Shinamura Haruki, seorang siswa SMA kelas dua berusia 16 tahun, baru saja mengalami patah hati terburuk. Empat bulan lalu, cintanya ditolak saat malam Natal. Dalam kesedihan, ia memutuskan untuk membeli kopi sebelum pulang, tapi takdir berkata lain. Ia malah ditabrak oleh Aozora Rin, gadis teman satu sekolahnya. Bagaimana pertemuan tak terduga ini akan mengubah kisah cinta mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abdulpro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia Kita Berdua
Suasana di ruang makan begitu hidup, dipenuhi tawa dan senda gurau. Aroma masakan lezat yang dibuat Aika dan Yui seolah membius, membuat semua orang tak henti menambah porsi.
“Wah, lihat Renji,” ledek Souta, menunjuk tumpukan nasi di piringnya. “Sudah nambah berapa kali, tuh?”
Seketika, semua mata beralih ke Renji. Tawa berderai, bahkan Yui ikut tergelak.
Namun, dibalik tawanya, ada sorot mata penuh kebahagiaan yang sulit ia sembunyikan. Sorot itu memancarkan kekaguman, seolah hanya ada Renji di sana.
Renji mengangkat wajah, tatapan mereka bertemu. Yui tersenyum manis.
“Kalau masih kurang, aku bisa masakin lagi, kok,” tawarnya lembut.
Renji hanya bisa membalas dengan senyum malu-malu, pipinya sedikit merona. Mereka melanjutkan makan hingga tak sebutir nasi pun tersisa.
Usai makan, Rin, Haruki, Souta, dan Hana bergerak cepat membantu menata piring kotor. Naomi dan Renji sudah siap di dapur untuk mencuci.
Sementara itu, Aika dan Yui memutuskan untuk mandi, menunggu giliran karena pemandian air panas sedang dibersihkan.
Di dapur, piring-piring menumpuk di wastafel.
Haruki dan Hana berdiri berdampingan, tangan mereka penuh tumpukan piring yang baru saja mereka angkut.
Keheningan yang menyelimuti tiba-tiba dipecah oleh bisikan pelan Hana.
“Haruki,” suaranya begitu hati-hati.
“Tadi malam kamu habis ngapain sama Rin? Sampai-sampai tidur di luar.”
Haruki tersentak, piring di tangannya nyaris terjatuh. Ia menoleh cepat pada Hana, matanya membelalak kaget.
“Sstt, jangan keras-keras!” bisiknya panik, melirik ke arah ruang makan untuk memastikan tidak ada yang mendengar.
“Jadi… kamu yang nulis surat itu?” Haruki berbisik lagi.
Kali ini dengan nada kesal sekaligus malu. “Niat banget sih gak bangunin aku!”
Hana hanya terkekeh pelan.
“Aku tidak tega,” jawabnya santai sambil meletakkan piring kotor di wastafel dan diterima oleh Naomi.
“Kalian terlihat begitu romantis. Kalau aku bangunkan, nanti aku yang jadi nyamuk, hehehe.”
Pipi Haruki memerah. Ia membuang pandangan ke bawah, salah tingkah.
Setelah piring-piring kotor berhasil dipindahkan, Haruki berjalan keluar menuju teras. Di sana, Souta dan Rin sedang duduk santai, menunggu giliran mandi. Rin memegang handuk dan pakaiannya.
“Haruki, sini!” panggil Souta sambil melambai.
Haruki menghampiri mereka dengan sapu di tangan.
“Sudah beres semua kan?” tanya Souta.
“Kalau sudah, tolong beliin sampo sama sabun cair. Kata Aika, persediaannya tinggal sedikit.”
Souta merogoh saku celananya, mengeluarkan beberapa lembar uang.
“Nih, uangnya. Kembaliannya ambil aja buat kamu.”
Haruki melipat uang itu, menyimpannya di saku baju.
Saat ia hendak melangkah, Rin tiba-tiba menyusul.
“Aku ikut,” ucap Rin, suaranya pelan.
“Sekalian mau beli minuman.”
Haruki mengangguk. Mereka berjalan beriringan menyusuri lorong yang sepi.
Udara pagi terasa sejuk, tetapi suasana di antara mereka justru terasa canggung dan hening.
Peristiwa semalam masih membekas, mengambang seperti kabut tebal yang tak kunjung sirna.
