NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:9.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27

INTERIOR – RUANG MONITORING – MALAM

Stefanus duduk di depan layar monitor yang penuh dengan data digital. Di sampingnya, asistennya menelusuri detail demi detail: alur transaksi mencurigakan, percakapan via email, hingga jejak di media sosial. Suasana tegang, hanya terdengar dentingan keyboard dan napas tertahan.

"Pak, ini… bukti transfer ke rekening Maya. Perusahaan pengirimnya tidak terdaftar secara legal. Kita curigai ini milik CEO maskapai."

Stefanus menatap layar lekat-lekat, lalu mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras.

"Ini bukan sekadar menjatuhkan Risa… Ini perang reputasi. Permainan kekuasaan yang kotor."

Dia mengambil ponselnya, suaranya dingin namun tegas.

"Siapkan surat perintah penggeledahan. Rumah Maya. Malam ini juga."

EKSTERIOR – RUMAH MAYA – MALAM

Mobil polisi berhenti. Petugas berpakaian resmi membawa surat penggeledahan dan masuk ke dalam rumah. Maya terkejut, berusaha menghindar tapi tak bisa.

Di kamarnya, mereka menemukan sebuah flashdisk, tumpukan dokumen, dan print-out email antara Maya dan pihak maskapai. Bukti mulai berbicara.

"Ini bukan kebetulan. Ini jejak konspirasi."

"Kamu bukan cuma menyakiti korban. Kamu mempermainkan hukum." STEFANUS

(menatap Maya tajam)

Maya tertunduk. Stefanus menggenggam dokumen itu erat, ia tahu ini adalah peluru penting untuk membela Risa di persidangan.

---

EKSTERIOR – BALKON RUMAH – SUBUH

Risa berdiri di balkon. Pandangannya kosong menatap langit gelap yang mulai merekah. Di tangannya, selembar surat dengan tulisan yang belum selesai. Tangannya gemetar. Air mata jatuh diam-diam.

Pintu balkon terbuka pelan. Aditya berdiri di sana, matanya melebar.

"Risa! Kamu… jangan…"

Ia segera menghampiri, merebut surat dari tangan istrinya, lalu memeluknya erat.

"Aku lelah, Mas… Mereka terus menyerang. Aku cuma ingin semuanya berhenti…"

"Jangan pernah bilang seperti itu lagi. Kamu tidak sendiri. Kamu cahaya hidupku, Ris. Aku bisa kehilangan semuanya, tapi tidak kamu."

"Tapi dunia seakan melawan kita, Mas… semuanya terasa gelap."

"Kalau dunia melawan mu, maka aku akan jadi benteng pertamamu. Kamu nggak boleh menyerah."

Mereka tenggelam dalam pelukan, dalam diam yang penuh luka dan cinta.

---

INTERIOR – KAMAR – PAGI

Cahaya matahari menembus tirai tipis. Risa masih bersandar di pelukan Aditya. Wajahnya sembab, tapi tatapannya mulai menguat.

"Aku tahu kamu hancur… Tapi kamu tetap ada. Dan aku di sini."

"Terima kasih karena nggak pernah pergi..."

"Kamu sudah selamatkan aku… sekarang giliran aku jagain kamu."

"Aku akan kuat. Kita lawan mereka bersama. Aku nggak akan lari lagi."

Mereka berpelukan. Dunia boleh berantakan, tapi di pelukan itu ada satu hal yang utuh: harapan.

---

INTERIOR – RUANG TAMU – SIANG

Stefanus masuk. Matanya langsung tertuju pada Risa, yang duduk di sofa dengan perban di pergelangan tangan. Wajahnya pucat, tapi matanya menyala tenang. Ada luka, tapi juga keberanian.

"Apa yang terjadi, Ris? Siapa yang…" tanya Stefanus

"Dia… mencoba menyakiti dirinya sendiri, Stef."

Stefanus terdiam. Ia lalu duduk di samping Risa, menyentuh bahunya lembut.

"Kamu terlalu kuat selama ini, sampai orang lupa kamu juga bisa rapuh. Tapi kamu nggak sendiri, Ris. Kami semua di sini."

"Terima kasih, Stef…"

Ketiganya diam, tapi di antara keheningan itu, ada kekuatan baru yang tumbuh. Mereka tahu: ini belum akhir. Ini awal dari perlawanan yang sesungguhnya.

---

INTERIOR – RUANG INVESTIGASI KHUSUS – MALAM

Dinding penuh peta koneksi, foto-foto, dan dokumen dengan benang merah saling menghubungkan. Stefanus berdiri di depan papan, menunjuk ke foto Leonard Atmaja—CEO maskapai.

"Kita nggak bisa main aman lagi. Ini waktunya bongkar semuanya."

Ia menunjuk satu dokumen keuangan.

"Aliran dana ke Maya. Saksi palsu. Bukti rekayasa. Termasuk… ini—"

Dia menekan tombol. Suara dari rekaman black box terdengar samar

"Mesin dua mengalami getaran tinggi. Saya rekomendasikan grounding."

