Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pahlawan Pengurai Benang
Nadia sedang fokus menggoreng ikan, membantu Umi Zahra di dapur panti untuk menyiapkan makan malam anak-anak.
Sejak kemenangannya sore itu, Ia lebih memilih pulang ke kabupaten, mencoba menyembuhkan luka–baik kemarahannya pada Dio yang tidak memberitahu masalah Bilqis, maupun rasa sakit gagalnya pernikahan.
Suara riuh rendah anak-anak yang tengah bermain bola menyemarakkan suasana. Dari dapur terbuka di samping halaman luas itu, Nadia dapat menyaksikan keseruan mereka.
"Awas!" teriak anak-anak itu hampir bersamaan ke arah Nadia.
Belum sempat menoleh, tangan Nadia lebih dulu ditarik oleh Dio yang muncul tiba-tiba dari belakang.
Byur! Wush!
Api dengan cepat melahap wajan penuh minyak yang terbalik karena bola yang meleset arah.
"Astaghfirullah!" teriak Umi Zahra panik.
Anak-anak riuh saling menangis ketakutan.
Abi buru-buru menutup kobaran Api dengan beberapa handuk juga kain basah.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Abi pada Nadia juga Dio.
Keduanya baru sadar masih saling berpelukan, lalu buru-buru melepaskan diri.
"Maaf," ucap Nadia sambil menunduk.
"Aku juga," balas Dio, mengusap lengan bajunya yang terkena sedikit tumpahan minyak.
Ternyata minyak panas itu menembus kain lengan bajunya. Dio baru sadar saat melepaskan pelukan. Rasa panas di tangan membuatnya segera melepas kemejanya,
"Astaghfirullah," Nadia menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
"Aku pakai kaus dalam," Dio tersenyum lembut.
"Ah, tanganmu," Nadia menurunkan tangannya, menatap kulit kemerahan yang hampir melepuh di lengan Dio.
...****************...
Mereka duduk di selasar rumah, hari sudah gelap saat anak-anak akhirnya makan malam dengan pecel lele pesan antar dari luar.
Nadia menatap dengan seksama luka yang baru selesai ia beri salep anti-iritasi di tangan kanan Dio. Sementara Dio menatapnya hangat, seperti ada sesuatu yang menjalar di dadanya.
Nadia meniup pelan, lalu menutup salep luka itu. Ritualnya sudah selesai.
Ia berniat beranjak meninggalkan Dio di bangku kayu itu sendiri.
Namun tangan kiri Dio yang leluasa bergerak segera menarik ujung jilbab Nadia pelan.
"Duduk dulu," ucapnya halus.
Nadia memejamkan matanya sebentar. Meresapi aroma tanaman-tanaman Umi Zahra yang menenangkan.
"Maaf, aku sibuk," ujarnya sambil menoleh sekilas pada laki-laki di sampingnya itu, lalu berniat melanjutkan langkah.
"Selamat, ya. Atas kemenangan kamu." ucap Dio sedikit keras.
Nadia yang sudah sampai ambang pintu itu menolehkan badan, menatap jengah ke arah Dio.
Sementara Umi Zahra yang keluar dari dalam berpapasan dengan Nadia.
"Loh, udah selesai, toh?" Umi Zahra bertanya sambil meletakkan sepiring roti gembong dan dua gelas teh manis di meja.
"Sudah, Umi." jawab Dio sambil mengangguk, senyum kecil terbit di wajah tampannya.
"Alhamdulillah, terima kasih banyak ya, Dokter Dio. Sudah nyelametin Nadia," Umi Zahra tersenyum hangat.
Sementara Nadia hendak melanjutkan langkahnya ke dalam, tetapi segera dicegah oleh Umi Zahra.
"Sini, biar Umi aja yang bawain kotak obatnya, kamu temenin dokter Dio dulu, pumpung masih sore." Ibu berwajah bulat itu mengambil barang bawaan Nadia, lalu meninggalkan mereka begitu saja.
Dio yang melihat itu hanya mencebikkan bibir saat Nadia menatapnya.
Suara Jangkrik selepas maghrib itu terdengar bersahutan dari pepohonan di ujung jalan. Suaranya syahdu dan menenangkan.
"Selamat, akhirnya kamu menang," Dio menggeser segelas teh saat mengulangi ucapannya tadi.
Nadia menatap laki-laki itu sekilas, sejak sore setelah sidang itu Nadia belum berbicara sepatah katapun kepadanya.
"Menang, ternyata bukan berarti senang, ya?" lirih Nadia, hampir kepada dirinya sendiri.
Dio menatap ke jalanan yang sudah gelap. Wangi teh dan roti hangat beradu lembut di udara, tetapi tidak dengan suasana hatinya. Ada rasa bersalah yang menggantung di dalam sana.