Haruki bingung harus bersikap apa, sementara Rin larut dalam pertanyaan yang terus berputar di benaknya.
“Apa yang Haruki katakan semalam? Apa itu hanya mimpi? Tapi kenapa aku bisa mendengarnya begitu jelas dan merasakan sentuhannya?”
Di tengah kesunyian lorong, Rin memberanikan diri. Ia berhenti melangkah, membuat Haruki ikut terhenti.
"Haruki," suara Rin terdengar ragu.
"Maaf kalau aku bertanya aneh-aneh. Sebenarnya, tadi malam… setelah kita melihat bulan, aku mulai mengantuk dan kesadaranku hilang. Apa kamu tahu apa yang terjadi setelahnya?"
Jantung Haruki berdegup kencang. Ada perasaan cemas, takut jika apa yang ia lakukan membuat Rin tidak nyaman.
"Sebelum aku cerita," Haruki menatapnya serius. "Janji dulu, jangan kasih tahu siapa pun. Ini
rahasia kita berdua."
Rin mengangguk cepat. Ia mengulurkan jari kelingkingnya, dan Haruki menyambutnya. Mereka mengaitkan jari, mengikat janji kecil yang tulus di bawah hangatnya sinar matahari. Haruki menarik napas dalam-dalam.
"Sebenarnya, saat kita menatap langit dan bulan, kamu mulai mengantuk, lalu perlahan jatuh ke pangkuanku. Kamu tertidur pulas sampai aku tak tega membangunkannya."
Rin terdiam, mendengarkan dengan saksama. Pipi Haruki mulai merona.
"Aku juga ikut tertidur. Lalu, kata Hana, dia mencari kita karena tak kembali, dan dia menemukan kita… sedang tertidur sambil kamu memelukku."
Seketika, rona merah menjalar ke seluruh wajah Rin. Ia memasang ekspresi terkejut, panik, dan malu.
"B-benarkah?" ucapnya lirih sambil membuang pandangan dari Haruki. "Aku tidak sengaja, tapi… aku juga merasa nyaman saat tidur di pangkuanmu." Suara Rin menjadi begitu pelan di ujung kalimat.
"Saat kita masih tertidur," lanjut Haruki, "Hana menulis pesan di sobekan kertas, menyuruhku menggendongmu ke kamarmu."
Tubuh Rin terasa kaku. Kisah Haruki seolah menghidupkan kembali potongan-potongan ingatan yang hilang. Ia merenung, mencoba mencocokkan cerita itu dengan perasaannya.
"Tapi…" Haruki kembali melanjutkan. "Sebelum aku keluar dari kamarmu, aku merasa kamu seperti mengatakan sesuatu."
Rin mengerutkan dahi, mencoba mengingat. "Oh, ya?" Ia bingung. "Memangnya, aku bilang apa?"
Haruki tersenyum penuh arti. Ia mendekatkan wajahnya, membisikkan sesuatu di telinga Rin.
"Saat kamu tertidur, kamu bilang, ‘Haruki, jangan pergi, aku.....'.’"
Haruki tidak sanggup untuk mengatakan lanjutannya.
Seketika, wajah Rin memerah padam, lebih merah dari sebelumnya. Jantungnya berdebar tak karuan.
Ia tidak percaya. Mimpi yang ia pikir hanya fiksi, kini terasa begitu nyata dan menghangatkan. Di tengah lorong yang sepi, Haruki dan Rin berdiri dalam keheningan yang penuh makna, menyadari bahwa apa yang terjadi di antara mereka adalah lebih dari sekadar kebetulan.
"Tidak mungkin! Kok mimpiku bisa jadi ucapan nyata?" Rin gelagapan.
“Sebenernya kamu lagi mimpiin apa sih semalam?’ tanya Haruki begitu penasaran.
Rin memalingkan wajahnya, “Aku…. Enggak! Itu.. aku ga inget”. Menyangkal dengan cepat.
"Tapi… setelah aku mengatakan hal itu dalam mimpiku, aku seperti mendengar jawaban darimu. Apa itu benar kamu yang mengatakannya?" tanyanya penasaran, pipinya masih merah.
"I-iya, maaf aku tidak sopan," jawab Haruki. Tanpa menunggu respons Rin, ia berjalan cepat meninggalkannya.
Sepanjang perjalanan, Haruki mulai menyesali perbuatannya.