"Dia tahu pesawat rusak, tapi tetap dipaksa terbang. Ini bukan kelalaian ini kriminal."

Stefanus menggenggam ponselnya.

"Siapkan surat penangkapan. Pastikan Risa dan Aditya dapat perlindungan penuh. Kita bawa Leonard ke pengadilan."

Wartawan dan kamera memenuhi area. Pintu lift terbuka. Stefanus keluar bersama tim penyidik. Di belakangnya, Leonard Atmaja diborgol.

"Leonard Atmaja, Anda ditahan atas tuduhan konspirasi kriminal, pemalsuan data, dan pencemaran nama baik."

Leonard terlihat gugup, tapi mencoba sombong.

"Aku bisa beli hukum di negara ini!"

"Tidak hari ini. Bukti sudah bicara." ujar Stefanus

Kilatan kamera menyambar. Seorang raja korupsi akhirnya jatuh dan semua orang menyaksikannya.

Panggung sederhana. Stefanus berdiri tegap di depan mikrofon. Di belakangnya, papan bukti ditampilkan jelas. Di sisi kanan, Risa dan Aditya duduk, tangan mereka saling menggenggam erat.

"Selamat sore. Hari ini, kepolisian telah resmi menahan CEO maskapai atas tindak kriminal berat: rekayasa bukti, intimidasi saksi, hingga manipulasi publik."

"Kapten Aditya adalah korban. Dan Risa Istri yang difitnah, perempuan yang hampir hancur adalah simbol perlawanan."

"Apakah benar ada kampanye fitnah yang menyerang kehidupan pribadi Risa?"

"Benar. Kami membuka investigasi tambahan. Tidak ada lagi yang boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk membungkam kebenaran."

Ia menoleh ke arah Risa. Tatapan mereka saling bertaut.

"Keadilan akan datang. Kita tidak akan takut." Stefanus (dengan tegas)

Ruangan hening. Kemudian, perlahan, terdengar tepuk tangan. Risa menoleh ke Aditya. Ia tersenyum, tipis tapi penuh makna.

Mereka telah terluka. Tapi kini mereka berdiri. Dan mereka tak sendiri.

Pintu besi berdecit pelan saat terbuka. Suara gesekan logamnya menggema di ruang tahanan. Risa melangkah masuk dengan tenang.

Pakaiannya sederhana, namun setiap langkahnya menunjukkan ketegasan.

Matanya lurus menatap pria di balik kaca pembatas—Leonard, mantan CEO maskapai penerbangan. Tangan pria itu diborgol. Wajahnya lusuh, rambutnya berantakan. Namun senyum sinis tetap bertengger di bibirnya, seolah dunia masih dalam genggamannya.

“Aku tidak menyangka kau akan datang menemui ku, Risa,” katanya dengan nada mengejek. “Ternyata kau belum puas menang.”

Risa berdiri tegak. Suaranya tenang, tapi dingin. “Aku tidak datang untuk menang, Leonard. Aku datang untuk menunjukkan bahwa aku tidak takut.”

Leonard mendengus kecil. “Dulu kau cuma wanita biasa. Sekarang kau merasa pahlawan, ya?”

“Dulu aku memang korban,” jawab Risa, sorot matanya tajam.

“Tapi sekarang aku bukan wanita yang sama. Aku datang bukan sebagai istri seorang pilot, bukan sebagai penulis novel. Aku datang sebagai seseorang yang tak akan lagi diam.”

Leonard menyipitkan mata. “Kau pikir dunia bisa berubah hanya karena keberanian kecilmu?”

Risa tersenyum tipis. “Dunia ini berubah karena orang-orang yang tak takut melawan orang seperti kamu.”

Untuk pertama kalinya, senyum Leonard memudar. Wajahnya mengeras, namun ia tak bisa membalas.

Risa menatapnya satu kali lagi, lalu berdiri. “Dan satu hal lagi… kamu akan menjalani hukumanmu. Aku pastikan, tidak akan ada korban lagi karena kesalahanmu.”

Ia berbalik, melangkah pergi dengan kepala tegak. Di balik kaca pembatas, Leonard hanya bisa memandangi punggung wanita yang tak bisa lagi ia kalahkan.

Pintu rumah terbuka perlahan. Risa masuk, menggenggam tas kecil.

Wajahnya lelah, tapi ada kelegaan yang sulit disembunyikan.

Di ruang tamu, Aditya duduk membaca buku. Tongkat penopang bersandar di sebelah kursi.

“Kamu dari mana, Ris? Tumben nggak bilang tadi pagi.”

Risa berhenti sejenak. Ia menatap suaminya lalu tersenyum pelan. “Aku cuma menyelesaikan sesuatu yang tertunda.”

“Sesuatu yang penting?”

Risa mengangguk, lalu menyentuh wajah Aditya dengan lembut. “Yang penting sekarang, kamu aman… dan kita bisa hidup tenang.”

Aditya menatap istrinya dalam diam. “Kamu menyembunyikan sesuatu, ya?”

