Naren kehilangan pekerjaannya dan terpaksa kerja serabutan demi menghidupi istri serta tiga anaknya.
Namun pengorbanannya tidak cukup untuk menahan hati Nadira, sang istri, yang lelah hidup dalam kekurangan dan akhirnya mencari kenyamanan di pelukan pria lain.
Di tengah getirnya hidup, Naren berjuang menahan amarah dan mempertahankan keluarganya yang perlahan hancur.
Mampukah Naren tetap mempertahankan keluarga kecilnya di tengah peliknya kehidupan? Menurunkan Ego dan memaafkan istrinya demi sang buah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susanti 31, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyadari kesalahan
Kaki panjang Naren terus melangkah secara terburu-buru sampai akhirnya tiba di depan ruang operasi. Dunianya seakan hancur melihat wanita paruh baya yang selalu tersenyum menyambut kedatangannya, kini meneteskan air mata saat ia tiba di sana.
Naren tidak kuasa menahan bulir-bulir bening terjatuh di sudut matanya kala pelukan hangat dan lolongan tangisan menyentuh indera pendengarannya.
"Padahal ibu nggak butuh apapun selain ayah pulang dengan selamat, tapi kenapa jadi seperti ini Naren?" lirih ibunya dalam pelukan.
Naren mengelus punggung bergetar itu, bahkan untuk bersuara saja ia seolah tidak memiliki kekuatan.
"Bagaimana kalau ayah ...."
"Ayah akan baik-baik saja Buk," bisik Naren tepat di telinga ibunya. Cukup lama ia terdiam sampai bisa menguasai perasaanya yang hancur.
"Kita harus memikirkan yang baik-baik. Sebab pikiran positif akan membawa dampak positif pula di hidup kita."
Ia mendorong pundak ibunya pelan, berusaha tersenyum meski ia tidak baik-baik saja.
"Dokter akan keluar dari ruang operasi membawa kabar baik untuk kita." Naren menghapus air mata di pipi ibunya.
"Ibu sudah makan?" tanya Naren dan dijawab gelengan oleh ibunya. "Tunggu di sini, Naren cari makan dulu untuk ibu."
Naren membimbing ibunya untuk duduk di kursi depan ruang operasi, setelahnya pergi untuk mencari sesuatu demi mengisi perut ibunya.
Saat jauh dari ibunya, Naren menghentikan langkahnya. Ia menepuk dadanya yang terasa sesak, bernapas saja sulit ia lakukan. Tanpa sadar lututnya mendarat pada lantai dan menangis, ia tidak peduli pada orang di sekelilingnya.
Lama Naren dalam posisi itu sampai ia merasakan pelukan hangat dari seseorang. Pelukan yang selalu membuatnya tenang dulu. Ia mendongak dan mendapati mantan istrinya menatap ia penuh luka.
"Ayah, Nadira," lirih Naren.
"Iya Mas, aku juga baru dengar kalau ayah masuk rumah sakit. Yang kuat ya mas, ayah pasti baik-baik saja," lirih Nadira.
Naren mengangguk dan kembali menikmati pelukan hangat mantan istrinya. Itu terjadi beberapa menit sampai akhirnya Naren bisa menguasai dirinya.
"Terimakasih sudah menenangkanku," lirih Naren.
"Sama-sama." Nadira mengangguk.
Keduanya berjalan beriringan menuju ruang operasi yang berada di lantai dua, usai membeli makan siang untuk ibunya.
Ada rasa canggung yang hinggap di benak masing-masing padahal mereka pernah menjadi sepasang suami istri yang bahagia. Sesekali Naren melirik Nadira, begitupun sebaliknya.
"Kalau mas dan ibu ada di sini, lalu siapa yang menemani anak-anak?"
"Shanaya."
"Kenapa nggak menghubungiku untuk menemani anak-anak mas?"
"Aku sangat kacau tahu ayah masuk rumah sakit sampai nggak bisa berpikir jernih." Naren menjeda kalimatnya, berhenti melangkah dan menghadap Nadira. "Untuk sementara waktu aku bisa menitipkan anak-anak padamu?"
"Bisa Mas, lagi pula aku ibunya." Nadira mengangguk.
....
Seperti permintaan Naren, Nadira langsung ke rumah mertuanya untuk menemui anak-anak. Langkahnya berhenti tidak jauh dari kehebohan yang terjadi.
Anak-anaknya tampak bahagia bermain dengan Shanaya, sama sekali tidak canggung. Bahkan saat masih bersama Naren ia tidak pernah bermain sebahagia itu dengan mereka.
Menyaksikannya secara langsung menyadarkan Nadira betapa tidak bersyukurnya ia dulu sebagai ibu dan istri. Menyia-nyiakan anak-anak mengemaskan dan suami yang baik padanya.
"Ibu!"
Sudut bibir Nadira tertarik mendengar panggilan putra keduanya. Di susul oleh Naresa yang berlari ke arahnya. Ia berlutut sehingga memudahkan dua anak laki-laki memeluknya erat. Namun yang lebih mengemaskan lagi, anak perempuannya ikut menghampiri meski jalan sesekali dan terjatuh. Tawanya yang riang menghangatkan hati dua wanita dewasa yang berdiri dengan jarak sedikit jauh.
Baik Shanaya dan Nadira, mereka hanya fokus pada anak-anak pintar nan mengemaskan itu.
"Ibu ke sini untuk menjemput kalian. Untuk sementara tinggal sama ibu dulu, soalnya ayah dan nenek lagi sibuk," ujar Nadira.
"Aku pikir dalam situasi seperti ini kamu juga nggak akan muncul," ujar Shanaya berjalan mendekat.
