Apa yang kalian percaya tentang takdir? Bahwa sesuatu hal yang tidak akan pernah bisa kita hindari bukan? Takdir adalah hal yang mungkin saja tidak bisa diterima karena berbeda dengan apa yang kita harapkan. Tapi percayalah, rencana Allah itu jauh lebih indah meski kadang hati kita sangat sulit menerima nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RJ Moms, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tetaplah bersamaku
Terlanjur sudah berada di tempat, meski Gunawan tidak bermain, Amelia dan Rehan tetap melanjutkan menonton pertandingan tim lain. Tentu saja ditemani Gunawan dan teman-temannya.
Amelia duduk di apit oleh Gunawan sebelah kanan, dan Rehan sebelah kiri. Mereka tampak fokus dan menikmati setiap peertandingan hingga semua laga selesai.
“Maen lah ke rumah. Mumpung ada di sini. Kapan lagi ya kan?”
“Udah nyuruh ke rumah aja nih, Bang.”
“Eh, gue nyuruh maen doang. Gak usah berpikir kejauhan.”
Gunawan tertawa.
“Ya udah, aku pulang dulu ya. Nanti besok aku ke sini lagi.”
“Hati-hati ya.”
Amelia mengangguk.
“Bang, bawa motornya yang bener ya. Jangan sampai Amelia kenapa-kenapa.”
“Yang kakaknya Amelia itu gue apa lo?”
Amelia memukul tangan Rehan, lalu membawanya pergi meninggalkan tempat.
“Itu cewek yang bikin lo nolak Kristal?” Tanya Adam.
“Hmm.”
“B aja menurut gue. Jauh kalau dibandingkan sama kristal.”
“Mata lo dan mata gue beda. Beda selera juga.”
“Iya, gue juga tau tapi kan jika dipandang dari sudut manapun tetap kristal yang lebih cantik.”
“Masalahnya gue gak suka. Mau gimana?”
“Iya, sih.”
“Ya udahlah, buruan cabut. Keburu sore.”
Gunawan mengajak teman-temannya untuk pergi ke rumah dia. Menghemat biaya penginapan. Rumah Gunawan memang kosong. Ada penjaga rumah yang selang sehari membersihkan dan merapikan rumahnya.
“Rumah lo gede juga ternyata.” Decak Rey kagum.
“Ternyata lo orang tajir, Gun. Ckckck. Apa gak makin ngebet itu si kristal kalau tau lo siapa.”
“Kalian cari sendiri lah tempat tidurnya. Mau di kamar apa mau di manapun terserah. Di rumah gue ada empat kamar. Pilih aja sesukanya. Asal jangan kamar bokap gue yang ada di ujung sana.”
Gunawan pergi menuju kamarnya. Dia segera mandi lalu bersiap untuk pergi.
“Weh, mau ke mana lo?” Tanya Samuel.
“Ke mana lagi, lo mau apel kan rumah Amelia?” Jawab Rey.
“Sebentar lagi ada bibi yang bakal masak buat lo semua. Anggap lah rumah sendiri. Gue balik agak malem.”
“Semoga sukses, kawan.”
Gunawan mengambil kunci mobil. Lalu pergi keluar halaman. Sebelum sampai ke rumah Amelia, dia juga tidak lupa membawa parsel buah dan membeli kue.
Dia ingat jika Alex sedang sakit. Anggaplah sebagai buah tangan menjenguk orang sakit.
Rehan hanya diam termangu saat membuka pintu rumahnya. Dia tidak menyangka ajakannya tadi siang langsung dieksekusi seketika oleh Gunawan.
“Sengebet itu lo pengen ke sini? Gue aja belum sempet mandi lo.”
“Boleh masuk gak, bang? Gue pegel berdiri terus dari tadi. Dianggurin sambil diliatin tuh gak enak banget. Serba salah gue rasanya.”
“Ya, ya. Buruan masuk.”
Gunawan mengikuti langkah kaki Rehan. Sesampainya di dalam, Rehan mempersilakan Gunawan untuk duduk di ruang tamu.
“Gue panggil Amelia dulu. Dia lagi masak. Eh, lo ke sini udah makan belum? Ikut gue aja sekalian yuk.”
Dengan senang hati Gunawan menerima tawaran Rehan.
Amelia nampak sedang sibuk membantu Ira yang sedang memasak untuk makan malam. Kedua wanita itu memang sibuk belakang ini karena merka sudah tidak menggunakan pembantu. Keuangan merka sedang tidak stabil, jadi harus ada baiat yang dipangkas.
Senyum gunawan merekah melihat wanita yang dia sukai terlihat sangat cantik dengan apronnya. Rambutnya sedikit berantakan dan wajahnya yang memerah karena hawa panas dai kompor menambah kecantikan gadis tersebut.
“Ma, ada temen rehan.”
“Oh, siapa?”
“Gunawan.”
