NovelToon NovelToon
Under The Same Sky

Under The Same Sky

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu / Playboy / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Model / Mantan / Orang Disabilitas
Popularitas:673
Nilai: 5
Nama Author: CHRESTEA

Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.

Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka Lama

Sudah hampir dua bulan sejak Orion memulai terapi intensifnya, dan hasilnya jauh di luar dugaan.

Setiap hari, langkahnya semakin stabil, kekuatannya mulai kembali. Dia sudah bisa berjalan tanpa bantuan tongkat selama beberapa menit. Meski masih harus hati-hati, tapi semangatnya seolah kembali hidup. Dan yang paling tahu setiap kemajuan itu tentu saja Luna.

“Langkahmu hari ini lebih kuat,” kata Luna sambil tersenyum, berdiri di dekat treadmill terapi.

Orion menatapnya sekilas, bibirnya terangkat sedikit.

“Kamu terlalu sering memuji. Aku belum selesai.”

“Ya, tapi kamu udah jauh lebih baik dari dua bulan lalu.”

“Kalau gitu, kamu harus mulai siap kehilangan aku di sini,” balas Orion datar, tapi dengan nada menggoda.

Luna tertawa kecil. “Aku nggak yakin aku mau kehilangan pasien sekeras kepala kamu.”

Damian yang mendengar dari jauh hanya tersenyum. Pemandangan itu sudah jadi hal yang menenangkan di setiap pagi dua orang yang saling menyembuhkan dengan cara yang sederhana.

Siang harinya, Damian baru saja selesai memeriksa hasil terapi Orion ketika ponselnya berdering.

Nama di layar membuatnya menghela napas: Karina.

Dia ragu beberapa detik sebelum akhirnya mengangkat.

“Ma…”

Suara di seberang terdengar lembut tapi berwibawa.

“Dami, kamu belum lupa, kan? Dua minggu lagi pernikahan papa Luna dan aku.”

Damian menegakkan duduknya. “Aku ingat, Ma.”

“Bagus. Aku harap kamu bisa datang, ya. Aku juga mau kamu ajak Luna pulang.”

Damian mengerutkan kening. “Luna?”

“Iya,” jawab Karina tenang. “Aku sudah dengar semuanya dari Selene. Tentang Luna dan kamu yang kerja barengkan.

Nada Damian langsung berubah tegang. “Selene? Dia di Jakarta?”

“Iya, Peter suka sekali dengan Selene. Dia bahkan menjadikan dia CEO di perusahaannya.”

“Hah?”

“Kamu kenapa kaget gitu? Mama tau kamu, masih gak suka sama dia. Tapi kalian udah dewasa, mama juga sudah mulai berdamai dengan masa lalu. Mama harap kaliam nanti bisa akur, tentu saja dengan Luna juga.”

Kepala Damian seketika berdenyut, dia tidak tau harus memulai dari mana menjelaskan pada Luna. Dia takut kenyataan itu akan mempengaruhi hubungan Luna dan Orion.

Sore itu, Luna duduk di taman belakang, menatap langit. Ketika Damian menghampirinya, senyumnya masih lembut, tapi matanya tampak lelah.

“Luna,” Damian memulai hati-hati. “Aku baru dapat kabar dari Mamaku, Dia minta aku pulang ke Jakarta buat acara pernikahannya.”

“Oh, kapan jadinya?” jawab Luna pelan.”

“Dua minggu lagi. Apa kamu mau ikut pulang?”

Luna langsung menoleh cepat. “Aku?”

“Iya. Mamaku bilang, kamu harus pulang. Sekali aja. Kamu nggak bisa terus sembunyi dari semuanya.”

Luna menunduk. Jemarinya meremas ujung sweaternya pelan. “Aku nggak yakin bisa, Kak.”

“Kenapa?”

“Papa…” suaranya pelan. “Dia bahkan nggak mau dengar suaraku lagi.”

“Coba sekali lagi. Kalau pun dia nggak jawab, kamu udah berusaha.”

Damian menepuk bahunya lembut. “Dan kali ini, kamu nggak sendirian.”

