Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15 : Nasib Yang Ditentukan Oleh Pria Itu
Yvaine segera menoleh pada Lyanna dan Veyra. Alisnya mengerut, penuh tanya yang tak terucap, namun tatapan tajam Veyra hanya membuatnya semakin bingung. Ia akhirnya mengalihkan pandangan pada Lyanna, suaranya bergetar menahan amarah dan cemas.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kalian...” Ucapannya terhenti ketika matanya sekilas melirik Kaelor, bangsawan yang wajahnya memerah entah karena marah, malu, atau tertekan.
Lyanna menghela napas panjang. Tatapannya jatuh pada Veyra seolah meminta izin. “Kau yang ingin menjelaskan... atau biar aku saja?” tanyanya lirih.
Namun melihat raut wajah Veyra yang siap mengumpat siapa pun di ruangan itu, Lyanna menggeleng pelan. “Aku saja yang bicara,” gumamnya, seolah menenangkan keadaan.
Dengan langkah mantap, Lyanna maju ke tengah aula. Semua mata kini tertuju padanya, menajam, menuding, menyudutkan, namun tak ada sedikit pun gentar yang tergambar dari sorot matanya. Ia berdiri tegak, membiarkan hening menelan ruangan sesaat, sebelum akhirnya suaranya terdengar tegas.
“Kami menolak laporan penangkapan penari asing terkait permasalahan ini,” katanya lantang.
Kerut bingung langsung muncul di wajah para menteri. Beberapa di antara mereka saling bertukar pandang, lalu satu di antaranya bersuara, “Atas dasar apa? Penari itu jelas bersalah karena membawa simbol penghinaan!”
Menteri lain menimpali dengan nada mencibir, “Jika penari yang bersalah, mengapa kalian malah menyeret seorang bangsawan yang memiliki ikatan penting dengan kerajaan? Apa otak kalian sudah hilang?”
Veyra yang sejak tadi menahan amarah akhirnya tak mampu lagi mengendalikannya. Ia menggeram kasar, lalu mengumpat, “Sialan kalian!”
Suasana aula sontak hening. Semua mata membelalak kaget, seorang putri mengucapkan kata-kata sekeji itu. Bahkan Marius, sang raja sekaligus ayah mereka, tampak tertegun mendengarnya.
Namun Veyra tak peduli. Tatapannya menyapu tajam seluruh ruangan, suaranya pecah bergema di langit-langit aula. “Apa kalian tuli?! Tidak bisakah mendengar penjelasan kami terlebih dahulu sebelum menghakimi?!”
Amarahnya terus memuncak. Nafasnya memburu, dadanya naik turun, seolah siap menantang siapa pun yang berani menyangkal.
“Kalau memang kalian tak sudi mendengar alasan kami, baiklah!” teriaknya. “Tangkap saja penari asing itu! Penjarakan dia kalau itu yang kalian inginkan!”
Lyanna tersentak, buru-buru menarik tangan adiknya, mencoba menghentikannya. “Veyra, cukup…”
Namun Veyra menepis dengan kasar. Tatapannya semakin membara, bibirnya mencecar kata-kata penuh bara. “Dan aku akan membawa penari itu kemari. Tapi ingat satu hal...!”
Ia mengangkat tangan, menunjuk Kaelor dengan penuh kebencian. “Bajingan ini…” suaranya pecah, “…harus menanggung akibat perbuatannya. Nasibnya yang akan ditentukan oleh pria itu setelah menjadikan penari asing itu sebagai mainan di wilayahnya!”
Aula mendadak riuh. Para menteri terkejut, sebagian pengawal terdiam tak tahu harus bertindak, sementara tatapan Kaelor membara antara marah dan takut. Yvaine sendiri hanya bisa membeku, menatap kedua adiknya dengan hati bergetar, tak tahu apa yang akan terjadi setelah pengakuan itu meledak di hadapan semua orang.
Kaelor akhirnya membuka suara, nadanya meninggi, berusaha menutupi kegelisahan yang tampak di wajahnya.
“Aku tidak pernah menjadikan penari itu mainanku! Itu tuduhan keji!” serunya, matanya berkilat penuh amarah sekaligus panik.
Veyra langsung menggeram, langkahnya menghentak maju seolah hendak menghantam wajah bangsawan itu sekali lagi. Amarahnya meledak tanpa kendali, namun Yvaine dan Lyanna sigap menahan tangannya sebelum benar-benar melayang ke wajah Kaelor.
“Lepaskan aku!” Veyra membentak keras, tubuhnya bergetar menahan gejolak yang hampir meluap. Ia menatap Kaelor dengan mata membara, suaranya penuh bisa.
“Kalau itu hanya tuduhan... maka katakan padaku, Tuan Kaelor… tindakan apa yang sudah kau lakukan hingga pria itu datang sendiri untuk membunuhmu, sebelum kami menangkapmu dengan mata kepala kami sendiri?!”
Ruangan seketika kembali hening. Semua mata beralih pada Kaelor, sebagian menteri saling berbisik, sementara wajah Kaelor memucat, seolah kata-kata Veyra baru saja menyingkap sesuatu yang berusaha ia sembunyikan rapat-rapat.