Kala gemerlut hati semakin menumpuk dan melarikan diri bukan pilihan yang tepat.
Itulah yang tengah Gia Answara hadapi. Berpikir melarikan diri adalah solusi, namun nyatanya tak akan pernah menjadi solusi terbaik untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _NM_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
XXVII
Hampir menjelang Maghrib Gia memasuki ruang rawat inap Keysha. Dapat Gia lihat, ruang rawat itu hanya di isi oleh Keysha seorang tanpa satu pun yang membersamai.
" Assalamualaikum. " Cicit Gia pelan, sembari menghampiri ke brankar pasien.
Keysha tampak tersentak dalam diamnya kala mendengar suara salam itu.
" Wa'alaikumussalam... " Balas Keysha tak kalah lirih.
Gia kembali melirik ke seluruh penjuru, mencari keberadaan anak anaknya.
" Shila dan Bara dimana, kok gak kelihatan? " Tanya Gia bingung.
Keysha melirik ke arah Gia. " Mereka lagi sholat, sekalian cari makan di kantin rumah sakit. Palingan juga bentar lagi balik. Tunggu aja. "
Gia mengangguk kecil, memilih duduk disofa yang tersedia diruang itu. Seketika saja suasana mulai terasa sunyi dan canggung, membuat Gia mulai memainkan jari jari tangannya.
Beberapa saat memang hanya terisi suara detak jarum jam yang berdenting, seolah mengisi ruang kosong diantara kedua wanita itu.
" Sebenarnya salah saya apa yah Gia? " Suara cicitan pelan yang berasal dari mulut Keysha menghapus sunyi diantara kedua wanita itu.
Gia melirik ke arah Keysha dari ujung matanya. Seketika saja bayangan Gia melalang buana mengingat penggalan cerita dari Jordan saat di masjid.
" Gue gak tau harus gimana. Gue juga pengen bayi itu selamat sampai ke dunia ini. Bagaimana pun bayi itu juga bayi gue, darah daging gue sendiri. Tapi gue gak bisa sekejam itu nyuruh Keysha buat mempertahankan. Dia sudah banyak berkorban. Gue gak mau dia semakin menderita. "
Mengingatnya membuat Gia sedikit merasa ibah pada Keysha yang saat ini menatap langit langit kamar dengan pandangan kosong.
" Semuanya tidak ada yang berpihak pada saya. Diselingkuhi oleh tunangan saya sendiri, hingga tunangan saya memiliki anak dengan selingkuhannya. Sehingga pertunangan saya batal begitu saja. Saya mencoba tegar atas semua cobaan itu. Lalu tuhan seakan ingin mempermainkan saya lagi, saya ditakdirkan menikah dengan sosok yang telah menyakiti saya sedemikian rupa itu. Saya tetap menerima semua itu, bahkan menganggap anak dari selingkuhan tunangan saya dulu sebagai anak saya sendiri. Ditambah penyakit hilang ingatan suami saya membuat saya tak dapat memprotes atas sakit yang selama ini saya rasakan. " Seolah kalimat itu dapat dengan mudah meluncur dari mulut Keysha, namun nyatanya tak pernah seperti itu.
Dapat Gia lihat, buliran kecil menghiasi sudut mata Keysha. Membuat Gia tetap bungkam dalam semua gemuruh di batinnya.
" Mohon maaf jika perkataan saya salah, namun nyatanya seperti itulah kisah dari sudut pandang hidup saya. Dan juga hidup saya tidak berhenti disana. Saya harus diberi cobaan keguguran berulang kali, bahkan hampir divonis tidak dapat memiliki anak sama sekali. Hingga tuhan pada akhirnya berbelas kasih kepada saya, saya diberi kesempatan untuk mengandung kembali meski vonis yang saya terima seperti itu."
Keysha menoleh ke arah jendela yang mengarah ke arah taman rumah sakit, suara rintikan gerimis masih terdengar dari sana.
" Namun lagi-lagi tuhan tak pernah cukup untuk menguji saya. Tubuh saya melemah, begitu juga dengan kandungan saya. Saya diminta untuk memilih antara membiarkan bayi saya tetap hidup dengan resiko keselamatan saya sendiri, atau mengambil rahim saya dan membuat saya tak dapat menggendong anak kandung saya sendiri sampai kapan pun itu. " Kali ini berbeda, suara Keysha tercekat dalam tiap kalimat yang mengalun.
Gia masih dalam keterbungkamannya. Nyatanya karma itu ada. Kalimat orang yang terdzolimi akan selalu dikabulkan, begitu juga dengan kalimatnya dulu pada sang mantan mertua.
Gia kembali mengingat pada masa menyakitkan itu. Hari yang amat Gia benci seumur hidupnya.
Saat itu Gia menatap tajam sang mertua dengan sorot tajam yang berderaian air mata. " Mau bersama siapapun putra anda. Hanya dari wanita yang anda hina ini putra anda akan mendapatkan keturunan. " Sembari bergetar Gia mengucapkan hal buruk itu.