Malamnya, Luna akhirnya memberanikan diri untuk mencoba menelepon ayahnya.

Dia duduk di kursi dekat jendela, ponselnya gemetar di tangan.

Nada sambung terdengar tiga kali… lalu lima kali… tidak diangkat.

Dia menunduk, menatap layar yang kini gelap.

“Gppa,” bisiknya pada diri sendiri. “Mungkin Papa sibuk.”

Dia berdiri, menaruh ponselnya di meja dekat tempat tidur Orion yang sedang tidur setelah terapi sore. Dia keluar sebentar untuk mengambil air minum. Namun, beberapa menit kemudian, ponselnya tiba-tiba bergetar.

Nama di layar: Papa.

Orion yang kebetulan terjaga menatap ponsel itu. Karena takut itu panggilan penting, dia menjawab.

“Hallo?”

Hening beberapa detik. Lalu suara berat di seberang terdengar,tajam dan penuh kemarahan.

“Luna?! kamu masih berani telepon juga, ya?!”

Orion sempat membeku. “Saya—”

“Jangan panggil saya ‘Papa’ lagi! Kamu bukan siapa-siapa lagi di keluarga ini!”

Suara itu meninggi, penuh amarah yang menembus sampai ke dada Orion.

Orion diam. Tapi dalam diam itu, dadanya sesak mendengar kata-kata itu , bahkan meski bukan ditujukan padanya.

“Aku sudah cukup malu punya anak gagal kayak kamu! Kamu bikin nama Carter hancur! Sekarang perusahaan diurus sama kakak tiri kamh, dan dia sukses besar! Dia bahkan pintar, bukan seperti kamuyang hanya bisa menjual diri demi populer!” Nada suara pria itu penuh ejekan.

“Dia bikin aku bangga. Bukan kayak kamu, Luna. Kamu cuma bawa sial, pembunuh, dan aib keluarga.”

Orion tak sadar, jemarinya mengepal. Rahangnya menegang, matanya gelap.

Setiap kata dari pria itu seperti racun tapi yang diracuni bukan hanya Luna, melainkan dirinya juga.

Luna masuk ke kamar beberapa detik kemudian, matanya langsung membulat melihat Orion memegang ponselnya.

“Rion, itu—”

Suara di seberang masih terdengar.

“Dan satu hal lagi! Jangan berani-berani pulang ke Jakarta. Kalau kamu datang, aku nggak akan akui kamu anakku! Jangan pernah pakai nama Carter lagi!”

Klik.

Sambungan terputus.

Luna berdiri kaku.

Suara napasnya bergetar, matanya berkaca-kaca. Dia berjalan mendekat, mengambil ponsel dari tangan Orion dengan pelan.

“Dia… dengar suara kamu?” tanya Luna lirih.

Orion menggeleng pelan. “Aku cuma sempat dengar semuanya.”

Air mata Luna menetes tanpa bisa ditahan. “Aku udah duga dia nggak akan berubah.”

Orion menatapnya lama, lalu berkata dengan nada yang nyaris bergetar.

“Kalau aku bisa, aku pengen temui orang itu dan suruh dia lihat,kamu bukan aib, Luna.”

Luna menunduk, menutup wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar.

Orion mengulurkan tangan, menggenggam jemari Luna dengan lembut.

“Dengar aku,” katanya pelan. “Kamu bukan gagal. Kamu cuma jatuh di waktu yang salah.”

Luna menangis pelan, dan kali ini Orion tidak menahan diri.

Dia menarik Luna pelan ke arahnya, membiarkannya bersandar di dadanya.

Suara tangisnya pecah di dada Orion, tapi pria itu hanya diam, memeluknya erat.

Dada Orion naik turun, menahan emosi yang menumpuk.

Di luar, angin malam bertiup lembut, membawa bau hujan yang tertahan.

Dan di antara isak tangis Luna, Orion menutup matanya pelan.

Dalam hati, satu kalimat terucap lirih kalimat yang bahkan Luna tidak dengar.

“Kalau dunia terus menyakitimu, biarkan aku jadi tempat kamu pulang.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!