Angel hidup dengan dendam yang membara. Kakaknya ditemukan tewas mengenaskan, dan semua bukti mengarah pada satu nama
Daren Arsenio, pria berbahaya yang juga merupakan saudara tiri dari Ken, kekasih Angel yang begitu mencintainya.
bagaimana jadinya jika ternyata Pembunuh kakaknya bukan Daren, melainkan Pria yang selama ini diam-diam terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dendam angel
Malam mulai turun ketika Angel akhirnya sampai di apartemennya. Lorong-lorong gedung itu terasa lebih sunyi dari biasanya, lampu-lampu redup memantulkan bayangan tubuhnya di lantai.
Ia membuka pintu apartemendengan tangan yang sedikit bergetar. Begitu pintu tertutup di belakangnya, seluruh kekuatan yang tadi ia tahan di depan makam kakaknya akhirnya pecah.
Angel menjatuhkan tasnya ke sofa dan bersandar pada pintu, menunduk dalam-dalam.
Dadanya sesak, perasaan Marah, Sedih, Benci.
Dan sebuah tekad hitam yang semakin menebal terasa bercampur aduk.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menarik napas kasar.
Semua kenangan tentang kakaknya muncul tumpang tindih dengan tatapan dingin Daren di ruang interview tadi.
Laki-laki itu…
Masih sama dinginnya.
Masih sama berkuasanya.
Seolah tidak ada satu pun dosa yang menempel padanya.
Angel berjalan pelan ke meja kecil di ruang tengah, mengambil diary biru milik Seren yang selalu ia simpan. Ia duduk di lantai, membuka halaman terakhir yang sangat ia hafal.
Tulisan tinta hitam yang goyah. penuh dengan coretan nama yang sama.
Air mata kakaknya yang membekas di sudut halaman.
Angel mengusap lembut tulisan itu, lalu mengepalkan jari-jarinya.
“Ka…” bisiknya lirih. “Aku sudah masuk ke dunianya.”
Ia mengangkat wajah, tatapannya penuh bara.
Bukan lagi tatapan gadis rapuh tapi perempuan yang siap membalas luka.
“Daren tidak mengenaliku. Tapi aku yakin dia akan mencari tahu identitas ku. "
Senyum miring muncul di bibirnya.
“Dan itu akan membuat semuanya lebih mudah. Aku akan membuat kamu penasaran sampai ingin mati rasanya. ”
Angel menutup diary itu perlahan dan meletakkannya kembali.
Kemudian ia berdiri, menatap pantulan dirinya di jendela mata yang memerah karena tangis, wajah yang selalu cantik tapi penuh amarah yang mendalam.
“Aku akan buat dia jatuh, Ka.”
Nada suaranya terdengan dingin.
“Aku akan buat dia hancur seperti dia menghancurkan kakak.”
Angel menyentuh dadanya sendiri, merasakan degup jantung yang tidak stabil.
Perasaan dendam itu terlalu kuat.
Terlalu dalam. Dan tidak bisa dihentikan. Selama ini dia selalu mengubur rasa dendam ini karena perasaan tidak yakin pada pria berkuasa itu, tapi kali ini Tuhan memberikan dia jalannya.
Ponselnya berbunyi Ken mengirim pesan, menanyakan apakah ia sudah sampai. Angel melihat notifikasi itu, lalu menghela napas panjang.
“Maaf, Ken…”
Nada sedih terdengar dalam bisikannya.
“Aku terjebak dalam sesuatu yang lebih gelap dari yang kau bayangkan.”
Angel tidak membalas pesan itu.
Tidak sekarang. ia harus menenangkan dirinya sendiri.
Ia menuju kamar mandi, membasuh wajahnya. Lalu dengan tenang, ia menatap cermin.
Di sana berdiri seseorang yang berbeda.
Bukan Angel yang lembut.
Bukan Angel yang selalu tersenyum manis.
Melainkan Angel yang siap menyelinap masuk ke kehidupan Daren…dan menghancurkannya dari dalam.
***
Langit malam terlihat dari jendela besar ruang kerja Daren. Lampu-lampu kota berkelip, namun pikirannya sama sekali tidak bisa fokus pada laporan yang terbuka di depan matanya.
Daren duduk di kursinya, memutar pena di antara jari-jari kebiasaan yang hanya ia lakukan saat ada sesuatu yang mengganggu konsentrasinya.
