Anya gadis cantik berusia 24 tahun, terpaksa harus menikahi Revan CEO muda anak dari rekan bisnis orangtuanya.
Anya tidak bisa berbuat apa-apa selain mengiyakan kesepakatan kedua keluarga itu demi membayar hutang keluarganya.
Awalnya ia mengira Revan mencintai tulus tapi ternyata modus, ia hanya di jadikan sebagai Aset, untuk mencapai tujuannya.
Apakah Anya bisa membebaskan diri dari jeratan Revan yang kejam?
Jika ingin tahu kisah Anya selanjutnya? Langsung kepoin aja ya kak!
Happy Reading...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon riniasyifa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Damian melangkah keluar kamar dengan perasaan khawatir, ia takut terjadi sesuatu sama Anya. Namun saat langkahnya tepat di ambang pintu, ia mendapati Anya ternyata sedang membantu Nenek Minah dan Kakek Harjo menyiapkan sarapan di dapur. Senyum lega langsung tersungging di bibirnya.
"Anya baik-baik saja, itu yang terpenting," batin Damian, dadanya menghangat.
Ia lalu melangkah mendekat dan menyapa semuanya, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih terasa di tubuhnya, terutama di bagian punggungnya yang masih berdenyut nyeri.
"Selamat pagi," sapa Damian, senyum tipisnya berusaha terlihat cerah, meski hatinya masih diliputi kecemasan.
Ketiganya menoleh ke arah Damian. "Selamat pagi, Nak," balas Nenek Minah, tatapannya penuh perhatian. "Bagaimana keadaanmu pagi ini? Apa masih terasa sakit?" tanyanya lembut, matanya menelisik setiap inci wajah Damian, mencari tanda-tanda kelelahan atau kesakitan.
Sedangkan Anya hanya tersenyum tipis pada Damian, senyum yang menenangkan dan penuh pengertian. Lalu, ia kembali fokus pada tempe yang sedang ia goreng, aroma gurihnya memenuhi dapur sederhana itu.
"Sudah jauh lebih baik, Nek, terima kasih," jawab Damian, berusaha meyakinkan. Ia melangkah mendekat ingin bergabung membantu, namun Kakek Harjo segera mencegahnya.
"Sudah, Nak, kamu tunggu saja di ruang tamu. Biar Nenek dan Anya yang selesaikan," ujar Kakek Harjo sambil membawa dua gelas kopi di tangannya. Aroma kopi yang kuat langsung menusuk hidung Damian, membuatnya merasa sedikit lebih segar dan mengusir sisa-sisa mimpi buruknya semalam. Ia menyerahkan satu gelas kepada Damian.
"Lebih baik kita ngopi saja dulu, sarapan sudah siap, tinggal disajikan aja," jelas lanjut Kakek Harjo sambil berjalan ke ruang tamu lalu duduk lesehan di atas tikar yang sudah disediakan. Sinar matahari pagi menembus jendela, menerangi tikar yang terbuat dari anyaman pandan itu, menciptakan suasana hangat dan nyaman.
Damian akhirnya mengalah dan mengikuti langkah Kakek Harjo dengan senang hati. Ia mengendus pelan aroma kopi yang masih panas itu, membangkitkan kenangan tentang masa lalunya yang kelam. Ia menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengenyahkan pikiran-pikiran itu, fokus pada kehangatan kopi di tangannya dan kebaikan hati orang-orang di sekitarnya.
Anya dan Nenek Minah mengangguk setuju lalu keduanya langsung menyiapkan sarapan. Satu per satu hidangan sederhana itu disajikan di atas tikar. Nasi putih hangat mengepulkan aroma yang menggugah selera, sayur lodeh dengan kuah santan yang kental, ikan asin goreng yang renyah, tempe goreng yang baru matang, dan sambal terasi yang pedasnya membangkitkan selera.
Anya terlihat bersemangat membantu Nenek Minah, senyumnya merekah saat menata piring di atas tikar, hatinya dipenuhi rasa syukur atas kebaikan yang telah mereka terima.
Setelah semua selesai disajikan, kini mereka berempat langsung duduk melingkar di atas tikar sambil menyantap sarapan paginya. Meskipun sederhana, rasanya sangat nikmat. Apalagi Anya dan Damian merasa diperlakukan seperti anak sendiri oleh Nenek Minah dan Kakek Harjo. Kehangatan keluarga yang sudah lama tidak mereka rasakan, mengisi hati mereka dengan kebahagiaan yang sederhana namun mendalam.
