dendam adalah hidupnya. Melindungi adalah tugasnya. Tapi saat hati mulai jatuh pada wanita yang seharusnya hanya ia jaga, Alejandro terjebak antara cinta... dan balas dendam yang belum usai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rii Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
eps 27
Waktu sudah menunjukan pukul 3 dini hari dan Udaranya semakin dingin menusuk kulit.
Alejandro menghentikan pencarian nya, kembali ke villa.
Pria itu melepaskan helm berwarna hitam nya lalu menemukan bahwa lampu kamar elena tengah menyala di lantai dua.
"Elena, dia kembali?" seru Alejandro, tergesa-gesa melangkah masuk untuk memastikan. Namun saat ia baru saja membuka pintu kamar itu, sebilah pisau belati tiba-tiba melayang dan nyaris mengenai wajahnya. Beruntung, Alejandro memiliki refleks yang tajam. benda mematikan itu melesat dan menancap tepat di daun pintu.
Sedetik kemudian, seorang pria bertopeng muncul dan langsung menyerang Alejandro. Duel sengit tak terhindarkan. Keduanya terlibat dalam pertarungan jarak dekat yang mematikan.
Kali ini, lawan yang dihadapi Alejandro cukup tangguh. Ia bahkan sempat terkena pukulan sebanyak dua kali.
"SIAPA KAU?!" pekik Alejandro. Dengan gerakan cepat, ia menarik jaket pria itu dan memelintir tangannya ke belakang. Namun si pria bertopeng masih berusaha melawan, berupaya menendang kaki Alejandro untuk meloloskan diri.
Alejandro tetap tak gentar. Ia mencoba membuka topeng pria itu. Namun...
"Akh!"
Pria bertopeng itu mengeluarkan pisau lipat kecil dari saku celananya dan menusukkannya ke bahu Alejandro.
Seketika, pria itu menendang tubuh Alejandro yang sedang kesakitan saat berusaha mencabut pisau dari bahunya. Memanfaatkan celah tersebut, si penyerang kabur dengan melompat dari balkon kamar.
Alejandro yang diliputi adrenalin segera bangkit dan mengejar, ikut melompat dari lantai dua. Ia berlari, meski darah segar mengalir dari luka di bahunya.
Namun sialnya, jejak pria bertopeng itu menghilang di tengah gelap malam.
Raut wajah Alejandro berubah masam, kecewa sekaligus kesal. Lagi-lagi, ia gagal menangkap pelakunya.
Ia memutar tubuh, menatap ke arah vila. Pandangannya tertuju lurus ke kamar Elena. Tatapannya tajam, penuh makna.
"Jika orang itu kembali, itu berarti mereka belum menemukan Elena," desisnya pelan, sembari menahan perih yang terus menyengat dari bahunya.
Pria tinggi itu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa sebentar, lalu duduk, membuka jaketnya perlahan.
Suara napas Alejandro berat, bergema samar di antara dinding ruangan yang berlumur bayangan malam. Hening. Tangannya gemetar, memegang erat bahu kirinya yang berlumuran darah. Pisau lipat milik lawannya tadi berhasil menancap dalam, tepat di bawah tulang selangka.
Darah merembes deras, membasahi kaus hitam yang kini koyak. Alejandro bersandar di sofa matanya menyipit menahan nyeri. Tapi tak ada waktu untuk mengaduh.
Dengan satu gerakan kasar, ia menyobek lebih lebar bagian baju yang menutupi luka, memperlihatkan irisan dalam sepanjang lima sentimeter.
Tangannya bergerak cepat ke tas kecil di atas lemari. Dari dalamnya, ia mengeluarkan sesuatu yaitu skin stapler logam (author pernah lihat di Drakor taxi driver). Bentuknya kecil, ringkas, tapi tajam. Matanya menatap benda itu sejenak, seolah menimbang.
