Cha Yuri berkerja sebagai perkerja paruh waktu pada sebuah minimarket.
menjalani hidup yang rumit dan melelahkan membuatnya frustasi .
Namun Suatu Hari dia bertransmigrasi ke Dunia Isekai dengan bantuan sistem dia mencoba untuk menjalani setiap misi yang diberikan.
Sampai pada akhirnya dia tanpa sengaja mengubah plot nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
menelan bayangan
Liangyi menyipitkan mata memandangi kain peta itu. Cahaya perak samar di permukaannya berkedip seperti nafas, seolah benda itu... hidup.
“Menelan siapa pun yang berdarah... Huh, alat navigasi atau ular pemuja darah?” gumamnya pelan.
Yu Zhan menerima satu gulungan catatan dari Guru Wen. “Ini rincian struktur medan sekitar hutan. Tapi katanya jalurnya selalu berubah?”
“Betul,” kata Guru Wen sambil membetulkan kacamata bulat di hidungnya. “Itulah sebabnya kalian dipilih. Bukan hanya karena kekuatan, tapi karena jenis sihir kalian.”
Xuanwei menerima peta itu dengan dua tangan, wajahnya tetap tak berubah. Tapi Liangyi bisa melihat sedikit kerutan di antara alis pria itu.
Lingyu justru tampak gelisah—bukan karena takut, tapi karena tak tahu pasti ancaman macam apa yang mereka hadapi. Ia membatin, aku tidak bisa mengontrol apa yang tidak bisa kulihat.
Liangyi memperhatikan mereka satu-satu. Suasana itu... terlalu sunyi. Terlalu teratur.
Terlalu seperti... penguburan sebelum upacara pemakaman.
“Dan tentu saja,” lanjut Guru Wen, “setelah kalian masuk batas hutan, komunikasi dengan akademi akan putus sepenuhnya.”
“Tidak ada mantra pengirim pesan?” tanya Lingyu cepat.
“Sudah dicoba. Sihir komunikasi runtuh begitu kalian melewati pohon pertama. Seolah-olah ruang di dalamnya memakan gelombang sihir.”
Liangyi mendengus, “Mantap. Kita benar-benar dikirim masuk ke perut dunia tanpa lampu senter, lalu disuruh cari jalan pulang sambil dikejar makhluk purba.”
Yu Zhan menoleh ke Liangyi, tersenyum tipis.
“Kamu bisa terus mengeluh, atau kita bisa pastikan kamu keluar dari sana hidup-hidup.”
Liangyi balas senyum.
“Jangan terlalu berharap. Aku sudah buat taruhan dalam kepala: yang pertama gugur, yang paling banyak gaya.”
Lingyu menyeringai kaku, “Lalu kamu pasang taruhan atas nama sendiri?”
“Oh tidak, aku gak segitu bodohnya. Aku hanya waspada—aku ini tipe karakter yang biasanya mati di bab 30.”
Xuanwei menyela.
“Besok fajar, kita berangkat. Kalian sebaiknya tidur.”
“Sulit tidur saat tahu monster bisa menghirup nama kita bahkan sebelum kita menjejakkan kaki,” ujar Liangyi pelan.
“Kalau begitu,” Xuanwei menoleh padanya, pandangannya tajam namun tak berniat menyerang, “jangan biarkan dia tahu namamu.”
Tak ada yang menjawab setelah ucapan Xuanwei itu.
Keheningan menggantung di ruangan bawah tanah itu seperti jaring laba-laba—diam, lengket, dan mengancam. Hanya bunyi api dari obor yang sesekali berderak, seakan sedang menyaksikan mereka satu-satu dengan mata menyala.
Liangyi menghela napas panjang dan mulai berjalan menjauh dari meja tengah. Langkahnya berat tapi santai, seperti seseorang yang tahu bahwa istirahat adalah hak terakhir sebelum neraka dibuka.
“Aku ke balkon atap dulu. Mau lihat langit terakhir sebelum ketutupan dedaunan kematian,” katanya sambil mengangkat tangan tanpa menoleh.
Lingyu bergumam, “Drama.”
Yu Zhan mengangkat bahu. “Biarkan saja.”
Tapi Xuanwei memperhatikan punggung Liangyi agak lebih lama.
Begitu Liangyi keluar dari ruangan bawah tanah itu, udara malam langsung menyapa wajahnya. Paviliun itu sepi. Semua siswa lain sudah kembali ke asrama. Langit malam pekat, tapi bintang tampak berkelip lebih terang dari biasanya.
Mungkin karena dia tahu... ini bisa jadi malam terakhirnya melihat mereka.
Liangyi bersandar di pagar batu, menatap langit, lalu membuka jendela sistemnya diam-diam lewat sentuhan di tulang jari.
[SISTEM AKTIF]
[Misi Rahasia: Bertahan lebih dari tiga anggota tim.]
[Bonus: 500 Poin jika kamu tidak menggunakan mantra ofensif satu kali pun selama misi.]
[Catatan: Kematian mereka bukan tanggung jawabmu. Tapi peluangmu.]
Liangyi mengepalkan tangan.
“Jadi itu intinya... sistem ini benar-benar bukan pemandu moral,” gumamnya.
Pintu di belakangnya berderit pelan.
Yu Zhan muncul, berdiri beberapa langkah di belakang.
“Kau tahu... biasanya orang merenung seperti ini saat mereka takut,” katanya pelan.
Liangyi tidak menoleh. “Kau tahu... biasanya orang bijak tidak mengganggu ketenangan seseorang yang sedang siap-siap mati.”
Yu Zhan tertawa kecil. “Kau tidak akan mati. Aku tidak akan membiarkanmu.”
Liangyi menghela napas, kali ini lebih berat. “Lalu kalau kau yang mati lebih dulu?”
Yu Zhan terdiam.
Liangyi menoleh setengah, menatapnya dari sudut mata.
“Itu kemungkinan. Dan aku... bukan tipe yang bakal berteriak histeris atau menanam bunga di makam orang yang baru kukenal sebulan.”
“Tapi...” ia menoleh penuh sekarang, suaranya mengecil, “aku juga gak yakin bisa tertawa kalau kamu lenyap begitu aja.”
Keheningan kembali turun.
Yu Zhan menatap Liangyi lama, tapi tak menjawab. Ia hanya berjalan ke sisi lain balkon dan duduk bersandar, menatap langit juga.
“Besok pagi. Hutan Larangan Ke-7. Tanah yang menelan gema,” bisiknya.
Liangyi hanya berkata pelan
“Kita lihat siapa yang tertelan... dan siapa yang tetap jadi bayangan.”