Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Ambang Kehilangan
Waktu seperti berhenti. Leon berdiri di tengah ruangan kosong itu dengan napas tertahan. Suara detak jam dinding hotel terdengar begitu keras di telinganya. Foto di tangannya bergetar, bukan karena dingin ruangan, tapi karena darahnya mendidih bercampur rasa takut yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Dia meraih ponsel sekali lagi, menekan nomor Dika. Masih tidak ada jawaban. Nada sambung berulang, lalu putus. Ia mencoba menelpon Lana dan dika bergantian tidak ada yang mengangkat.
Otaknya berpacu.
Kemungkinan pertama, Dika tidak sadar ponselnya berbunyi. Kemungkinan kedua, mereka sudah disergap. Kemungkinan ketiga…
Leon tidak berani menyelesaikan pikirannya.
Ia keluar dari hotel hampir berlari. Raka, yang memantau dari mobil di seberang jalan, langsung keluar begitu melihat ekspresi Leon yang panik dan terburu - buru.
"Ada apa?" tanya Raka, matanya menyipit.
"Mereka sudah sampai di rumah," kata Leon singkat, menunjuk foto di tangannya.
Raka mengumpat pelan, lalu menyalakan mobil. "Kita langsung ke sana."
Perjalanan ke rumah terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung selesai. Jalanan sore yang biasanya macet kini seolah mempermainkan mereka, lampu merah terasa lebih lama dari biasanya. Leon mengeraskan rahang nya. tangannya mengepal. Ia sudah pernah berada di situasi berbahaya, tapi kali ini taruhannya bukan bisnis, bukan reputasi, tapi ini nyawa keluarganya.
Sementara itu di rumah tua itu, Lana baru saja keluar dari dapur sambil membawa cemilan untuk Arya. Anak itu sedang duduk di karpet ruang tamu, menggambar sesuatu di kertas. Dika duduk di sofa, laptop di pangkuannya, matanya menatap layar sambil sesekali mengamati pintu dan jendela.
"Mbak, aku mau keluar bentar ambil sinyal di luar pagar, modem kayaknya ngadat," kata Dika sambil berdiri dan melangkah keluar rumah.
Lana mengangguk, tak berpikir apa-apa. "Oke, tapi jangan lama-lama ya."
Dika berjalan ke pintu, menutupnya di belakangnya. Lima menit berlalu. Sepuluh menit. Tidak ada suara langkah kembali.
Lana mulai merasa aneh. Ia menoleh ke jendela, tapi kabut sore menutupi pandangan ke luar keluar rumah. Ia mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi Dika, namun hanya terdengar nada sambung.
"Ma, ini warnanya biru atau ungu?" tanya Arya sambil menunjuk krayonnya.
Lana memaksakan senyum. "Biru sayang. Kamu gambar terus ya."
Ia berjalan pelan ke jendela, mengintip. Tidak ada tanda-tanda Dika. Pintu gerbang terlihat setengah terbuka.
Kenapa dia membuka gerbang? pikir Lana.
Sebelum sempat berpikir lebih jauh, suara langkah berat terdengar dari luar pintu. Bukan satu orang, tapi lebih. Pintu terbuka perlahan, tanpa ketukan. Dua pria asing masuk, wajah mereka sebagian tertutup masker hitam. Mata mereka tajam, dingin.
"Siapa kalian?" tanya Lana, suaranya mencoba tegas meski hatinya berdebar.
Salah satu pria itu mengangkat tangannya, memperlihatkan sesuatu yang mengkilat, senjata listrik. "Tenang, Bu. Kami cuma mau bicara sebentar."
Arya berhenti menggambar, menatap mereka dengan bingung. "Mama, itu siapa?"
Lana berdiri di depan anaknya, melindunginya. "Kalau mau bicara, tunggu suami saya pulang sebentar lagi."
Pria kedua tersenyum miring. "Justru itu masalahnya. Suami Anda sibuk, jadi kami disuruh untuk menjemput Anda dulu."