Detik berikutnya, ia menggigit potongan kain untuk meredam suara teriakan...lalu menyatukan sisi-sisi luka yang menganga dengan jari berlumur darah, dan...
CLICK!
Satu staples menancap. Kulitnya terjepit logam dingin yang menusuk.
CLICK!
Teriakan teredam menggema di antara giginya yang mengatup keras. Peluh bercucuran, tapi Alejandro tetap melanjutkan.
CLICK! CLICK! CLICK!
Setiap jepitan membuat tubuhnya bergetar. Matanya nyaris memerah menahan perih. Tapi dia tidak berhenti. Karena dia bukan pria biasa. Karena misi ini belum selesai.
Beberapa detik kemudian, luka itu sudah terjepit rapi dengan lima staples logam berbaris di atas kulit. Darah masih merembes sedikit, tapi alirannya melambat. Tangannya gemetar saat menghela napas berat.
Setelah selesai, pria itu kembali menyandarkan punggungnya di sofa berwarna marun itu. Pikiran nya jauh melayang memikirkan bagaimana keadaan elena saat ini, tepatnya bagaimana jika ada yang menemukan keberadaan gadis itu dan mencelakai nya.
Di sudut kamar, elena tengah fokus menatap layar laptop nya mencari lowongan pekerjaan.
Ia mendesah pelan, semua rata-rata harus memiliki sertifikat pengalaman bekerja sedangkan ini adalah pertama kali untuk nya.
Gadis cantik itu menutup laptop nya dan menyimpan benda hitam itu kedalam nakas di sebelah ranjang single nya. Netra hazel nya beralih pada ponsel nya yang seharian belum dia nyalakan.
Tatapan gadis itu dingin dan getir saat melihat puluhan notifikasi masuk dan itu semua berasal dari alejandro.
"Elena, kau dimana?"
"El, di luar berbahaya!"
"Elena, aku mencari mu, katakan kau dimana, aku akan menjemputmu!"
"Ku mohon balas pesan ini"
"Aku akan menjelaskan semuanya padamu, ku mohon kembalilah!"
"Elena, kau salah paham, tentang berkas itu...dan namamu didalamnya"
"El, kau baik-baik saja kan? Aku sungguh mencemaskan mu, kumohon kembalilah ke villa, El"
Dan banyak lagi, 90 pesan yang belum dibaca dan juga 77 kali panggilan tak terjawab.
"Maafkan aku, Ale. Untuk saat ini aku belum bisa mempercayai mu lagi, aku butuh waktu untuk bangkit agar tidak terus bergantung pada mu," ujarnya pelan.
"Aku harus berani keluar dari zona nyaman dan melawan semua ketakutanku, aku ingin menjadi versi diriku yang baru.
Elena beranjak dari duduknya dan berjalan mendekati meja rias, tangannya terulur menarik ganggang laci nya dan mengambil sebuah gunting.
Ia melepaskan ikatan rambutnya dan menyisir nya dengan perlahan. Tanpa ragu ia mengangkat gunting tersebut dan memotong rambut panjang nya. Helaian Demi helaian melayang jatuh ke lantai keramik yang dingin.
Keesokan harinya
Hujan belum turun, tapi langit kota sudah mendung padahal masih pagi.
Sebuah mobil klasik berwarna hitam legam berhenti perlahan di tepi jalan, tepat di depan sebuah gedung besar, kini jadi sasana tinju dengan nama "THE REVENANT BOXING HOUSE". Asap rokok tipis mengepul dari dalam, seolah mobil itu juga bernapas bersama pria yang duduk di belakang kemudi.
Pintu terbuka dengan bunyi logam berat.
Dan dari sana ia turun.
Damian.
Sepasang sepatu kulit hitam menginjakkan diri di trotoar basah. Celananya jatuh rapi di atas mata kaki, dilapisi rompi bergaris tipis yang membalut tubuhnya seperti besi. Kemeja putih bersih, terlalu kontras untuk pria sekelam dirinya, terkancing sempurna sampai ke leher, dihiasi dasi hijau gelap yang diikat ketat seperti jerat.