Sejak perempuan itu keluar dari ruang interview, kepalanya tidak berhenti memutar ulang tatapan mata Angel… senyum menggoda itu… cara Angel mengucapkan setiap kata seakan sedang bermain-main dengannya.
Daren menghela napas pelan, rasa frustasi menyelinap dalam nada pernapasannya.
“apa mau perempuan itu sebenarnya…?”
Ia menutup laptopnya, bersandar pada kursi dan melihat ke langit kota.
Angel… cantik, dia akui itu. memprovokasi, dan mempunyai cara berbicara yang berbeda dari orang lain. tidak ada rasa takut dalam dirinya.
Daren mengerutkan kening.
Rasa tidak nyaman merayap di dalam dirinya.
Ada sesuatu pada Angel yang… tidak biasa.
Bukan sekadar kecantikan.
Ada sesuatu yang membuat nalurinyayang jarang salah merasa harus waspada.
“Identitasmu… apa yang kami sembunyikan?” gumamnya pelan.
Ia menatap berkas lamaran Angel yang tersusun rapi di meja. Ia buka lagi walau ia sudah membaca isinya sebelumnya.
Nama: Angelina cate
Pendidikan: Administrasi Bisnis
Alamat: …
Pengalaman kerja: …
Semuanya terlihat normal seperti pada umumnya.
Daren memejamkan mata sebentar, mengingat bagaimana Angel mendekatinya… duduk di mejanya… menyilangkan kaki dengan percaya diri.
Angel? Tidak.
entah kenapa hanya membayangkannya saja tubuhnya terasa panas. ia melonggarkan dasi yang mencekekik leher.
“Sikapmu…” gumamnya.
“Seolah kau sudah mengenalku.”
Ia berdiri dari kursi, berjalan ke jendela dengan wajah yang tidak bisa dibaca siapa pun. Rahangnya mengeras.
Meski ia tidak mengakuinya, fakta yang tidak bisa ia bantah adalah Angel membuatnya terus memikirkannya. Dan itu mengganggunya.
Karena Daren De Castello tidak pernah membiarkan perempuan atau siapa pun mengacaukan pikirannya.
Namun malam ini, ia terdistraksi.
Dan itu membuatnya marah pada dirinya sendiri.
“…apa yang sebenarnya kau inginkan dariku?” bisiknya pada bayangan dirinya di kaca.
Sebuah firasat gelap tumbuh dalam dirinya, sesuatu yang tidak ia rasakan selama bertahun-tahun.
Ada sesuatu di balik mata perempuan itu.
Pintu diketuk secara perlahan setelah di persilahkan masuk. Adrian muncul dari balik pintu.
Adrian langsung merasakan firasat buruk saat melihat kondisi daren yang berantakan.
“Semua laporan sudah saya siapkan, Tuan Daren,” ucapnya sopan.
Daren tidak menoleh.
Ia masih menatap kota dari balik kaca, tangan masuk ke saku celana.
“Adrian.”
Nada suaranya pelan… tapi tegas.
Nada yang membuat siapa pun otomatis lurus berdiri.
Adrian menelan ludah. “Ya, Tuan?”
Daren akhirnya menoleh. Tatapannya tajam, menusuk.
“Cek latar belakang Angelina cate.”
Dahi Adrian langsung berkerut.
Jantungnya berdetak dengan cepat..gawat…
Adrian mencoba menjaga ekspresi agar tetap tetang. “Angel? Maksud Tuan… kandidat yang tadi?”
Daren mengangguk pelan. “Ya. Perempuan itu.”
Adrian tahu Angel melamar kerja memang untuk rencana balas dendam.
Ia membantu Angel masuk ke interview tanpa mencurigakan siapa pun.
Dan kini…
Daren mencium sesuatu.
“Apakah ada masalah dengan berkasnya?” Adrian mencoba bertanya hati-hati.
Daren memejamkan mata sejenak seakan menahan frustrasi.
“Tidak…”
Ia membuka mata, menatap Adrian langsung.
“Tapi sikapnya tidak… biasa.”
Adrian menegang. “Tidak biasa bagaimana?”
“entahlah" jawab Daren datar.
Ia mengingat momen Angel mendekat terlalu dekat.
“…dia terlihat seperti tahu cara menantangku.”
Adrian menunduk sedikit agar raut wajahnya tidak terlihat terlalu kaget.
“Jadi Tuan… curiga sesuatu?” tanyanya pelan.
Daren mendekat, hanya berjarak dua langkah dari Adrian.