"Terimakasih sudah menjaga mereka untukku."
Shanaya mengeleng, tidak setuju ucapan terimakasih Nadira. "Aku menjaganya bukan untukmu, tapi untuk Naren. Lagi pula memangnya kamu nggak marah aku dekat dengan mereka?"
"Nggak, meski ada rasa iri sedikit sebagai seorang ibu yang melihat anak-anaknya lebih bahagia bersama wanita lain. Tapi aku harus belajar menerima, sebab kesempatanku untuk kembali sudah hilang."
Nadira akhirnya menyerah setelah pertemuan malam itu. Pertemuan di mana Naren menyatakan benar-benar tidak ada kesempatan lagi untuk mereka bersama. Dia sadar ini salahnya dan tidak seharusnya ia egois memaksa untuk kembali. Menggali luka yang ia ciptakan di hati Naren.
"Aku akan membawa mereka pergi, terimakasih."
...
"Naren ...."
Naren yang sejak tadi menunduk langsung mendongak. Ia tersenyum pada wanita yang langsung duduk di sampingnya.
"Anak-anak?"
"Sudah diambil sama Nadira. Bagaimana keadaan om?"
"Kondisi ayah belum stabil setelah keluar dari ruang operasi. Katanya ada pendarahan parah di otak sebab pukulan keras di kepala bagian belakang," jelas Naren sesuai informasi dari dokter tadi.
Ayahnya bukan kecelakaan, tetapi korban kekerasan dari pihak tidak bertanggung jawab saat ingin mengambil uangnya kembali. Menempuh jalur hukum pun akan sulit sebab bukti di tangan ayahnya kurang kuat untuk mengklaim uang tipuan. Melapor ke polisi dengan kasus tindak kekerasan sama saja, mereka kurang bukti.
"Terimakasih Nay."
"Sama-sama, semoga om cepat sembuh."
Naren mengangguk sebagai jawaban dan kembali menunduk sehingga tidak menyadari tatapan Shanaya yang berbeda.
"Mau menemaniku makan di luar? Aku terlalu sibuk sampai belum makan sejak siang," ujar Shanaya.
Naren melirik sebentar sebelum akhirnya berdiri menyadari di luar sudah gelap.
"Ayo."
"Serius?" Senyum Shanaya mengembang. Sebenarnya ia sudah makan tadi, saat kembali ke rumah Arina. Tetapi memikirkan Naren yang mungkin belum makan karena banyak pikiran, ia pun berbohong.
"Kebetulan aku juga belum makan," ucap Naren.
Keduanya pun berjalan beriringan untuk mencari makan di sekitar rumah sakit. Naren sudah menawarkan untuk naik mobil saja sebab tahu Shanaya bukan orang kalangan menegah sepertinya. Tetapi Shanaya lebih memilih berjalan kaki.
"Malam-malam seperti ini enaknya makan apa?" tanya Shanaya.
"Kamu maunya makan apa?"
"Naren aku bertanya loh, kok malah tanya balik." Shanaya tertawa kecil, bahkan tangannya penepuk pundak Naren pelan.
"Sate ayam mau?" tawar Naren yang kebetulan melihat warung makan sederhana dengan menu utama sate.
"Mau, tapi nanti bantu pisahin tusuknya ya. Aku nggak bisa makan dari tusuknya langsung, takut susuk aku hilang." Shanaya menahan senyum.
"Pantesan cantik, ternyata pakai susuk," celetuk Naren.
"Serius aku cantik Ren?" Shanaya semakin mengimbangi langkah Naren yang sepertinya sengaja di percepat. "Naren jawab ih, aku beneran cantik?"
"Yang bilang kamu jelek siapa Nay?"
"Oh berarti nggak apa-apa makan sate langsung di tusuknya. Kalau susuknya hilang tetap cantik."
"Tapi kok aku heran kamu masih sendiri sampai sekarang." Masih fokus jalan padahal baru saja meledek Shanaya. "Kamu pasti terlalu pemilih."
"Iya nih, aku terlalu pemilih makanya masih jomblo padahal kata mama udah tua."
"Tapi wajar sih pemilih. Soalnya wanita nggak boleh menurunkan standarnya hanya untuk mendapatkan pasangan."
"Standar aku, kamu."
"Aku?" Langkah Naren berhenti, menatap Shanaya dengan jarik telunjuk mengarah ke dadanya.
"Iya dari jaman kuliah standar aku, kamu."
"Berarti gampang dapatnya, yang kayak aku mah banyak."
"Tapi aku maunya kamu, gimana dong?"
Shanaya tertawa melihat ekspresi Naren yang sepertinya terkejut. "Bercanda Ren, ayo aku udah lapar." Menarik tangan Naren memasuki warung makan.
.
.
.
.
.
Kayaknya mereka sefrekuensi deh🤭
nyesel senyesel nyeselnya ga tuh Nadira membuang naren .jarang" ada suami seperti naren di dunia nyata
arina sekarang udah jadi istri yang sesungguhnya
semoga kalian bahagia..
terimakasih ka susanti babnya panjangaaaaang banget
aku suka aku sukaaaaaa😍
kenapa sekarang pelit banget seh up nya,,
ayolah mas Naren bilang kalo tante Arina sekarang istri Ayah
jadi kalian juga boleh memanggil Tante Arin mama atau ibu atau bunda wes karepe kalian senyaman nya kalian aja lah
masa cuma satu bab doang,,satu lagi lah ka Santi
ayo mas Naren bantu istri cantikmu buat pecahin telor om bram
eeh masalah om bram maksudnya 🤭🤭
kan mau aku gondol mas Naren nya kalo kamu ga mau😄
persahabatan kalian memang the best