cerita tentang seorang serigala penyendiri yang hanya memiliki ketenangan tapi musik menuntun nya pada hal-hal yang terduga... apakah itu musim semi...
aku hanya bermain musik untuk mencari ketenangan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30 - kedekatan
Bus terus melaju menyusuri jalan utama, perlahan tapi pasti menuju kawasan sekolah. Kondisi di dalam bus pagi itu cukup lengang. Hanya ada beberapa penumpang dengan dua siswi dari sekolah lain duduk dekat jendela di baris depan, seorang ibu muda dengan tas kerja di pangkuannya, serta dua pria paruh baya dengan setelan kasual yang tampak seperti hendak pergi ke tempat kerja.
Namun entah bagaimana, suasana di dalam bus terasa… hangat.
Tak ada keributan, tak ada suara berisik—
Hanya percakapan kecil yang nyaris tak terdengar antara dua anak muda yang duduk di barisan tengah Vio dan Reina.
“…aku kira kamu akan merasa aneh,” ucap Reina lirih, masih menunduk sedikit.
Vio tersenyum canggung, tangannya menyentuh tepi kursi. “Kalau aku jujur, iya… tapi bukan karena kamu. Tapi karena aku juga enggak tahu harus ngomong apa.”
“...aku juga,” balas Reina cepat. “Aku nyesel ngomong barusan… maksudku, soal aku nunggu bus yang kamu naiki… itu terdengar…”
“Manis,” sela Vio pelan, tapi jujur. “Sedikit gila… tapi manis.”
Reina mendongak sedikit, mata mereka bertemu sejenak. Dan saat itu juga, dua siswi dari sekolah lain di kursi depan menoleh perlahan. Mereka saling melirik—
Lalu tersenyum kecil sambil berbisik pelan, menutup mulut mereka dengan buku agar tidak terlalu mencolok.
Di sisi lain, ibu muda yang duduk tak jauh dari mereka hanya menatap keduanya sekilas, lalu tersenyum lembut seperti melihat sesuatu yang indah.
Salah satu pria paruh baya mengangkat kepalanya dari layar ponsel, dan ketika melihat Vio yang tersipu serta Reina yang menunduk malu, dia menoleh ke temannya dan berujar, “Lihat tuh… masa muda ya.”
Temannya ikut tersenyum. “Ah… rasanya udah lama banget ya, waktu kita juga begini.”
Suara-suara kecil itu tidak sampai ke telinga Vio dan Reina.
Mereka terlalu sibuk dalam dunia kecil mereka yang canggung dan manis.
Vio sesekali melirik Reina, yang kini memainkan ujung rambutnya, masih merah di pipi.
Reina sesekali mencuri pandang, lalu kembali menatap ke luar jendela.
Keheningan di antara mereka tak lagi terasa ganjil. Melainkan seperti jarak yang nyaman. Jarak dua orang yang sama-sama takut berkata terlalu banyak, tapi sama-sama tak ingin berpisah terlalu cepat.
Sinar matahari pagi menyusup melalui jendela kaca, menciptakan bayangan tipis di pipi Reina yang sedikit tersenyum saat Vio tanpa sadar menyenderkan punggungnya sedikit lebih dekat.
Dan saat bus mulai melambat mendekati gerbang sekolah…
…hati mereka masih berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
Bus berhenti dengan lembut di halte depan sekolah, tak jauh dari gerbang utama. Pintu terbuka perlahan, dan Vio turun lebih dulu, menoleh sejenak ke arah Reina yang menyusul di belakangnya.
Langkah mereka tidak terburu-buru, tapi juga tidak terlalu pelan- cukup dekat untuk menunjukkan kebersamaan, namun cukup jauh agar tidak mencolok bagi yang tak memperhatikan.
Angin pagi berhembus lembut, membawa aroma bunga-bunga taman yang mulai mekar di awal musim semi. Suasana sekolah masih sepi. Beberapa murid baru mulai berdatangan, namun halaman depan masih lengang.
Vio menyampirkan tas ke bahu lainnya dan menghela napas pendek. “Kita datang terlalu awal lagi ya…”
Reina tertawa pelan. “Kali ini bukan kamu saja.”
