NovelToon NovelToon
Misteri 112

Misteri 112

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Penyelamat
Popularitas:10.4k
Nilai: 5
Nama Author: Osmond Silalahi



Kejahatan paling menyakitkan bukan diciptakan dari niat jahat, tapi tumbuh dari niat baik yang dibelokkan.
Robert menciptakan formula MR-112 untuk menyembuhkan sel abnormal, berharap tak ada lagi ibu yang mati seperti ibunya karena kanker. Namun, niat mulia itu direnggut ketika MR-112 dibajak oleh organisasi gelap internasional di bawah sistem EVA (Elisabeth-Virtual-Authority). Keluarga, teman bahkan kekasihnya ikut terseret dalam pusaran konspirasi dan pengkhianatan. Saat Profesor Carlos disekap, Robert harus keluar dari bayang-bayang laboratorium dan menggandeng ayahnya, Mark, seorang pengacara, untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari dirinya. Misteri ini bukan sekadar soal formula. Ini tentang siapa yang bisa dipercaya saat kebenaran disamarkan oleh niat baik.





Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Osmond Silalahi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Heliks Dalam Kegelapan

..."Setiap keputusan besar selalu diawali oleh satu langkah kecil yang tak terlihat. Dan pada jam lima belas tepat di sebuah stasiun kota pesisir, takdir bergerak diam-diam di bawah bayang senja, membawa rahasia dunia dalam sol sepatu seorang pria bernama Jerry."...

 

Langit sore menua ke arah jingga pucat saat Jerry tiba di stasiun bus kota pesisir. Jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 15.00 tepat. Dia mengenakan jaket denim abu-abu yang sudah agak usang, membawa tas selempang kecil berisi perlengkapan seadanya, dan berjalan cepat menuju sebuah kafe tua yang berada tepat di sisi terminal.

Di dalam kafe itu, empat orang telah menunggunya.

Gunawan duduk di pojok, ditemani Elisabeth yang menyamar dengan kerudung tipis dan kacamata gelap. Di sampingnya, seorang pria tua berkumis lebat yang meskipun tampak renta, ada sorot tajam di balik kacamatanya bernama Leonard Zheng. Di kursi paling pojok, seorang pria tinggi besar duduk membelakangi jendela. Wajahnya nyaris tak terlihat karena tertutup cadar kain gelap dan kacamata hitam besar. Tapi cara ia duduk, tenang namun waspada, menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan.

Saat Jerry melangkah masuk, Elisabeth berdiri setengah, memberi isyarat cepat. Gunawan bangkit dan menyalaminya.

“Kau tepat waktu,” kata Gunawan.

“Tak ingin membuat masalah lebih rumit dari yang sudah ada,” jawab Jerry tenang, meskipun keringat dingin membasahi punggungnya.

Leonard menatap Jerry tajam. “Ada yang mengikutimu?”

Jerry menggeleng. “Aku pastikan jalurku bersih. Kamera tersembunyi yang kutanamkan di terminal tadi malam tidak menangkap ada pergerakan mencurigakan.”

“Bagus,” ujar Gunawan. “Kau bawa datanya?”

Pertanyaan itu membuat Elisabeth segera menoleh. “File MR-112. Sudah disalin?”

Jerry mengangguk. Ia duduk perlahan, membuka sepatu kanan secara hati-hati, lalu dari dalam sol tersembunyi, ia mengeluarkan sebuah flashdisk hitam kecil.

“Ini,” katanya sambil menyerahkannya ke Gunawan. “File lengkap MR-112_A. Tanpa salinan, tanpa jejak. Tapi hanya bagian A, bukan X.”

Leonard menarik napas lega. “Bagian A sudah cukup untuk prototipe awal. Kau bekerja cepat.”

Di seberangnya, Elisabeth mencondongkan tubuh sedikit, tatapannya tajam menembus Jerry seperti sinar rontgen yang ingin memastikan tidak ada kebohongan tersisa.

“Jadi ... file formula milik Robert itu,” katanya pelan, seolah tiap kata adalah batu yang dipindahkan dengan hati-hati, “yang dinamakan MR-112. Sudah kau salin?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Hening sejenak melingkupi ruangan logam dengan suara mesin pendingin yang berdering halus di latar belakang. Jerry tak langsung menjawab. Ia hanya menatap mereka berdua, lalu perlahan menghela napas.

Ia duduk, membungkuk sedikit, lalu membuka tali sepatu kanan yang sudah lusuh oleh perjalanan. Gerakannya terukur, penuh kehati-hatian seperti sedang membuka peti peninggalan masa lalu yang penuh jebakan.

“Ini dia,” gumamnya.

Dari balik sol tersembunyi yang telah dimodifikasi, ia mengeluarkan sebuah flashdisk hitam kecil berukir logo samar sebuah simbol kimia yang jika dilihat sekilas menyerupai dua heliks DNA bersilangan.