“Bodohnya aku! Padahal aku sudah berusaha untuk diam, kok malah keceplosan, sih!” Haruki menggaruk tengkuknya, lalu menutupi wajahnya yang memerah karena malu.
Di sisi lain, Rin hanya bisa terdiam sendiri di lorong, menatap Haruki yang berjalan menjauh.
Dalam batin Rin, beban pikirannya perlahan terangkat. Jadi benar, itu bukan mimpi. Dia mengatakannya langsung padaku. Perlahan, Rin mulai tersenyum, sedikit demi sedikit rasa bahagia menyelimutinya.
“Aku pun tidak mengharapkan jawabanmu itu hanyalah ucapan dari mimpiku, kamu benar-benar mengatakan perasaanmu padaku. Aku begitu senang.” bisiknya dalam hati Rin.
Ia menantikan pengakuan Haruki, meskipun masih belum pasti apakah Haruki mengatakannya hanya iseng atau benar-benar serius. Rin berlari kecil, kembali berjalan di sisi Haruki.
"M-maaf, Rin," ucap Haruki, suaranya terdengar canggung. Ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Tadi malam aku cuma iseng kok, iya, iseng… tidak lebih, hehe."
Rin hanya tersenyum tipis, menatap Haruki yang berusaha keras menyembunyikan kebohongannya. Meski begitu, Rin memilih diam, seolah memercayainya.
"Iya, tidak apa-apa," jawab Rin, mengingatkan janji mereka. "Tapi janji, ya, jangan cerita hal ini ke siapa-siapa."
Haruki mengembuskan napas lega. "Iya, aku janji. Terima kasih, Rin. Tadi malam kamu sudah mau menemaniku. Pikiranku benar-benar kacau dan aku sangat lelah, tapi berkat bersamamu, semua beban itu seakan lenyap."
Mendengar itu, Rin menghentikan langkahnya. Ia menoleh, menatap Haruki dalam-dalam, lalu mengangkat tangannya dan memegang lembut pipi Haruki. Gerakan itu begitu halus, seolah sedang menyentuh benda paling berharga.
"Kamu sudah melakukan semuanya dengan baik," suara Rin terdengar tulus, matanya memancarkan kehangatan yang mendalam.
"Seharusnya aku yang berterima kasih padamu, karena sudah selalu hadir dalam hidupku. Aku benar-benar bersyukur bisa mengenal orang sepertimu."
Di bawah sinar matahari yang mulai menghangatkan, mereka berdiri berhadapan. Dunia seakan berhenti berputar, hanya ada mereka berdua.
Senyum tulus Rin dan sentuhan lembut di pipi Haruki menjadi jawaban tanpa kata, menegaskan bahwa perasaan yang ada di antara mereka jauh lebih dalam dari sekadar 'iseng' atau 'kebetulan'.
Haruki terdiam sejenak, merasakan hangatnya sentuhan Rin. Perlahan, ia meraih tangan Rin, lalu menurunkannya dari wajahnya dengan lembut.
"Benarkah? Aku juga benar-benar senang bisa selalu bersamamu."
Haruki menggenggam tangan Rin, begitu pun dengan Rin yang membalas genggaman Haruki.
"Kalau begitu, ayo kita ke warung. Souta dan yang lain pasti sudah menunggu sabun dan sampo," ajaknya, suaranya sedikit bergetar.
Rin mengangguk, senyum merekah di bibirnya. "Ayo!"
Mereka mulai berjalan, namun Haruki tak melepaskan genggamannya, begitu juga dengan Rin. Ia justru menggandeng erat tangan Haruki.
Mereka berlari kecil menyusuri jalan, tawa dan bisik-bisik riang mengiringi langkah mereka hingga tiba di depan warung.
Seorang bapak pemilik warung yang sedang merapikan dagangannya menoleh. Ia tersenyum lebar melihat mereka.
“Wah, pagi-pagi sudah romantis begini, ya?” godanya.
“Kalian pasangan pengantin baru? Selamat, ya!”
Mendengar ucapan itu, wajah Haruki dan Rin seketika memerah padam. Mereka saling pandang dengan ekspresi canggung yang menggemaskan, seolah tertangkap basah.
Genggaman tangan mereka mengerat, tetapi tidak ada yang berusaha melepaskannya. Di balik rasa malu itu, ada kebahagiaan yang sulit disembunyikan, membuat pagi yang cerah terasa semakin hangat.
(Bersambung…)