Vio meliriknya dengan senyum kecil, lalu menoleh ke depan dan tepat saat itu, sebuah suara terdengar dari sisi gerbang.
“Eh… kalian?”
Vio dan Reina menoleh bersamaan. Di sisi lain halaman, berdiri Reuxen, baru saja melangkah masuk dengan napas yang sedikit terengah. Rambut pirangnya sedikit acak, dan ia membawa dua roti kecil di tangan, jelas habis dibeli dari toko roti dekat sekolah.
Tatapan Reuxen memantul bolak-balik dari Vio ke Reina, lalu ke celah kecil di antara mereka dan akhirnya berhenti dengan alis terangkat.
“…kenapa kalian berdua bareng?”
Vio tersentak kecil, berusaha tetap tenang. “Kebetulan… bus-nya sama.”
Reina menunduk sedikit, pura-pura memeriksa jam tangan yang tidak ia pakai. “Iya… aku cuma kebetulan nunggu di halte.”
Reuxen masih memandangi mereka dengan ekspresi bingung dan sedikit geli. Ia menggigit rotinya, lalu mengangkat bahu.
“Biasanya kalian datang super pagi. Hari ini agak telat dikit… tapi malah barengan.”
Ia mengedipkan sebelah mata. “Kalian lagi latihan duet rahasia ya?”
“Bukan!” jawab Vio dan Reina hampir bersamaan, lalu saling melirik kaget dan segera berpaling.
Reuxen tertawa kecil, puas dengan reaksinya. “Hahaha… tenang, aku enggak bakal ganggu rahasia kalian kok.”
Dengan langkah ringan, ia berjalan mendahului ke arah bangunan sekolah, meninggalkan Vio dan Reina yang masih berdiri canggung di sisi jalan masuk.
Reina menarik napas pelan. “Dia pasti mikir aneh-aneh…”
“Dia selalu mikir aneh-aneh,” balas Vio lirih.
Tapi saat keduanya melangkah masuk melewati gerbang sekolah, tak ada yang bisa menahan senyum kecil yang muncul di wajah mereka masing-masing. Canggung, ya. Tapi perlahan-lahan… terasa menyenangkan.
Tak lama setelah mereka melewati gerbang sekolah, sebuah mobil berwarna pastel berhenti perlahan di pinggir jalan. Dari dalamnya, keluar sosok yang sangat familiar—rambut pendek kecokelatan yang dikepang rapi dan tas berhiaskan gantungan boneka lucu menggantung di bahunya.
“Tissa!” seru Reina sambil melambai.
Tissa menoleh dengan mata berbinar, lalu berlari kecil menghampiri mereka. Dari dalam mobil, terlihat sosok pria dan wanita paruh baya yaitu ayah dan ibu Tissa tersenyum sambil melambai ke arah anak-anak itu sebelum perlahan melajukan mobil kembali.
“Pagi semua!” Tissa menyapa ceria. “Wah, kalian barengan? Tumben banget!”
Reina tersenyum. “Kebetulan naik bus yang sama.”
“Ah, jadi itu sebabnya kalian telat dikit,” sambung Tissa sambil tertawa kecil. “Biasanya Vio sudah duduk di kelas pas aku baru sampai.”
Vio hanya tersenyum kaku, tidak menjawab. Reuxen menambahkan dengan nada menggoda, “Hari ini berasa… manis.”
“Reuxen…” protes Vio pelan.
“Ehehe,” Tissa hanya terkekeh, tak terlalu menggubris gurauan itu.
Mereka bertiga pun berjalan bersama-sama menuju gedung sekolah. Karena kelas Tissa berada di lantai satu sayap timur, berbeda dengan kelas Vio, Reina, dan Reuxen yang berada di lantai dua sayap barat, mereka pun berbelok lebih dulu ke arah kelas Tissa.
Sepanjang perjalanan, Tissa menceritakan betapa ia rindu suasana sekolah meski hanya dua hari absen karena acara keluarga. Ia berbicara antusias tentang hal-hal kecil makanan hotel, pemandangan dari jendela mobil, dan bahkan kelinci yang sempat ia lihat di taman dekat penginapan.