Elisabeth mengangkat alis, lalu menerima benda itu dengan dua jari. “Kau simpan di sol sepatu?”

Jerry tersenyum tipis. “Tidak ada tempat yang lebih aman dari sesuatu yang paling diremehkan.”

“Dan file-nya?” tanya Leonard sambil meraih tablet di depannya.

“MR-112_A,” jawab Jerry tegas. “Hanya itu yang bisa kuambil. Yang versi X tidak bisa ditembus. Ada proteksi ganda di dalamnya. Bahkan dengan semua bypass yang kupunya, aku hanya bisa menembus lapisan pertama.”

Elisabeth dan Leonard saling pandang.

“Tapi,” lanjut Jerry cepat, “bagian A sudah sangat lengkap. Semua peta protein, urutan RNA sintetis, dan pola reaksi kimianya ada di sana. Kita bisa mulai dari situ.”

Leonard mengangguk, matanya berbinar. “Itu sudah lebih dari cukup. Dari MR-112_A, kita bisa membangun prototipe awal. Dan mungkin ... hanya mungkin ... kita bisa rekonstruksi bagian X berdasarkan perilaku mutasi dari A.”

Elisabeth mengerutkan dahi. “Kita bermain dengan gen sintetis yang bisa berinteraksi dengan sistem imun manusia. Salah perhitungan ... kita bisa menciptakan sesuatu yang tak bisa dikendalikan.”

“Lalu kita pastikan tak ada kesalahan,” gumam Leonard.

Sementara itu, Jerry menatap flashdisk itu sekali lagi, diam-diam berpikir. Ia tahu ada sesuatu yang aneh dengan struktur file MR-112_A saat terakhir kali ia melihatnya di layar laboratorium desa—seolah ada bagian dalam kode itu yang ... bukan milik Robert.

Namun ia memilih diam.

Untuk saat ini.

Saat Gunawan hendak memasukkan flashdisk itu ke sakunya, pintu kafe terbuka.

Seorang pria paruh baya masuk, mengenakan jaket kulit dan topi fedora. Wajahnya tirus dan dingin, seakan diukir dari batu. Ia berjalan pelan, penuh percaya diri, dan langsung menuju meja mereka tanpa berbicara sepatah kata pun.

Jerry sontak menegang.

Itu dia. Pria yang duduk di sampingnya di dalam bus pagi tadi. Saat itu, pria itu hanya membaca koran dan tak banyak bicara. Tapi sekarang ... kehadirannya terasa seperti pisau yang digesek perlahan di udara.

Gunawan tersenyum kecil, berdiri, dan menepuk bahu pria itu.

“Jerry, kenalkan. Ini Klaus Hollenberg.”

Jerry menelan ludah. “Kau yang duduk di sebelahku tadi pagi?”

Klaus menoleh perlahan ke arah Jerry. Senyumnya tipis, hampir seperti tidak nyata. “Aku selalu memastikan barang berhargaku tiba di tempat dengan aman,” katanya dengan aksen Jerman yang kental.

Elisabeth menyelipkan senyum tipis, lalu berkata, “Klaus adalah donatur utama dari proyek EVA. Tanpa dia, kita semua mungkin sudah jadi nama dalam berita obituari.”

Klaus duduk. “Dan sekarang, kalian semua akan ikut denganku ke Swiss. Di sana, kita bisa lanjutkan proyek ini tanpa gangguan pihak luar.”

“Swiss?” Jerry mengangkat alis.

“Pesawat kita berangkat malam ini,” kata Gunawan. “Tiketmu sudah diurus. Klaus menanggung semuanya.”

“Bagaimana dengan keamanan?” tanya Leonard, matanya masih waspada.

Klaus menoleh ke arah pria bercadar. “Dengan Rahman ikut, aku rasa tidak ada yang berani mengejar kita di wilayah udara.”

Cadar pria itu bergerak sedikit. Sebuah dengusan pelan terdengar.

“Rahman akan tetap jadi bayangan,” kata Gunawan. “Identitasnya tak boleh terbongkar sampai kita tiba dengan aman.”

“Dan kamu?” Jerry menatap Gunawan.

“Aku hanya sampai Jakarta,” jawab Gunawan. “Tugasku sampai di sini. Kalian yang akan melanjutkan ke Zurich. Di sana, Klaus sudah siapkan laboratorium bawah tanah di pegunungan kecil bernama Engelberg. Hanya ada tiga akses masuk, semua dikontrol penuh.”

Klaus membuka sebuah folder dan menyodorkan satu-satu tiket pesawat.

“Elisabeth, Leonard, Jenderal Rahman, dan kau, Jerry. Kalian satu penerbangan malam ini. Rute rahasia. Transit dua kali sebelum tiba di Swiss.”

Jerry memandang tiket itu. Nama palsu. Paspor baru. Semua sudah disiapkan.

“Dan setelah kita di sana?” tanya Elisabeth.

