Paijo, pria kampung yang hidupnya berubah setelah mengadu nasib ke Jakarta.
Senjata andalannya adalah Alvarez.
***
Sedikit bocoran, Paijo hidupnya mesakke kek pemeran utama di sinetron jam lima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CACING ALASKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27. Pulang Pada Kebenaran
Langit Jakarta sore itu kelabu. Awan menggantung berat seperti dada Paijo yang sudah terlalu lama menanggung beban hidup yang tak tahu kapan berakhir. Ia baru saja keluar dari studio setelah menyelesaikan sesi wawancara untuk film terbarunya, yang disebut-sebut akan menjadi masterpiece dan menobatkannya sebagai aktor paling berpengaruh tahun ini. Tapi semua tepuk tangan dan sorotan lampu itu tidak sanggup menambal kekosongan yang sejak lama bersarang di hatinya.
Ia duduk sendirian di dalam mobil yang dikirimkan rumah produksi, tak berniat pulang ke apartemen atau hotel mana pun yang menantinya dengan klien beraroma parfum mahal dan kulit halus. Pikirannya melayang pada Mbok Sarni yang kini sudah tiada. Wanita renta yang merawatnya sejak bayi itu, pergi dengan membawa rahasia yang tak pernah sempat terucap utuh.
Namun hari itu berbeda. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya dari nomor tak dikenal:
“Mas Paijo. Saya Jatmiko. Bila Anda bersedia, temui saya sore ini di Taman Ayodya. Saya akan menunggu di bangku paling ujung dekat danau.”
Awalnya Paijo mengira ini hanya gurauan iseng atau bahkan upaya jebakan dari Claudia, wanita manipulatif yang belakangan terlalu sering menempatkan dirinya dalam permainan tak kasat mata. Tapi ada sesuatu dalam nama itu—Jatmiko—yang terasa akrab. Entah dari mana, entah sejak kapan, namun seperti potongan puzzle yang selama ini tak pernah pas, tiba-tiba terasa seperti mengarah ke tempat yang selama ini ia cari: kebenaran.
Dan di sanalah ia kini duduk. Di taman yang mulai sepi, angin sore menggerakkan pepohonan dan menciptakan simfoni alam yang murung. Di bangku ujung itu, seorang pria paruh baya dengan rambut memutih, mengenakan jas abu-abu sederhana, menatap ke arah danau.
“Mas Paijo?” tanya pria itu tanpa menoleh, saat mendengar langkah kaki mendekat.
Paijo mengangguk, walau tahu pria itu tak bisa melihat anggukan tersebut. “Saya.”
Pak Jatmiko menoleh, matanya jernih dan dalam, seperti danau yang merekam ribuan kenangan. Ia tersenyum kecil, lalu memberi isyarat agar Paijo duduk di sebelahnya.
"Saya dapat nomer Anda dari Ardian," ujar Pak Jatmiko. "Maaf kalau terlalu mendadak menemui Anda seperti ini."
“Apa benar... Sampeyan kenal ibu saya?” tanya Paijo langsung, suaranya berat seperti baru saja menggali makam kenangan.
Pak Jatmiko menatap lurus ke depan. “Saya tidak hanya mengenalnya, Mas. Saya pernah bersumpah padanya, untuk menjaga dan melindungi Anda… walau akhirnya saya gagal.”
“Gagal?” Paijo tertawa pendek. “Saya dibesarkan di kampung, jadi gigolo di kota, dan sekarang hidup dalam kebohongan yang bahkan saya sendiri bingung mana yang benar.”
“Dan Anda tetap hidup,” kata Pak Jarmiko, pelan. “Itu yang paling penting dari semua janji kami dulu. Menjaga agar Anda tetap hidup.”
Hening.
Paijo mencengkeram pahanya, menahan desakan emosi yang mulai menyeruak.
“Ibu kandung Anda... adalah wanita paling kuat yang pernah saya kenal. Ia hidup di tengah perang tak kasat mata, pertempuran warisan dan perebutan kekuasaan. Ia tahu suaminya—ayah Anda—sedang dijerat oleh seorang wanita yang ingin menghabisi keturunannya demi anak kandungnya sendiri menjadi pewaris utama.”
Paijo menoleh cepat. “Apa?”
Pak Jatmiko mengangguk. “Benar, Mas. Anda adalah anak sah dari seorang pengusaha besar. Tapi sebelum Anda lahir, ayah Anda sudah menjalin hubungan dengan wanita lain. Wanita itu punya pengaruh besar, kekayaan sendiri, dan obsesi untuk menguasai semua yang dimiliki ayah Anda.”