“Tidak semua luka harus kamu tahu caraku mengobatinya, Mas. Yang penting sekarang… aku sudah baik-baik saja.”

Aditya memeluk Risa erat. Keheningan menyelimuti mereka, bukan dalam kekosongan, tapi dalam kelegaan dan cinta yang hangat.

Di meja makan, Risa, Aditya, dan Stefanus duduk bersama. Hidangan khas Indonesia memenuhi meja. Gelak tawa terdengar, membaur bersama aroma makanan hangat. Setelah beberapa suapan, Aditya mengangkat gelasnya.

“Untuk kebenaran… untuk cinta… dan untuk kalian yang selalu ada.”

“Dan untuk masa depan yang lebih damai,” sambung Risa.

Mereka bersulang. Stefanus lalu menatap Aditya.

“Setelah ini, aku mau kerja lagi. Tapi... mungkin bukan jadi kapten internasional. Aku butuh tempat yang lebih tenang.”

“Kebetulan aku punya kenalan yang punya sekolah penerbangan sekaligus maskapai regional,” kata Stefanus. “Dia butuh pilot senior. Aku bisa kenalin.”

Aditya terlihat terkejut. “Serius, Stef?”

“Serius. Aku yakin dia bakal senang punya orang kayak kamu.”

Risa menyentuh tangan suaminya dengan lembut. “Mas… boleh satu permintaan?”

“Tentu.”

“Terbang Lah di dalam negeri saja. Dekat-dekat aku. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

Aditya menatap Risa penuh cinta, lalu mengangguk. “Mulai sekarang, langit Indonesia jadi tempatku pulang. Dan kamu… rumahku yang sesungguhnya.”

Beberapa bulan kemudian…

Aditya sibuk di maskapai baru. Risa membuka cabang kedai ayam bakarnya. Stefanus kembali menangani kasus demi kasus.

Sore itu, Risa baru pulang dari kedainya. Ia melepas jaket, menghela napas panjang, lalu memegangi perutnya.

“Kenapa badanku sakit semua…”

Ia menuju dapur, tapi langkahnya terhenti. Wajahnya meringis. Tangan memegangi perut bawah. Napasnya mulai tak teratur.

Aditya baru saja pulang. Seragam pilot masih melekat di tubuhnya. Saat membuka pintu, ia melihat Risa membungkuk menahan sakit.

“Sayang!? Kamu kenapa!?”

“Perutku kram… dan… mual banget…”

Tanpa banyak tanya, Aditya segera mengangkat tubuh Risa. Panik memenuhi wajahnya.

Risa langsung dibawa ke ruang pemeriksaan. Aditya berjalan bolak-balik di lorong, seragamnya masih lengkap, sepatu belum sempat dilepas.

Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar.

“Pak Aditya? Selamat… Istri Anda hamil.”

Aditya terdiam sejenak. Matanya membelalak, lalu sebuah senyum perlahan merekah di wajahnya.

“Hamil…?”

Risa berbaring di ranjang rumah sakit. Wajahnya pucat, namun damai. Aditya duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.

“Maaf, Mas. Aku bikin panik…”

“Tidak apa-apa. Kamu justru membawa kabar paling indah dalam hidupku.”

Risa mengernyit. “Kabar?”

“Kita akan jadi orang tua…” Aditya membisikkan kata itu dengan lembut.

Air mata Risa mengalir perlahan. Di lorong rumah sakit, Aditya mengeluarkan ponselnya. Ia menelepon tiga orang terpenting dalam hidup mereka.

Di rumah orang tua Aditya, Mama tengah menyulam, Papa membaca koran. Telepon berdering.

“Halo?”

“Pa, Ma… Risa hamil.”

Sesaat hening. Lalu Mama berdiri, menutup mulutnya. Air mata kebahagiaan jatuh begitu saja.

“Alhamdulillah… Ya Allah! Papa… cucu kita, Pa!”

Papa menatap langit-langit, senyum syukur terpancar. “Anak kita… akan jadi ayah.”

Di tempat lain, Stefanus baru saja merapikan berkas saat ponselnya berdering.

“Stef… Risa hamil.”

Stefanus terdiam. Lalu ia tertawa keras, bangkit dari kursi, dan berkata, “Astaga, bro! Ini berita terbaik tahun ini!”

Ia berlari keluar kantor dengan jaket di tangga

Mama, Papa, dan Stefanus tiba di rumah sakit. Mereka masuk ke ruang rawat. Mama langsung memeluk Risa.

“Kamu kuat sekali, Nak. Terima kasih telah membawa kebahagiaan ini.”

Stefanus tersenyum hangat. “Ini hadiah dari Tuhan setelah semua yang kalian lalui.”

Tangis dan tawa menyatu. Di tengah keheningan rumah sakit, di ruang kecil itu, cinta tumbuh dengan cara paling tulus.

1
gojam Mariput
lanjut Thor, buat Elyas dpt karma yg lebih pedih dari kelakuan iblisnya.
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!