Klaus menatapnya lekat-lekat. “Kita akan lanjutkan pengembangan MR-112. Tapi ... dengan satu peringatan.”

Semua menoleh.

“Jika satu dari kalian mencoba menghubungi pihak luar ... atau membawa jejak komunikasi pribadi ... aku akan tahu.”

Suasana di meja berubah tegang. Klaus tersenyum lagi, lebih dingin dari sebelumnya.

“Aku bukan pahlawan. Aku bukan penjahat. Tapi aku tahu satu hal: informasi bisa membunuh lebih cepat daripada racun saraf.”

Gunawan menatap arlojinya. “Kita harus bergerak. Mobil ke bandara akan tiba sepuluh menit lagi.”

Mereka semua bangkit, mengambil tas dan jaket. Jerry melangkah paling akhir, sempat menoleh ke luar jendela. Senja mulai turun, membasahi jalanan dengan warna emas keperakan.

Ia menarik napas dalam. Tidak ada jalan kembali sekarang.

Penerbangan menuju Jakarta berlangsung tanpa hambatan. Mereka naik pesawat kecil privat dengan sistem penyamaran milik Klaus. Setibanya di Jakarta, mereka disambut oleh dua kendaraan hitam yang langsung membawa mereka ke terminal VIP Bandara Soekarno-Hatta.

Gunawan turun paling awal, menyalami satu per satu.

“Aku akan tetap di sini, memantau dari jauh,” katanya sambil menepuk bahu Jerry. “Kau sudah ambil keputusan besar.”

Jerry menatap pria itu sejenak. “Apa aku sudah pilih sisi yang benar?”

Gunawan tersenyum samar. “Kebenaran itu ... relatif. Tapi kadang, yang paling penting adalah memilih sisi yang bisa membuatmu tetap hidup.”

Dengan itu, Gunawan melangkah menjauh, menghilang di keramaian.

Klaus, Elisabeth, Leonard, Rahman, dan Jerry naik ke pesawat lanjutan menuju Swiss, meninggalkan Indonesia... dan semua jejak masa lalu mereka.

Di langit yang tak berpeta, pesawat mereka melaju ke arah dunia baru.

Namun ... apakah dunia baru itu tempat yang lebih aman?

Atau justru ... lebih mematikan?

1
Osmond Silalahi
terima kasih
penyair sufi
gws ya author
lelaki senja
cepat sembuh thor
Osmond Silalahi: terima kasih
total 1 replies
Elisabeth Ratna Susanti
top banget 🥰
Osmond Silalahi: makasih
total 1 replies
NaelaDw_i
Mau jadi misel...
Osmond Silalahi: silahkan
total 1 replies
penyair sufi
kena banget kata-kata disini. semangat thor
Osmond Silalahi: hehehe ... makasih
total 1 replies
penyair sufi
setuju banget om
Osmond Silalahi: makasih banget
total 1 replies
lelaki senja
iya banget nih kata
Osmond Silalahi: hehehe ... iya
total 1 replies
lelaki senja
kata-kata yg menyedihkan
Osmond Silalahi: sebegitu nya ya?
total 1 replies
diksiblowing
dslam banget kata om Mark. pantas ia jadi pengacara
Osmond Silalahi: betul banget
total 1 replies
NaelaDw_i
keren sampulnya udah di ganti, jadi makin bagus... SEMANGAT🔥
Osmond Silalahi: untuk membuat clue tambahan tentang cerita ini. sekalian aq revisi sinopsisnya
total 1 replies
Ambarrela
Kerennn semangat terus ya kak aku tunggu lanjutan ceritanya
Zessyca
Robert hilang kan gpp, dia bukan anak TK lagi
Osmond Silalahi: tapi dia punya formula yg dicari mereka
total 1 replies
Iwang
rasanya pasti rupa2
Osmond Silalahi: yup ... thanks kawan
Iwang: bener
total 3 replies
Iwang
bikin tegang..🥺🥺
Iwang
knp gue yg deg2an
Osmond Silalahi: iya juga sih ... wkwk
Iwang: karena masih punya jantung 😂😂
total 3 replies
Miu Nih.
like it juga,, cinta anak ke ibu yg tulus begete
Osmond Silalahi: setuju ... cinta seorang ibu
Miu Nih.: Yup. Ibu adalah madrasah pertama. Ibu yg baik akan menciptakan keluarga yg bahagia, begitupula sebaliknya...
total 3 replies
Miu Nih.
like it
Osmond Silalahi: yes ... thanks
total 1 replies
Miu Nih.
jangan lansia, tapi sepuh 👍
Osmond Silalahi: iya juga sih
Miu Nih.: rematik tapi tetap tangguh /Proud/
total 5 replies
Miu Nih.
biasalah, kopi kan biasa buat tongkrongan,, pada ngecipris sana sini,, biar agak aestetik gitu 'kopi dan kata' 😅
Osmond Silalahi: iya sih. tapi kan dari semua kata, kenapa harus milih ini? wkwk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!