Di bahunya, tersampir shoulder holster cokelat tua, kosong tanpa pistol tapi semua itu adalah favorit nya.
Ia menarik napas, perlahan. Rokok di bibirnya menyala redup, lalu asap membentuk pusaran saat ia menegakkan tubuh, menatap ke depan. Hingga sang sopir menyerahkan seekor kucing putih yang sudah bersih itu padanya.
Baru saja pria itu hendak meraih tali kucingnya, si kucing putih tiba-tiba melompat dan berlari kencang ke arah jalanan.
Damian spontan membuang puntung rokoknya ke tanah dan menginjaknya, lalu segera berlari mengikuti arah kepergian si kucing, hewan jalanan yang ia pungut di depan minimarket beberapa malam yang lalu. Ada sesuatu yang aneh hari ini. Kucing itu bersikap tidak biasa.
Langkah Damian terhenti perlahan saat melihat hewan peliharaannya berhenti di dekat seorang wanita yang berdiri membelakanginya. Si kucing menghampiri wanita itu tanpa ragu, seperti sudah mengenalnya.
Wanita itu berjongkok, lalu mengelus kepala kucing tersebut dengan lembut. Damian memperhatikan dari kejauhan, merasa janggal sekaligus penasaran. Pakaian wanita itu terlalu rapi untuk sekadar lewat di depan sasana tinju. Dengan langkah mantap, Damian mendekat, memastikan apakah benar wanita itu adalah tamu yang ditunggu-tunggunya.
Ia berdehem singkat. Suara baritonnya terdengar cukup untuk menarik perhatian.
Wanita itu bangkit, lalu menoleh ke arahnya.
Deg!
Jantung Damian berdetak lebih cepat. Pandangannya tertumbuk pada wajah yang selama ini hanya ada dalam ingatannya. Dia ada di sini. Di hadapanku. Batinnya seolah berteriak, namun tubuhnya tetap terpaku diam.
Wanita itu mengangkat kucing putih ke dalam gendongannya dan berkata sopan, "Maaf, apakah ini kucing Anda? Dia manis sekali,"
Deg!
Suara lembut itu menyentuh telinga Damian seperti denting piano di pagi hari. Dadanya bergemuruh. Tidak hanya karena si wanita begitu cantik, tapi juga karena suara itu halus dan tenang, persis seperti yang dibayangkannya.
"Iya, dia peliharaan saya," jawab Damian kaku. Ada nada malu yang samar terdengar dari ucapannya. Namun cepat-cepat ia menguasai diri, menegakkan bahu dan mengubah ekspresi wajah menjadi datar seperti biasa.
Wanita itu, menyerahkan kucing tersebut kepadanya. Damian menerima dan memanggil sopirnya untuk membawa si kucing ke dalam sasana.
Pandangan matanya kembali tertuju pada Elena, tepat ke arah map cokelat yang mencuat dari tas putih miliknya.
"Kau sedang mencari pekerjaan?" tanyanya, penuh pertimbangan.
Elena mengangguk pelan. "Apakah Anda pemilik tempat ini? Saya melihat ada lowongan pekerjaan di sana." Ia menunjuk ke arah spanduk besar yang tergantung di pagar luar.
Damian mengangguk pelan. "Mari masuk terlebih dahulu. Bukankah seharusnya saya melihat CV-mu sebelum memutuskan sesuatu?"
Elena tersenyum, sedikit lega. Mungkin ini awal dari sebuah kesempatan. Ia mengikuti Damian dari belakang, menyesuaikan langkahnya dengan pria yang berjalan tenang namun penuh wibawa itu.
Dalam hati, Elena sempat menahan tawa. Pria itu tampan, memang... Tapi gaya pakaiannya terlalu rapi, dan model rambutnya cukup unik untuk ukuran pemilik sasana tinju.