Cukup mengingatnya sampai sana saja. Tangan Gia sudah berkeringat dingin, seluruh tubuhnya seolah bergetar pelan. Menghembuskan napas perlahan, Gia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Lagi lagi memori itu bagaikan pisau yang Gia bawa setiap saat, siap menyakitinya kapan pun saat Gia tak hati hati untuk menyimpannya rapat-rapat.
Kembali menatap Keysha, dapat Gia lihat Keysha mulai melanjutkan kalimatnya. " Saya dulu menanamkan ke diri saya sendiri, bahwa anak-anak suami saya adalah anak-anak saya sendiri. Sehingga rasa rindu saya akan kehadiran sosok anak dihidup saya dapat meluap. Namun sayang seribu sayang, nyatanya anak-anak suami saya juga tak menyukai saya. Membuat saya sedikit menyimpulkan bahwa memang saya tak pernah ditakdirkan untuk menjadi ibu yang dapat menjadi panutan anak-anaknya. "
Gia menatap Keysha lamat-lamat. Nyatanya hidup Keysha sama menderitanya.
" Jadi satu-satunya yang ingin saya pertahankan untuk terakhir kalinya adalah suami saya. Eh, hidup malah membuat plot twist lain, saya seketika saja menjadi antagonis dalam hubungan suami saya dengan wanita lain. Apakah saya salah mempertahankan suami saya? Apakah hidup saya hanya tentang mengikhlaskan? " Air mata mulai mengalir deras dari pelupuk mata Keysha.
Keysha menoleh ke arah Gia, Keysha tak mampu menahan ini semuanya lagi.
" Apakah saya salah untuk membenci kehadiran anda dalam hubungan saya? Apakah saya tak berhak memiliki kehidupan yang normal? Apakah saya begitu hina untuk sekedar menjadi seorang ibu? Apa kesalahan saya selama ini? Rasa sabar apalagi yang kurang dari saya? "
Gia termenung sesaat. Benar.. hidup tak pernah adil. Hidup didunia ini hanya tentang air mata. Gia tak dapat menyalahkan Keysha dalam kisah yang dimiliki wanita itu, nyatanya tak pernah mudah untuk wanita itu jalani. Suami seakan-akan hanya sebuah titipan belati. Anak seakan mutiara kerajaan yang tak dapat manusia seperti Keysha dapatkan, bahkan wanita itu sentuh. Dikhianati, ditinggal, kekurangan, dan berbagai hal telah Keysha jalani.
Gia menunduk, menutupi redup yang berada di matanya sendiri.
" Kamu tak pernah salah dalam kisah mu. Hidup ini memang pilihan, namun bukan berarti kita bisa seenak hati dalam memilih. Tetap sang pengendali lah yang berhak menentukan akhir. Rasa sakit yang dibalut lewat cerita tentang kisah hidup tidak akan pernah sama dengan rasa sakit saat menjalani kisah itu sendiri. Saya akui banyak hal yang telah terjadi dalam hidup anda. Saya hanya bisa memberi saran, tetaplah egois pada sesuatu yang bisa anda pegang. Namun lepaskan jika tuhan meminta anda untuk melepaskannya. " Gumam Gia perlahan.
Gia menatap ke arah Keysha dengan pandangan kosong. " Saat ini suami anda adalah suami anda, jadi saya tak berhak untuk merebutnya, apapun kisah yang terjadi di masa lalu. Dan saya sendiri tidak berniat merebut suami orang. Anda tidak perlu khawatir akan itu. Lalu tentang anak, saya tak berhak untuk memberi saran, karena nyatanya anak saya sendiri juga tak sudi untuk mengakui kehadiran saya. "
Gia kembali menunduk dan memainkan jari jari tangannya.
" Saya tahu kisah anda sangat berat, saya tahu.. Namun saya hanyalah manusia biasa yang memiliki ego. Saya juga memiliki kisah. Saya tak dapat mengatakan apakah kisah saya lebih besar atau malah sebaliknya, karena kisah kita adalah dua hal yang berbeda. Anda boleh saja membenci saya atau apapun itu, karena itu memang hidup anda dan juga kisah anda. Begitu juga saya, saya juga berhak membenci pada segala hal yang telah menyakiti saya, termasuk kehadiran anda ditengah-tengah rumah tangga saya dulu. " Gia sedikit mendongak menatap Keysha yang berada di brankarnya.
" Saya memiliki kisah dan penderitaan saya sendiri. Saya tak apa jika untuk mendengar kisah anda, selebihnya saya tak mau memikirkan apa pun itu, termasuk penderitaan anda. Hidup saya sudah susah, mohon maaf sekali lagi saya tak ingin menambah beban hidup saya. Saya mengerti anda tengah terpuruk saat ini, namun siapa yang tahu jika saat ini saya tengah terpuruk juga atau tidak kan. Jadi tolong mengerti dan jangan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang hidup anda. Silahkan anda bagikan pada keluarga anda, karena merekalah yang lebih berhak mendengar kisah anda. Jangan pada saya yang sebatang kara ini. Bahkan untuk berkeluh kesah pun saya tak ada. "
Note : sorry banget guys baru update, beberapa bulan belakang ini author bener bener sibuk, dari sibuk fisik, pikiran, dan juga mental. Jadi mohon maaf yah semuanya.