Langkah kaki mereka semakin dekat. Lana mundur sambil meraih ponsel di saku. Ia berhasil menekan tombol panggil ke Leon sebelum pria pertama menepisnya. Ponsel terlempar ke lantai.
Arya mulai menangis.
Mobil Leon berhenti mendadak di depan rumah. Pagar terbuka, pintu depan juga terbuka lebar. Hatinya langsung mencelos. Tanpa menunggu, ia turun dari mobil, berlari masuk.
"LANAAAAA!" suaranya menggema.
Tidak ada jawaban, hanya suara samar benda jatuh di lantai atas. Leon berlari menaiki tangga, Raka membuntuti dari belakang. Begitu sampai di lantai dua, ia melihat salah satu pria bertopeng berusaha menarik Arya dari kamar. Lana berusaha mempertahankan anaknya, melempar benda apapun yang bisa ia jangkau.
Leon menerjang pria itu, memukulnya hingga terhempas ke dinding. Raka langsung mengamankan Arya dan menariknya ke pojok. Pria kedua muncul dari pintu lain, mengayunkan senjata tumpul, tapi Leon menghindar dan memukulnya keras di perut.
Suasana jadi kacau. Teriakan, suara benturan, napas berat memenuhi udara. Salah satu pria mencoba kabur lewat jendela, tapi Raka berhasil menangkapnya dan menjatuhkannya ke lantai. Yang satu lagi dipukul Leon hingga tak sadarkan diri.
Leon berlari memeluk Lana yang terengah-engah. "Kamu nggak apa-apa?"
Lana mengangguk, meski wajahnya pucat. "Arya?"
"Aku di sini, Pa!" Arya menangis sambil memeluk kaki ayahnya.
Leon meraih mereka berdua, memeluk erat. "Kita harus pergi sekarang."
Mereka tidak punya waktu untuk telpon polisi atau laporan resmi. Raka menilai ini bukan sekadar perampokan, ini eksekusi yang gagal. Mereka mengambil mobil cadangan dan meninggalkan rumah tua itu secepat mungkin.
Di perjalanan, Lana masih gemetar. "Mereka tahu kita di situ, Leon. Mereka bahkan tahu kapan kamu nggak ada di rumah."
Leon menatap ke depan, matanya gelap. "Itu artinya ada orang yang kasih info dari dekat. Mungkin… Dika."
Lana membelalakkan mata. "Tapi Dika…"
"Dia hilang sebelum penyerangan. Itu nggak kebetulan."
Hening. Hanya suara mesin mobil yang terdengar. Arya tertidur di pangkuan ibunya, masih dengan jejak air mata di pipi.
Mereka akhirnya sampai di sebuah safe house milik Raka, apartemen kecil di pusat kota yang tidak terhubung ke identitas siapapun. Leon mengunci semua akses, memeriksa setiap sudut, lalu duduk di sofa.
"Kita nggak bisa lagi cuma bertahan," katanya. "Besok kita mulai serangan balik."
Lana menatapnya lekat. "Mereka sudah nyaris mengambil Arya, Leon. Kalau kita melawan, mereka akan semakin gila."
"Kalau kita diam, mereka akan menganggap kita lemah," balas Leon. "Dan lemah adalah undangan terbuka untuk mereka memusnahkan kita."
Raka membuka laptopnya, memperlihatkan peta digital. "Aku punya jejak GPS salah satu dari mereka yang kabur. Kita bisa ikuti mereka sekarang, atau tunggu fajar."
Leon berdiri. "Kita ikuti sekarang."
Lana menggenggam tangannya. "Hati-hati. Jangan sampai kamu nggak kembali."
Leon menunduk, mengecup dahinya. "Aku akan kembali. Kali ini, aku nggak akan memberi mereka kesempatan kedua."
Malam itu, Leon dan Raka meninggalkan safe house, memburu jejak musuh. Sementara Lana duduk di sofa, menatap pintu yang baru saja tertutup, berdoa dalam hati agar ini bukan malam terakhir mereka masih utuh sebagai keluarga.