Sesampainya di depan kelas Tissa, gadis itu menoleh ke arah mereka sambil tersenyum.
“Thanks udah nganterin! Sampai ketemu pas istirahat ya!” katanya sambil melambai dan masuk ke kelasnya.
Vio mengangguk, Reina membalas lambaian, dan Reuxen melirik jam tangan sebelum berujar, “Oke, ayo kita naik sebelum guru datang.”
Mereka bertiga pun berbalik dan berjalan ke arah tangga menuju lantai dua. Langkah mereka lebih santai dibanding sebelumnya, dan meskipun suasana masih menyimpan sisa-sisa canggung pagi tadi, perlahan tapi pasti, ritme keseharian mereka kembali menemukan nadanya.
Bel istirahat terdengar memecah suasana kelas. Murid-murid mulai bergerak keluar, sebagian menuju kantin, sebagian lagi hanya berkumpul di koridor. Vio menghela napas ringan sambil menoleh ke arah Reina, yang duduk diam di sampingnya sambil menutup bukunya perlahan.
Tak lama kemudian, suara langkah kecil terdengar dari arah pintu kelas.
“Viooo!” seru suara ceria yang sangat dikenal. Tissa berdiri di ambang pintu dengan wajah berseri-seri, mengenakan tas kecil yang biasa ia bawa saat tidak pulang ke rumahnya.
Vio tersenyum dan melambai. “Tissa, sini.”
Tissa segera menghampiri, lalu menepuk-nepuk kursi Vio pelan sebelum berbisik pelan. “Aku balik lagi, loh. Mulai hari ini aku nginap di rumahmu lagi, kayak kemarin-kemarin!”
“Aku tahu,” jawab Vio sambil membuka tas kecilnya dan mengeluarkan kotak bekal berwarna merah muda lembut, lalu menyerahkannya kepada Tissa. “Ini bekalmu. Aku udah masakin sebelum berangkat tadi.”
Tissa mematung sejenak, lalu matanya membulat. “Eh?! Kamu bikin bekal buat aku juga?”
“Masa kamu ke sekolah tanpa makan siang?” kata Vio dengan nada datar, tapi terlihat jelas senyum kecil di wajahnya.
Tissa segera memeluk Vio sebentar dengan antusias. “Vio kamu memang... Kakak favoritku!”
Dari samping, Reina ikut tersenyum melihat keakraban keduanya. “Hari ini kamu pulang sama Vio lagi, ya?”
“Yep! Papa dan Mama masih harus kerja. Jadi aku kembali numpang rumah Vio. Hehehe,” jawab Tissa sambil mengayun-ayunkan kotak bekalnya dengan senang.
Tak lama, Reuxen datang sambil membawa dua botol minuman. Ia mengangkat alis saat melihat mereka sudah siap keluar. “Apa aku ditinggal lagi? Nggak ada yang ngajak aku ke taman?”
“Kalau kamu pengen ikut ya tinggal ikut, Tuan Reu,” sindir Reina setengah menggoda.
Dengan cepat, mereka pun berjalan bersama ke taman belakang sekolah tempat yang sudah seperti markas kecil mereka. Di sana, Tissa membentangkan kain duduk dari dalam tasnya, dan mereka semua duduk melingkar di bawah pohon yang rindang.
Saat membuka bekalnya, Tissa menatap isi kotak dengan mata berbinar. “Ada ayam goreng! Dan ini… eh, kamu inget aku suka wortel yang dipotong bunga-bunga?”
“Sedikit susah, tapi ya… aku inget,” gumam Vio sambil menyandarkan diri ke batang pohon.
Percakapan pun mengalir santai di antara mereka, tentang pelajaran, tentang kabar di kelas, dan sesekali celetukan khas Tissa yang membuat semuanya tertawa. Namun di sela semua itu, sesekali mata Reina dan Vio saling bertemu, disertai senyuman kecil yang hanya mereka berdua mengerti artinya.
Tak lama kemudian, suara bel kembali menggema, menandakan waktu istirahat telah selesai. Mereka semua bangkit, menyimpan sisa bekal dan kain alas, lalu berjalan kembali ke kelas dengan hati yang terasa ringan.