Ketika di bangku SMA, Gaffi Anggasta Wiguna dan Bulan Noora selalu berjalan berdampingan layaknya sepasang kekasih yang penuh dengan keserasian. Di balik kedekatan yang mengatasnamakan pertemanan, tersembunyi rasa yang tak pernah terungkapkan. Bukan tak memiliki keberanian, melainkan Bulan Tengah mengejar seseorang. Anggasta memilih jalan sunyi, memendam dan mencoba tetap setia mendampingi sampai kebahagiaan itu benar-benar datang menghampiri perempuan yang sudah membuatnya jatuh hati. Barulah dirinya mundur pelan-pelan sambil mencoba untuk mengikhlaskan seseorang yang tak bisa dia genggam.
Lima tahun berlalu, takdir seakan sengaja mempertemukan mereka kembali. Masihkah cinta itu di hati Anggasta? Atau hanya bayang-bayang yang pernah tinggal dalam diam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fieThaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Egois dan Pemaksa
Gelengan kepala kecil dilakukan. Tatapan matanya masih tertuju pada Anggasta yang penuh dengan keseriusan.
"Enggak lucu, Gas," ucapnya seraya tersenyum kecil.
Lelaki yang memang tak suka banyak bicara itu segera meraih ponsel di saku celana. Menghubungi seseorang dan sengaja dihidupkannya speaker agar Alma mendengar.
"Opa, katakan kepada opa Setta atur segera acara pertunangan Gagas dengan Alma."
Mata Alma membola. Mulutnya pun tak bisa berkata. Ketika sambungan telepon berakhir, pekikan suara terdengar.
"Jangan bercanda, Anggasta! Ini sungguh tak lucu!"
Tak ada jawaban dari lelaki yang berada di depan perempuan yang sudah meluapkan amarah. Kali pertama dirinya melihat Alma marah.
"Jangan buat dia marah karena itu hanya akan membuat rasa sakit di sekujur tubuh Alma muncul."
Sekarang, terlihat jelas bagaimana mimik wajah Alma yang menahan sakit. Anggasta mulai berdiri dan berpindah tempat ke samping Alma yang untuk bergerak pun begitu sulit. Rangkulan tangan di pundak membuat Alma menoleh. Manik mata mereka berdua bertemu.
"Kalau sakit bilang. Jangan disimpan sendirian."
Alma terhenyak, tapi mulutnya sulit untuk terbuka. Hingga lelaki itu memeluk tubuh sang perempuan dengan begitu erat.
"Mulai hari ini, aku akan selalu ada untuk kamu, Al."
Deg.
Kalimat yang terucap membuat detak jantung Alma berhenti berdetak untuk sesaat. Namun, rasa sakit di tubuh perlahan menguar membuatnya kebingungan.
Pelukan terurai. Tatapan Anggasta begitu dalam. Hingga sebuah kecupan mendarat di kening perempuan yang sedari tadi tak bergerak.
"Mulai sekarang, apapun tentang kamu aku harus tahu. Begitu juga sebaliknya."
Sesekali Alma menatap Anggasta yang berada di dalam mobil. Memilih mengantarkannya ke kantor padahal ada sopir yang setia mengantar jemput perempuan itu.
"Berikan aku penjelasan, Gas."
Senyuman Anggasta ukirkan. Ditatapnya Alma ketika mobil sudah berhenti di lampu merah.
"Tidak ada salahnya kita membahagiakan opa. Baik Opa kamu dan opa aku sama-sama ingin melihat cucunya menikah."
"Enggak gini caranya," balas Alma yang juga menatap Anggasta.
Bola mata Alma menatap ke arah tangan yang sudah Anggasta genggam. Kehangatan pun dia rasakan.
"Perihal cinta akan tumbuh karena terbiasa. Enggak apa-apa kamu belum mencintai aku juga."
"Apa kamu sudah cinta aku?" Sebuah pertanyaan yang membuat Anggasta terdiam. Sedangkan Alma menanti sebuah jawaban.
"Aku sayang kamu." Alma tersenyum tipis.
"Aku juga sayang kamu, Gas. Tapi, yang aku tanya sekarang cinta. Bukan sayang." Alma belum puas dengan.jawaban Anggasta.
"Rasa cinta muncul berawal dari rasa sayang. Dan aku yakin, ke depannya aku akan mencintai kamu, Al. Menjaga kamu dan menjadikan kamu ibu rumah tangga yang hanya menengadahkan tangan dengan berleha-leha di rumah sambil menunggu suami pulang. Akan aku realisasikan keinginan kamu tempo hari."
Seketika mata Alma memerah. Matanya sudah berair walau hanya mendengar kalimat tersebut. Usapan lembut di pipi putihnya membuat air mata Alma menetes tanpa aba. Bulir bening itu diseka dengan sangat lembut. Juga tatapan Anggasta yang begitu hangat.
"Jangan pernah menangis sendiri. Ada dada dan bahu aku untuk dijadikan tempatmu mengadu."
