Spin-off dari Istri Amnesia Tuan G
Dalam beberapa jam, Axello Alessandro, seorang aktor terkenal yang diidamkan jutaan wanita jatuh ke titik terendahnya.
Dalam beberapa jam, Cassandra Angela, hater garis keras Axel meninggal setelah menyatakan akan menggiring aktor itu sampai pengadilan.
Dua kasus berbeda, namun terikat dengan erat. Axel dituduh membunuh dua wanita dalam sehari, hingga rumah tempatnya bernaung tak bisa dipulangi lagi.
Dalam keadaan terpaksa, pria itu pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tapi rumah itu aneh. Karena tepat pukul 21.45, waktu seakan berubah. Dan gadis itu muncul dengan keadaan sehat tanpa berkekurangan.
Awalnya mereka saling berprasangka. Namun setelah mengetahui masa lalu dan masa kini mereka melebur, keduanya mulai berkerjasama.
Cassie di masa lalu, dan Axel di masa kini. Mencoba menggali dan mencegah petaka yang terjadi.
Mampu kah mereka mengubah takdir? Apakah kali ini Cassie akan selamat? Atau Axel akan bebas dari tuduhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 ~ Hilang
Malam telah tiba. Anggota Divex yang berjaga di luar gedung apartemen ternama itu tak menemukan sesuatu yang mencurigakan. Saat Ronan datang, Luca segera menghampirinya.
"Surat perintah sudah keluar, Kapt."
Ronan mengangguk, tidak mengeluarkan suara. Namun gerakan tangannya meminta para anggotanya segera melakukan pergerakan.
Malam itu sudah lewat pukul sembilan, tapi lampu di pos keamanan lantai dasar masih menyala. Ronan menyodorkan surat perintah pada satpam yang berjaga. Pria itu segera memberi akses, meski agak ragu diawal. Terutama saat Ronan menyebut tentang kasus pembunuhan.
Hingga tak lama kemudian, seorang teknisi malam datang dengan kartu akses cadangan. Pintu apartemen Axel dibuka secara resmi, dengan dua saksi dari manajemen gedung.
Ketika masuk ke dalam apartemen Axel, suasana begitu hening, lampu lorong redup. Tim Divex saling memandang sejenak sebelum mulai berpencar. Indira membuka laci, lemari, bahkan laci rahasia di meja kerja. Riven memindai sudut-sudut gelap. Luca dan Ronan masuk ke kamar utama dan dua kamar lain. Dan Elora meneliti setiap benda yang tampak mencurigakan.
Satu jam lebih kemudian. Mereka kembali berkumpul di ruang tengah. Masing-masing menggeleng dengan wajah lesu. Mereka berpikir kalau mendapatkan pisau taktis itu kali ini, walau pun tidak bekas pakai. Setidaknya nama Axel masih bisa dibersihkan.
Luca menghela napas berat sembari mengacak rambutnya sendiri. “Dalam kotak koleksi enggak ada. Laci kamar tidur juga hanya ada benda sehari-hari, tidak ditemukan barang bukti."
“Barang lain ada semua. Jam mahalnya, piala, berbagai penghargaan, buku koleksi. Pisau? Nol.” Indira menimpali dengan napas yang sama beratnya. Begitu juga Riven dan Elora yang tak menemukan apa pun.
Apartemen Axel begitu rapi, tidak terlihat ada yang membongkar sebelum mereka. Namun pisau yang dikatakan Axel tidak pernah terpakai itu menghilang. Atau mungkin sengaja dihilangkan?
Ronan menatap kosong ke arah jendela, di luar ternyata sedang hujan deras. Cahaya kilat menyambar melalui jendela.
"Selain di sini, dia tidak punya tempat tinggal lain, kan?"
Luca menggeleng, ia sudah memeriksa Axel. Pria itu bahkan tidak tinggal bersama sang kakak sejak menjadi aktor.
Elora mendekat, mengerutkan keningnya sebelum berkata, "Kalau pisaunya enggak ada, kemungkinan dia buang?"
“Atau orang lain sudah ambil.” Riven yang sejak tadi diam membuka suara. Membuat para seniornya langsung mengalihkan pandangan padanya.
Hening. Bahkan detak jam dinding terdengar begitu jelas. Ronan meremas jari-jarinya pelan, sedikit kesal.
“Pisau itu kunci. Residu logamnya identik dengan luka nyonya Ferlinda. Kalau enggak ada, kita enggak punya pembanding. Argumen kita akan rapuh.”
“Mau saya cari di rekaman CCTV, Kapt? Siapa tahu ada yang masuk ke apartemen saat Axel enggak di sini." Luca sudah ancang-ancang siap bergerak.
"Cari! Segera! Kalau dia buang, cari di CCTV sampah gedung. Kalau dicuri orang, cari wajahnya. Jangan pulang sebelum dapat jejaknya!" Begitu mendapat persetujuan, Luca langsung melangkah lebar menemui petugas keamanan.
.
.
.
Sementara dua orang yang terlibat dengan kasus itu. Kini tengah berdiri berdampingan di ruang depan. Keduanya fokus ke atas meja, menatap apa yang berada di atas sana.
"Kau... memasak?" tanya Axel yang lebih dulu membuka suara.
Cassie menggigit bibir bawahnya, sedikit gugup. Entah kenapa ujung-ujungnya ia tetap menyiapkan sup buah untuk pria ini.
"Iya, memang kenapa? Aku masak untuk makan sendiri," balas gadis itu diketus-ketuskan.
"Sebanyak ini?" tanya Axel dengan nada menggoda. Pria itu tertawa kecil, melihat wajah yang biasanya judes itu malam ini sedikit berbeda.
"A-aku memang makannya banyak. Segini aja enggak cukup buat dicicip cacing-cacing perutku."
"Cacing?" Axel menaikkan sebelah alisnya. Akhirnya tidak bisa lagi menahan tawa. Cassie mode seperti ini cukup lucu menurutnya.
"Ngapain ketawa? Emang ada yang lucu. Lagi pula kamu juga masak banyak begitu. Malah...."
"Aku memang masak untuk kau juga." Axel memotong perkataan Cassie hingga gadis itu terdiam.
Ia menatap Axel dengan ekspresi sedikit kaget, sementara pria itu justru menampilkan senyuman tipis.
.
.
.