Setelah sarapan, Kakek Harjo mengajak Damian duduk di depan teras. Nenek Minah dan Anya membereskan sisa-sisa sarapan mereka tadi di dapur. Suara gemericik air dan dentingan piring terdengar samar dari dalam rumah, menciptakan suasana yang tenang dan damai.
"Damian," Kakek Harjo memulai pembicaraan dengan nada serius. "Kakek tidak tahu masalah apa yang sedang kalian hadapi. Tapi, Kakek bisa melihat kalian sedang dalam kesulitan," tuturnya hati-hati, matanya menatap Damian dengan penuh perhatian, mencoba membaca pikiran pemuda itu.
Damian terdiam, menundukkan sedikit kepalanya, Ia tahu, ia tidak bisa menyembunyikan masalahnya dari orang tua yang bijaksana ini. Tapi, ia juga tidak ingin membebani mereka dengan masalahnya.
"Aku tidak boleh melibatkan mereka. Aku tidak ingin mereka terluka," batin Damian, hatinya bergemuruh dengan rasa bersalah dan tanggung jawab.
Melihat Damian yang masih enggan bersuara, Kakek Harjo mencoba menyakinkan Damian. "Kakek tidak akan memaksa kamu bercerita. Tapi, kalau kamu butuh bantuan, jangan sungkan untuk meminta," lanjut Kakek Harjo dengan lembut.
Damian mengangkat kepalanya dan menatap Kakek Harjo dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Ia melihat ketulusan di mata Kakek Harjo, tapi ia juga melihat bahaya yang mungkin mengintai jika ia melibatkan mereka.
"Saya sangat berterima kasih atas kebaikan Kakek dan Nenek," kata Damian dengan tulus, suaranya bergetar. "Tapi, saya rasa ... lebih baik kami pergi. Kami tidak ingin merepotkan kalian lebih lama lagi," tutur Damian memilih kata-katanya supaya Kakek Harjo tak tersinggung dengan penolakannya.
"Aku tidak bisa membiarkan mereka menjadi korban Revan," gumam Damian dalam hati, tekadnya semakin kuat untuk melindungi mereka.
Kakek Harjo menghela napas. Ia tahu, ia tidak bisa memaksa Damian. Ia bisa merasakan ketakutan dan kekhawatiran yang menyelimuti pemuda itu.
"Baiklah, Nak. Kalau itu keputusanmu, Kakek tidak bisa menghalangi. Tapi, ingatlah, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kalian," balasnya bijak, senyum tipis menghiasi wajahnya yang keriput, menyimpan kesedihan yang mendalam.
"Terima kasih, Kek," kata Damian. Ia berdiri dan membungkuk hormat kepada Kakek Harjo. Rasa bersalah menghimpit dadanya. Ia merasa seperti seorang pengecut yang melarikan diri dari tanggung jawabnya.
Tak lama kemudian, Damian dan Anya akhirnya berpamitan kepada Kakek Harjo dan Nenek Minah. Mereka mengucapkan terima kasih sekali lagi atas semua kebaikan dan bantuan yang telah diberikan. Anya memeluk Nenek Minah erat-erat, air mata mulai membasahi pipinya, tak rela meninggalkan kehangatan yang baru saja ia rasakan.
"Kami akan selalu mengingat kebaikan Kakek dan Nenek," kata Anya dengan mata berkaca-kaca. "Kami berjanji akan mengunjungi kalian lagi," janji Anya, suaranya tercekat, berharap janji itu bisa ditepati suatu hari nanti.
"Hati-hati di jalan, Nak," pesan Nenek Minah dengan nada khawatir. Ia mengusap lembut pipi Anya yang basah.
"Jaga diri kalian baik-baik, doa kami akan selalu menyertai kalian," ujarnya tulus, matanya memancarkan kasih sayang seorang ibu, memberikan berkat bagi perjalanan mereka.
Damian dan Anya mengangguk dan berjalan keluar dari rumah Kakek Harjo dan Nenek Minah. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan rindang. Suara burung berkicau seolah mengiringi kepergian mereka, menjadi melodi perpisahan yang menyayat hati.
Damian menoleh ke belakang, menatap rumah sederhana itu untuk terakhir kalinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri, ia akan melakukan segala cara untuk melindungi Anya dan memastikan bahwa Kakek Harjo dan Nenek Minah aman.
"Kita akan kemana, Damian?" tanya Anya setelah mereka menempuh setengah perjalanan dari rumah Kakek Harjo dan Nenek Minah, suaranya memecah kesunyian. Ia menatap Damian dengan tatapan penuh harap, mencari jawaban dan kepastian.
Bersambung ....