Alma tak bisa berkata. Hanya air mata yang kembali menetes membasahi wajah. Namun, ketulusan itu masih menyimpan tanya. Apakah Anggasta sungguh tulus kepadanya? Sudah terlalu banyak kecewa yang dia terima dari manusia. Sekarang, apakah dia harus percaya?
✨
Baru saja menginjakkan kaki di rumah, seseorang sudah menghadangnya dengan tatapan begitu datar. Tanpa orang itu berkata, Anggasta tahu apa isi kepalanya. Dan kini mereka sudah berada di kamar Anggasta.
"Hati Gagas yang nyuruh kayak gini, Kak. Hati Gagas perih pas tahu tentang keadaan Alma sebenarnya. Dan Gagas juga lihat gimana Alma nahan sakit."
Gyan yang tak lain adalah sang kakak masih terdiam. Menatap wajah adiknya dengan begitu lamat.
"Hati kecil Gagas ingin jaga dia, Kak. Supaya dia punya tempat untuk pulang karena Opa Setta sudah renta." Begitu serius perkataan Anggasta.
"Apa kamu mau punya istri 'penyakitan'?" Pertanyaan itu terdengar sarkas. Tapi, Gyan bertanya perihal kenyataan yang ke depannya harus adiknya hadapi.
"Tubuhnya tidak sakit, Kak. Hanya saja psikisnya yang harus disembuhkan agar sakit yang dideritanya pergi dan tak kembali."
Gyan terus menelisik wajah Anggasta. Mencari sesuatu yang bisa dia Kulik lagi.
"Apa Karena rasa iba?"
Pertanyaan kali ini membuat Anggasta terdiam. Semakin mematunglah tubuhnya ketika tatapan bagai elang kakaknya tunjukkan.
"Jika, iba yang menjadi alasannya. Lebih baik batalkan," titah Gyan dengan tegas. "Iba akan hilang seiring berjalannya waktu."
"Jangan mempermainkan pertunangan apalagi pernikahan. Bukan hanya Tuhan yang benci akan hal itu. Keluarga kita pun mengharamkan hal itu." Sebuah petuah akhirnya terucap dari mulut Gyan untuk sang adik sebelum pergi meninggalkan kamar Anggasta.
Ditatapnya langit-langit kamar. Masih terngiang ucapan kakaknya barusan. Ucapan Gyan membuatnya menelaah hati. Iba atau emang sayang. Getaran ponsel membuat matanya beralih pada benda segiempat. Tertulis nama Alma di sana.
"Jangan memaksa, Gas. Kamu berhak bahagia dengan perempuan yang jauh lebih sempurna dibandingkan aku."
Anggasta tersenyum tipis. Segera dia beranjak dari kamar. Tak mengganti pakaian dan langsung melajukan mobil menuju suatu tempat.
Tubuh seorang perempuan mematung ketika Anggasta berada di ruang tamu. Sedangkan jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Tubuh tinggi itu mulai mendekat. Diraihnya tangan kiri Alma. Dan sebuah benda yang berbentuk lingkaran mulai dipasangkan di jari manis.
"Kali ini aku akan menjadi orang yang egois dan pemaksa. Kamu enggak boleh menolak keinginan aku untuk bertunangan dengan kamu."
Dagu perempuan berwajah tanpa riasan make up mulai Anggasta raih. Jantung Alma seketika berdegup kencang karena bibir yang sedari tadi melengkungkan senyum sudah semakin mendekat. Matanya melebar ketika bibir Anggasta sudah menyentuh bibir miliknya. Menyesapnya dengan lembut. Terkejut sudah pasti, tapi tubuh Alma tak bisa bergerak.
Senyum lebar melengkung di wajah Anggasta setelah wajahnya menjauh. Ibu jarinya mulai mengusap lembut bibir Alma yang basah.
"Opa Setta pasti akan menonton adegan barusan dari cctv."
Mata Alma terbelalak mendengarnya. Tawa Anggasta pun pecah melihat wajah terkejut seorang Alma Mahira. Sontak tangan Alma memukul dada lelaki itu dan hal tak terduga Alma dapatkan. Di mana tangannya ditarik dengan lembut agar masuk ke dalam dekapan Anggasta.
"Aku sudah merusak kamu. Itu tandanya aku harus bertanggung jawab."
"Me-merusak?"
Anggasta mengendurkan pelukannya. Menatap dalam manik cantik yang ada di depannya. Jari Anggasta sudah menyentuh bibir Alma.
"Aku sudah mencium kamu," jawabnya dengan serius. "Opa bilang jika sudah merusak harus mampu bertanggung jawab. Dan aku akan melakukan itu."
Jantung Alma sudah berdegup kencang ketika wajah lelaki itu mulai mendekat kembali. Untungnya tujuan wajah itu ke telinga.
"This my first kiss."
...**** BERSAMBUNG ****...
Mana dong komennya ...
mewek
lnjut trus Thor
semangat
apalagi cinta....alma