“Wanita yang punya keberanian seperti itu tidak datang tanpa tujuan.”
Nada suaranya rendah, penuh intuisi tajam.
Adrian bisa merasakan tengkuknya berkeringat.
Angel jelas punya tujuan.
Dan itu bukan hal kecil.
Kalau Daren sampai tahu… Angel bisa dalam bahaya.
“Ba—baik, Tuan.”
Suara Adrian sedikit goyah sebelum ia menyamarkannya.
“Saya akan selidiki.”
Daren menatapnya sekejap sebelum kembali berjalan ke meja.
saat Adrian keluar dari ruangan itu, langkahnya terasa berat. Wajahnya memucat sedikit.
Angel… kamu harus hati-hati.
Daren mulai merasakan keanehanmu.
Adrian menekan lift menuju basemant l dengan napas berat yang ia tahan. Begitu sampai di basement tempat mobilnya terparkir, ia menepuk wajahnya sendiri pelan.
Ia harus cepat.
Karena kalau Daren curiga, Angel bisa berada dalam bahaya besar.
Sambil masuk ke mobilnya, Adrian mengeluarkan ponselnya dan segera menekan nomor Angel. Suaranya terdengar gelisah.
Nada sambung.
Sekali.
Dua kali.
Angel akhirnya mengangkat, suaranya agak serak karena tadi ia menangis di makam.
“Halo? Ada apa, Adrian?”
“Angel,” ujar Adrian cepat. “Besok jangan buat hal aneh, jangan buat gerakan mencurigakan, dan… jaga jarak dulu dari Daren.”
Angel langsung terdiam. Napasnya terdengar mengencang.
“…apa maksudmu?”
Adrian menelan ludah. Ia menatap kaca mobil seakan memastikan tidak ada yang mengintai.
“Aku baru saja keluar dari ruangannya. Dia… menyuruhku mengecek latar belakangmu.”
Angel langsung duduk tegak di sofa apartemennya.
“Dia curiga?” bisiknya, suaranya berubah tajam.
“Ya.” Adrian mengusap wajahnya. “Dia bilang sikapmu terlalu ‘tidak biasa’. Terlalu percaya diri. Dia bilang kamu seperti… datang dengan tujuan.”
Angel memejamkan mata.
Tentu saja Daren akan curiga.
Dia bukan CEO biasa. Otaknya tajam. Instingnya mengerikan.
“Adrian, kau bilang bisa memasukkan aku tanpa terlihat.”
Nada Angel mulai dingin.
Adrian menghela napas keras. “Aku bisa, dan aku sudah lakukan. Tapi Angel… kau yang membuat masalahnya sendiri. Kamu terlalu menggodanua, terlalu dekat, seperti memang disengaja.”
Angel menggigit bibirnya.
Ia memang sengaja.
Ia ingin Daren memperhatikannya.
Itu bagian dari rencana, Tapi ia lupa…
Daren bukan pria yang mudah dibodohi.
“Angel, dengar aku.”
Nada Adrian berubah serius,
“Daren itu tidak sama seperti pria kebanyakan. Kalau dia mulai curiga, dia bisa menyelidikimu sampai ke akar. Dan kalau dia tahu siapa kamu sebenarnya—”
Adrian tidak melanjutkanbtapi Angel tahu maksudnya.
Daren bisa melakukan apa saja.
Angel membuka mata, tatapannya tajam. “Aku tidak takut.”
“Itu masalahnya.” Adrian menutup mata. “Dalam permainan ini, yang tidak takut biasanya kalah duluan.”
Angel terdiam lama.
“Baik,” katanya akhirnya dengan suara pelan tapi tegas.
“Besok… aku akan lebih berhati-hati.”
Adrian mengangguk walau Angel tidak bisa melihat.
“Satu lagi,” tambah Adrian, suaranya bergetar sedikit.
“Jangan pernah biarkan Daren menyentuh masa lalu kakakmu. Atau… aku tidak tahu apa yang akan terjadi.”
Angel mengepalkan tangannya kuat hingga buku jarinya memutih.
“Itu rahasia yang tidak akan pernah dia tahu.”
Nada Angel gelap.
Sebelum menutup telepon, Adrian menambahkan dengan suara rendah.
“Angel… kau sedang bermain api dengan pria yang bisa membakar seluruh hidupmu.”
Angel tersenyum kecil , senyum samar, dingin.
“Aku tidak takut api, Adrian. Aku menyatu dengannya.”