"Kamu yakin, nggak sedang memanfaatkan aku?" Nadia melipat tangan di dada, melempar tatapan tajam pada Dio.
"Nad, aku tahu, kalimat ini nggak mungkin menenangkan kamu," Dio menatap mata Nadia lembut.
"Aku berniat ngasih tahu kamu setelah persidangan ini selesai, setelah hak asuh Bilqis resmi di kamu, intinya setelah semuanya clear."
"Tetapi, aku juga nggak nyangka kalau semuanya jadi makin rumit kayak gini," Dio perlahan memberi penjelasan.
"Kamu sengaja manfaatin aku buat dapetin warisan Bilqis itu, kan?" tuduh Nadia.
Masuk akal, apa yang dipikirkan Nadia tentang Dio.
"Aku, baru tau kalau keluarga Arkan juga sadar tentang warisan yang Ayah siapkan, aku kira itu masih rahasia hingga detik ini,"
"Ayah menyiapkan dana yang besar di luar negeri, sebelum beliau meninggal, lima tahun lalu tepat setelah Bilqis lahir,"
Nadia menatap Dio tidak paham.
"Ternyata bukan hanya aku dan Rega, tapi, Sheila juga tahu itu, dan mengatakan pada Bu Asri." Dio menutup penjelasan.
"Lalu, pengacara yang mendatangkan Ayu?" mata Nadia penuh selidik.
"Aku baru dikabari Juan, setelah sidang." Dio menatap lantai pasrah.
Sore itu, setelah Ayu masuk ruang persidangan. Dio mendapat telepon dari Juan.
"Surprise!" teriak Juan di ujung telepon.
Dio masih terdiam, mencerna rencana yang bawahannya itu lakukan.
"Bagaimana, pak? Bahkan utang Ayu yang bapak bayarkan itu, tidak seberapa dengan uang yang Bapak sembunyikan." Suara Juan dingin.
Dio memang belum mengatakan perihal uang warisan itu kepada siapapun. Ia menepati permintaan Rega sebelum meninggal.
Rega memintanya untuk menjaga Bilqis, karena adopsi yang tiba-tiba, lima tahun lalu itu, atas paksaan, karena dia harus berada di rumah sakit jiwa.
Asri yang menyetujui, atau lebih tepatnya memaksa secara halus waktu itu.
"Siapa Juan?" Nadia menarik Dio dari bayangan masa lalu.
"Orang kepercayaanku, orang yang menghamili Ayu." Dio menatap Nadia tepat di matanya.
"Jadi rencanamu sematang ini, tapi melupakan fakta bisa saja keluarga mas Arkan tahu tentang warisan itu?" sanggah Nadia.
"Kami sama-sama memiliki dendam dengannya. Aku dengan kematian Ayah dan dia dengan hutang Ayu." Dio menjelaskan tanpa ada yang ditutupi. Dari perkataannya ia menyimpan luka yang dalam.
Tentang kehilangan pegangan hidup sekaligus penghianatan. Dio yang sedari kecil sudah kehilangan sosok Ayah, lalu kembali mendapatkan kasih sayang dari pria lain yang menjadi Ayah sambungnya, Wicakdarto.
Ayah sambungnya itu bukan hanya baik, tetapi tulus mencintai, bahkan kepada siapapun. Yayasan yang ia bangun bersama Umi Zahra, adalah salah satu wujud kepeduliannya terhadap sesama.
Termasuk Ayu, penyebab bunuh diri itu, setidaknya menurut keyakinan Dio.
Harta yang diwariskan atas nama Bilqis juga, sebenarnya bertujuan untuk diberikan pada Yayasan, tetapi justru itu kini menjadi bumerang yang diperebutkan.
"Baik, terimakasih banyak Pak Lurah, selamat jalan," Abi tiba-tiba keluar mengantar tamu yang sedari tadi datang, tetapi tidak Nadia maupun Dio ketahui.
Juan, tamu itu. Ia melirik sinis pada Dio. Ia segera berlalu setelah tersenyum kecil pada Nadia, tanpa menyapa laki-laki di sampingnya.
Nadia merasa Juan tidak asing baginya, ia mengingat-ingat pernah bertemu dengannya dimana.
Juan melangkah pergi, bayangannya lenyap di balik pagar halaman.
Dio mendadak berdiri. Tatapannya tajam ke arah lampu remang di ujung jalan.
“Cari Umi Zahra—tanya keadaan Bilqis. Sekarang.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berlari keluar panti asuhan Cinta Ibu.
sama j nh kek jemuran aku .di gntung.tanggung itu lo jee..mau kau buat ap itu si ayu ..apakh dia sudah sadar n memihak nadia..lanjut..jgn lamaaaa