Paijo terdiam. Angin seperti berhenti berhembus.
“Ibu Anda tahu, jika Anda tetap tinggal dalam lingkaran keluarga itu, maka nyawa Anda terancam. Maka dalam pelarian dan pengorbanan besar, ia memilih menghilang dari kehidupan keluarga besar, lalu menitipkan Anda pada orang yang sangat ia percaya—Mbok Sarni.”
“Lalu dia…?”
“Dia meninggal tidak lama setelah itu. Kelelahan. Sakit. Dan hancur oleh perasaan kehilangan. Tapi sejujurnya, tak ada yang tahu alasan kenapa dia meninggal."
Paijo menatap tanah. Dedaunan kering beterbangan seperti kenangan yang dilempar angin ke segala arah. Dalam hatinya ada kekosongan baru yang menganga. Ia ingin menangis, ingin marah, tapi terlalu banyak luka dalam hidupnya hingga ia bahkan tak tahu luka yang mana yang harus didahulukan.
“Kenapa baru sekarang, Pak?” tanyanya.
Pak Jatmiko menarik napas dalam-dalam. “Saya mencarimu bertahun-tahun. Tapi saat saya hampir menemukannya, Anda sudah tenggelam dalam kehidupan yang... terlalu jauh dari harapan ibu Anda. Dunia malam. Nama panggung. Skandal.”
Paijo tertawa getir. “Saya juga nggak nyangka, Pak. Anak dari pengusaha besar, tapi jadi laki-laki sewaan.”
"Tapi bisa dibilang karena semua itu kami akhirnya menemukan keberadaanmu," jawab Pak Jatmiko dengan tatapan penuh keyakinan.
Entah harus merasa senang atau sebaliknya saat mendengar pernyataan pria yang rambutnya sudah ditumbuhi rambut berwarna putih itu.
“Mas Paijo…” Pak Jatmiko memandangnya dalam-dalam. “Saya tidak datang untuk menghakimi. Saya hanya ingin Anda tahu bahwa hidup Anda tidak berawal dari kehinaan. Anda lahir dari cinta. Cinta yang besar. Yang berani berkorban.”
Dan untuk pertama kalinya sejak lama, air mata Paijo menetes.
Ia merasa seperti anak kecil yang tersesat di lorong waktu, akhirnya menemukan pintu yang selama ini tertutup rapat. Tapi saat terbuka, ia hanya melihat masa lalu yang tak bisa diulang dan masa depan yang belum tentu bisa diperbaiki.
“Jadi... siapa nama ayah saya sebenarnya?” tanya Paijo.
Pak Jatmiko menggeleng. “Belum saatnya Anda tahu. Yang penting sekarang, Anda tahu siapa diri Anda. Dan Anda bukan ‘Alvarez’.”
Paijo tersenyum kecut. “Nama itu pun bukan pilihan saya, Pak. Dunia yang memilihkannya.”
Pak Jatmiko mengambil sebuah amplop coklat berisi sebuah kertas tebal. Diperlihatkan isi kertas tersebut. Paijo melihatnya dengan seksama, ingin tahu.
Itu merupakan sebuah akte kelahiran dengan satu nama tercatat di dalamnya :
Jovano Gregorius Wicaksana.
Paijo tersentak saat membacanya. Nama belakang yang menjadi fokusnya, membuatnya semakin tidak mengerti dengan takdir ini.
Netranya langsung teralih pada Pak Jatmiko, tersirat meminta keterangan darinya.
Namun Pak Jatmiko menutup akte kelahiran tersebut dan segera berdiri. “Tidak sekarang. Jika suatu hari Anda sudah siap meninggalkan semua ini, saya akan membawa Anda pada kenyataan yang lebih besar dari semua ini.”
Ia menyelipkan sebuah kartu nama ke tangan Paijo. “Hubungi saya ketika hati Anda sudah tenang.”
Lalu pria itu pergi, meninggalkan Paijo sendirian di bangku taman, dengan kartu nama dan luka baru di dadanya.
Langit mulai gerimis. Dan di antara hujan itu, Paijo merasa ada sesuatu yang luruh dari dirinya. Beban, atau mungkin—dosa. Ia belum tahu. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa ingin pulang.
Pulang pada kebenaran. Pulang pada dirinya sendiri.
...🪱CACING ALASKA MODE🪱...
bacanya Sem 😭😭😭😭
hanya nebak saja😁😁😁
next thor jan lama² cape tauk nunggunya🚶♀️
~Ali bin Abi Thalib~
Nah denger tuh Clau jdi manusia tuh jgn egoisss