Tangan Amelia yang sedang mengaduk-aduk sayur di panci, terhenti. Dia menoleh sekilas, dan melihat Gunawan sedang menatap ke arahnya. Amelia kembali melanjutkan kegiatannya. Sementara Ira menghampiri untuk menyapa.
“Ini, tante. Saya bawa buah da kue.”
“Kenapa repot-repot. Datang aja kalau mau main sih.”
“Iya, tante.”
“Ayo, silakan duduk. Kita makan malam bareng ya.”
Rehan mengajak gunawan untuk melihat Alex di kamar.
“Begitulah kondisi bokap gue sekarang. Cuma tiduran gak bisa ngapa-ngapain.”
Gunawan menepuk pelan pundak Rehan.
“Kemungkinan motor gue juga bakal dijual.”
“Kenapa, Bang? Lo sayang banget kan sama si blacky.”
“Buat modal bangun toko. Masih utuh duit lumayan banyak. Toko yang satunya cuma bisa bayarin hutang ke bank sama gaji karyawan.”
“Bukan gue lancang, semisal lo mau jual ke gue dulu ya tawarinnya. Setidaknya motor lo aman sama gue, gak akan gue apa-apain.”
“Thanks ya, bro. Lo masih jauh di bawah gue umurnya. Tapi lo bisa diandalkan, ya setidaknya lo udah ada niat dan berusaha. Pantesan aja adek gue bisa goyah sama lo.”
“Usaha gak akan mengkhianati hasil, bang.”
“Bener kata lo.”
Rehan dan gunawan yang sejak tadi berdiri di ambang pintu, mereka masuk ke kamar untuk menyapa Alex.
“Pa, ada temen adek mau jenguk. Papa masih inget gak sama gunawan?”
Alex hanya bergumam tidak jelas. Namun sedikit banyak Rehan tau jika Alex hendak mengatakan apa.
Gunawan mendekat, dia mencium punggung tangan Alex yang sangat kaku.
“Saya mau minta maaf karena waktu itu mengajak Amelia pergi sampai sore.”
Alex bersuara.
“Maaf juga saya baru bisa jenguk karena saya sudah pindah ke Bandung, dan baru ada kesempatan ke sini sekarang.”
Rehan mengangguk saat Gunawan menatapnya meminta penjelasan atas apa yang disuarakan oleh Alex.
“Pa, kita keluar dulu ya.”
Alex mengedipkan mata beberapa kali.
“Ayo, makanannya sudah siap. Cuma ya, begini adanya.”
“Waah, kayaknya enak banget ini, uuuhh bakalan ngabisin nasi saya tente.”
“Nak Gunawan bisa aja. Mama nya pasti memasak lebih dari ini.”
“Ibu saya udah lama meninggal tante. Jadi gak pernah makan masakan buatan ibu lagi.”
Amelia dan Ira merasa bersalah dan iba mendengar perkataan Gunawan, sementara anak itu masih asik melihat hidangan yang ada di meja.
“Ayo, makan sampai kenyang. Tante ambilkan piringnya.”
Amelia menatap heran pada Ira.
“Ini, kamu makan yang banyak. Ke sini kapan aja biar bisa makan masakan tante, ya.”
“Gak bisa tante. Saya tinggal di Bandung sekarang. Ke sini karena ada pertandingan. Dua hari lagi saya pulang.”
“Ya maksudnya kalau kamu pulang. Libur sekolah datang lagi ke sini tiap hari juga gak apa-apa.”
“Jangan, Ma. Bisa boros beras nanti.”
“Rehan, ah. Gak sopan ngomong kayak gitu.”
Rehan tertawa.
Gunawan melirik Amelia yang sejak tadi diam tanpa bicara sepatah kata pun.
Bagi gunawan makan malam malam itu adalah makan malam yang paling indah dan hangat. Bukan karena ada Amelia, akan tetapi keramahan dan keceriaan keluarga tersebut. Hal itu sudah lama tidak dirasakan Gunawan.
Selesai makan, Ira dan Amelia merapikan semuanya. Sementara Rehan dan Gunawan naik menuju balkon.
“Mama nyuruh aku bawain ini,” ujar Amelia sambil membawa buah potong.
“Gue ke dalam bentar, ya. Mau ambil ponsel.”
Rehan tau jika gunawan ingin berdua dengan adiknya.
“Kenapa tadi diem aja, sayang?”
Amelia melirik sinis pada Gunawan.
“Kenapa? Kan kita cuma berdua.”
Gadis itu menatap jauh ke depan. Sesekali dia menghembuskan nafas berat.
“Sayang, tunggu aku sukses ya, aku akan membuat kamu dan keluarga kamu kembali seperti dulu.”
Amelia menoleh dengan cepat usai Gunawan berbicara.
“Jangan pernah berpaling meski suatau saat dia kembali.”
Meski tidak bisa menjanjikan apa-apa pada Gunawan, meski hatinya masih bimbang, namun apa yang diucapkan Gunawan barusan seolah memberikan air di tengah gurun. Amelia merasa lega meski dia tidak yakin.