Saat memasuki bangunan utama, mata Elena membelalak pelan. Sasana itu luas, dilengkapi dengan ring tinju, samsak, dan berbagai peralatan olahraga lainnya. Kesan pertama yang ia rasakan adalah ini bukan tempat untuk seorang pelukis. Dan mungkin, ini hanya akan berakhir sebagai penolakan.
Damian mempersilakan Elena duduk. Ia membuka map cokelat itu dengan tenang dan hati-hati, membaca nama yang tertulis di halaman depan. Bibirnya melengkung tipis tanpa sadar.
"Nama yang cantik," gumamnya, hampir tak terdengar.
Ia membaca bagian keahlian dan mendapati Elena memiliki kemampuan melukis.
"Kau bisa melukis?" tanyanya.
"Ya, saya bisa. Itu adalah hobi saya sejak kecil," jawab Elena tanpa ragu.
Damian mengangguk. "Baiklah. Kau diterima bekerja di sini."
Elena mengerjap, tampak tak percaya. "Hah? Saya diterima? Maaf... maksud saya, saya akan bekerja sebagai apa, ya, di tempat ini?"
Damian menatapnya lekat. "Tentu saja sebagai pelukis. Berapa lama waktu yang kau butuhkan untuk menyelesaikan satu kanvas?"
Damian membutuh informasi ini agar dia bisa bertemu dengan wanita itu setiap hari.
"Tergantung. Bisa satu atau dua jam," jawab Elena, masih belum yakin ke arah mana pembicaraan ini akan berujung.
"Saya ingin kau membuat tiga ratus lukisan. Tak perlu terburu-buru. Mungkin kita perlu membuat kontrak untuk itu."
Elena menatapnya tak mengerti. "Untuk apa saya melukis di sasana tinju ini sebanyak itu?"
Damian tersenyum tipis, seperti seseorang yang sedang menyusun rencana besar dalam diam. "Aku ingin membuat tempat ini tampak lebih hidup dengan sentuhan seni. Kau bisa menggambar apa pun yang berhubungan dengan dunia tinju, seperti emosi, semangat, kekuatan. Sasana ini butuh suasana baru."
Elena terdiam. Sebuah bayangan melintas di kepalanya. Alejandro. Sosok yang dulu juga hidup dalam dunia tinju. Pria yang membuatnya jatuh cinta, lalu patah.
"Elena," panggil Damian, menyadarkan lamunannya.
Ia mengeluarkan secarik cek dari saku dalam jasnya dan menyerahkannya ke meja.
"Ini bayaran awal untukmu," katanya mantap.
Elena terbelalak ketika melihat angka lima puluh juta rupiah tertera di sana. Ia segera mendorong kertas itu kembali, menolaknya dengan sopan.
"Maaf, saya tidak bisa menerima ini. Mungkin... akan lebih baik jika Anda melihat hasil lukisan saya lebih dulu. Jika sesuai, baru kita bicarakan soal bayaran."
Ia berdiri, menunduk sedikit sebagai tanda pamit.
Damian ikut berdiri dan menyodorkan tangan. "Nama saya Damian. Panggil saja begitu."
Elena menyambut jabatan tangan itu dan tersenyum.
Kemudian ia melangkah pergi, meninggalkan ruangan dengan penuh tanda tanya namun juga secercah harapan.
Damian masih berdiri di tempat. Ia menatap telapak tangannya, lalu mencium punggung tangan itu dengan pelan dan meletakkannya di dada.
"Tangan mungil itu... halus sekali. Dan... wangi," bisiknya.
"Dia bahkan menolak cek ini, wanita yang menarik," ucapnya lagi.
Matanya lalu menatap bekas cakaran di pergelangan tangannya, sedikit tersenyum geli.
"Tak kusangka, kucing liar itu benar-benar membawanya datang padaku... meskipun tanganku harus jadi korbannya."