agustina tak pernah mengira hari pertama OSPEK di Universitas Wira Dharma akan mengubah hidupnya. Ia bertemu Aleandro Reza Fatur—sosok senior misterius yang ternyata sudah dinyatakan meninggal dunia tiga bulan sebelumnya. Hanya Wina yang bisa melihatnya. Hanya Wina yang bisa menyentuh lukanya.
Dari kampus berhantu hingga lorong hukum Paris, cinta mereka bertahan menantang logika. Namun saat masa lalu kembali dalam wajah baru, Wina harus memilih: mempercayai hatinya, atau menerima kenyataan bahwa cinta sejatinya mungkin sudah lama tiada…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarifah31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 – Jika Aku Menutup Mata & Goresan yang Tak Pernah Berubah
Hari itu, langit Jakarta muram.
Awan menggantung rendah, dan udara kantor dipenuhi aroma kopi pagi dan parfum netral yang biasa.
Wina berjalan cepat menuju ruang kerjanya, menyapa beberapa karyawan di koridor. Senyumnya seperti biasa—manis, sopan, profesional. Tapi di balik senyuman itu, ada serpihan yang belum ia selesaikan sejak malam kemarin.
Seketika ia duduk di kursinya, ia memejamkan mata.
Hanya sebentar. Tapi cukup untuk menyentuh lorong kenangan yang sangat dikenalnya.
> Ale.
Suaranya saat menyebut namanya.
Tatapan matanya saat berdiri di selasar gedung tua kampus.
Luka di pelipis kiri yang entah bagaimana... sekarang juga ada pada Fatur.
Napas Wina bergetar kecil.
“Wina?”
Suara itu membuatnya membuka mata refleks.
Fatur berdiri di dekat mejanya, membawa dua berkas dengan kemeja warna abu terang dan celana bahan hitam. Ia menatap Wina dengan alis sedikit naik, ekspresi khawatir.
“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya.
Wina terkesiap sebentar, lalu buru-buru mengatur napas. “Oh... maaf, Kak. Aku cuma... tadi pejam sebentar. Mungkin pusing sedikit karena belum sarapan.”
Fatur diam sejenak. Lalu mengangguk pelan. “Jangan suka skip makan. Kantin belum rame kok. Mau aku temani beli makanan dulu?”
Wina menggeleng pelan. “Nggak usah repot-repot, Kak. Aku ada biskuit di laci.”
Fatur masih menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya meletakkan berkas di meja. “Ini materi untuk diskusi nanti siang. Kamu dan timmu presentasi jam dua, ya. Aku bantu dampingi.”
“Oke, Kak. Terima kasih.”
Fatur tersenyum kecil—senyum yang sangat... Ale.
Dan entah kenapa, pagi itu ada angin aneh berhembus di dalam hati Wina. Seolah apa pun yang ia rasakan... perlahan mulai menyadari dirinya sendiri.
Setelah Fatur pergi, Wina menatap layar laptop.
Jarinya gemetar saat membuka folder "Pribadi", dan di sana ada file lama—surat Ale, yang dulu ditulisnya dalam jurnal kampus:
> “Kalau kamu menutup mata, dan tetap bisa melihat aku... berarti aku tidak pernah benar-benar pergi.”
Wina menutup laptopnya.
Menatap ke luar jendela.
Dan perlahan... mulai mempertanyakan sesuatu:
> Apakah cinta yang dulu hilang benar-benar pergi?
Atau ia sedang berdiri tak jauh darinya… dengan nama dan cerita yang baru?
Penuh nuansa emosional yang subtil, memperlihatkan hubungan Wina dan Fatur yang mulai terjalin lebih personal, tanpa keduanya menyadari bahwa mereka pernah terikat lebih dari yang mereka tahu.
***
Hujan turun tipis sore itu.
Butiran air menari di luar jendela kantor lantai tiga, memantulkan bayangan samar gedung-gedung tinggi Jakarta yang terlihat buram. Di dalam ruangan, suasana mulai lengang. Jam kerja hampir usai. Karyawan satu per satu berkemas, menyimpan dokumen ke dalam map dan laptop ke dalam tas.
Wina masih di mejanya.
Ia belum bisa beranjak. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku.
Tangannya memegang sebuah map biru tua bertuliskan "Divisi Pelatihan dan Bimbingan" — map itu diberikan Fatur beberapa hari lalu. Isinya hanya materi dan rundown pelatihan mingguan, begitu katanya. Tapi di bagian belakang map, terselip secarik kertas kecil, tertulis tangan:
> "Kita tidak harus sempurna untuk memulai. Kita hanya perlu yakin bahwa setiap langkah kita ada maknanya."
—FF
Tulisan itu… terasa familiar.
Wina mengerutkan dahi.
Ia menarik laci kecil di mejanya, mengambil jurnal tua kulit coklat yang selalu ia bawa sejak tahun pertama kuliah. Di dalamnya, ada satu halaman yang tak pernah ia lupakan. Surat Ale. Surat terakhir yang ia temukan saat masih menjadi mahasiswa baru—tertulis dengan tinta hitam di balik halaman catatannya.
Ia membuka halaman itu dengan hati-hati.
Membandingkan tulisan tangan di surat Ale... dan catatan kecil di map dari Fatur.
Jantung Wina berdetak pelan. Kemudian memburu. Sama.
Bentuk huruf F yang meliuk lembut. Huruf A yang selalu miring sedikit ke kiri. Cara menulis "kita" yang khas—sedikit loncat di huruf t.
Itu tulisan tangan yang sama.
Tangannya gemetar. Nafasnya tertahan. Ia tidak sedang berhalusinasi. Ia tidak sedang terjebak nostalgia.
> Ale... dan Fatur...
Mereka bukan hanya mirip.
Mereka adalah orang yang sama.
Wina menutup map dan jurnal itu bersamaan, memeluknya ke dada. Matanya berkaca-kaca, tapi bukan karena sedih—lebih pada ketakutan... dan harapan yang tiba-tiba kembali tumbuh liar.
“Kenapa kamu nggak bilang?” bisik Wina lirih pada udara kosong di depannya.
“Kamu masih kamu, kan, Le…?”
Dari jauh, terdengar langkah kaki. Pintu ruang kerja terbuka sedikit.
Fatur berdiri di ambang pintu, masih mengenakan kemeja putih dan jam tangan hitam di tangan kirinya.
“Kamu belum pulang?” tanyanya ramah.
Wina buru-buru menyeka ujung matanya. “Belum. Lagi beresin ini…”
Fatur menatap jurnal coklat yang terbuka sedikit di tangan Wina.
Sejenak… pandangan matanya terlihat kosong. Lalu ia tersenyum. “Jurnal itu kayaknya penting banget, ya.”
Wina menelan ludah. “Iya. Isinya... kenangan.”
“Bagus.” Fatur mengangguk. “Kadang yang kita lupa, justru tinggal di sana.”
Dan sebelum pergi, ia menambahkan satu kalimat lagi, kalimat yang membuat seluruh bulu kuduk Wina berdiri:
> “Dulu, aku juga suka nulis di belakang kertas. Karena katanya, sisi kosong itu lebih jujur.”
Lalu Fatur pergi meninggalkannya dengan detak jantung yang masih belum tertata.
Momen krusial. Wina menyadari sepenuhnya bahwa Fatur adalah Ale, atau setidaknya bagian dari Ale masih ada di dalam dirinya. Tapi kebenaran itu belum bisa diucapkan. Hanya bisa dirasakan dan disimpan.
ku harap kamu milih aku sih
wina akhirnya pujaan hatimu masih hidup