Zee dan Zia adalah saudara kembar tak identik yang bersekolah di tempat berbeda. Zia, sang adik, bersekolah di asrama milik keluarganya, namun identitasnya sebagai pemilik asrama dirahasiakan. Sementara Zee, si kakak, bersekolah di sekolah internasional yang juga dikelola keluarganya.
Suatu hari, Zee menerima kabar bahwa Zia meninggal dunia setelah jatuh dari rooftop. Kabar itu menghancurkan dunianya. Namun, kematian Zia menyimpan misteri yang perlahan terungkap...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bungkam Yang Mengusik
Malam itu, Zee melangkah keluar asrama menuju supermarket 24 jam tak jauh dari gedung utama. Persediaan bahan dapurnya habis, dan layanan antar sudah tutup sejak pukul delapan malam.
Tak ada pilihan lain selain pergi sendiri.
Ia mengenakan hoodie hitam dan celana pendek jeans biru denim. Penampilannya santai, tapi tetap berkarakter.
Di dalam supermarket, Zee dengan cepat memilih beberapa bahan dapur, cemilan, dan air mineral—cukup untuk stok beberapa hari ke depan. Setelah selesai, ia langsung menuju kasir.
“Totalnya 434 ribu, Dek,” ucap kasir ramah.
Zee mengangguk datar. Ia pun merogoh kantong celana untuk mengambil dompet, tapi...
"Ya ampun... gue bisa-bisanya lupa," gumamnya pelan, sambil mengecek ulang kantong celananya-tetap kosong.
Wajahnya tetap tenang, tapi dalam hati ia mengumpat dirinya sendiri.
“Pakai kartu saya saja,” ucap sebuah suara dari belakang.
Zee menoleh. Rey berdiri di sampingnya, menatap lurus dengan wajah dingin. Ia menyodorkan kartunya ke kasir, lalu meletakkan sekaleng minuman kaleng di meja.
“Gabungkan saja,” ucapnya datar.
Kasir mengangguk dan langsung memproses transaksi mereka.
Zee menoleh menatap Rey dengan wajah tanpa ekspresi. "Gue bakal ganti."
“Gak perlu,” jawab Rey tanpa menoleh.
“Gue gak suka punya utang."
"Lo gak ngutang." jawab Rey singkat.
Zee mendengus pelan. “Gue akan tetap bayar. Titik. Mana ponsel lo, gue tulis nomor gue.”
Rey menoleh sejenak, diam-diam tersenyum tipis sebelum menyerahkan ponselnya. Zee menerima dan langsung mengetikkan nomornya. Diam-diam, ia juga tersenyum samar.
“Nanti kirim nomor rekening lo ke gue,” ucapnya sambil mengembalikan ponsel Rey.
Rey tidak menjawab. Ia hanya mengambil minumannya dan kartu, lalu berjalan pergi meninggalkan supermarket.
Zee memperhatikan punggung Rey yang menjauh sebelum membawa kantong belanjaannya menuju asrama.
“Aura mereka berdua dingin banget,” gumam pelayan supermarket yang memperhatikan mereka sejak tadi.
•••
Zee tersenyum tipis saat melangkah di koridor menuju gedung asrama. Entah kenapa, langkah kakinya terasa lebih ringan.
Tapi langkahnya terhenti ketika suara samar terdengar dari ujung lorong yang remang.
“Kak... dia sudah tiada. Kenapa kakak masih membencinya?”
“Dia udah mengorbankan perasaannya demi persahabatan kakak, tapi ini balasan kakak...”
“Aku juga bungkam... jadi aku mohon, jangan...”
Zee berdiri diam. Ia mengenali suara itu—Raden. Sepertinya sedang berbicara dengan kakaknya. Kata Bungkam terus terngiang di kepala Zee. Apa maksudnya? Ia memejamkan mata sesaat, mencoba mencerna.
“Zee?”
Zee membuka mata perlahan. Di hadapannya, Raden berdiri dengan ekspresi bingung.
“Lo ngapain di sini?” tanyanya.
Zee menatapnya datar. “Tadi perut gue tiba-tiba mules,” jawab Zee cepat, berusaha terdengar wajar, sambil menggenggam kantong belanjaannya erat.
Raden tampak ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk. “Keadaan lo sekarang gimana? Masih sakit?”
Zee menggeleng pelan. “Udah mendingan.”
Raden mengangguk lagi, lalu melirik kantong di tangan Zee. “Lo habis belanja ya?”
“Iya.”
“Ya udah, langsung balik ke asrama. Gak baik cewek masih keluyuran jam segini,” ucapnya memberi saran.
Zee hanya mengangguk dan melangkah pergi. Tapi belum sempat jauh, suara Raden kembali terdengar.
“Oh iya, Zee. Gue hampir lupa.”
Zee menoleh.
“Jadwal ekskul Bahasa diundur. Entah kenapa, gak dijelasin alasannya.”
Zee mengangguk. “Thanks info lo.”
Raden tersenyum singkat. “Sampai ketemu besok.”
Sesampainya di kamar, Zee langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit, tapi pikirannya melayang pada percakapan singkat yang tak sengaja ia dengar dari Raden.
"Bungkam... persahabatan... pengorbanan..."
Kata-kata itu berputar di kepalanya, mengusik tenangnya. Dada Zee terasa sesak, tapi seperti biasa, wajahnya tetap datar—tanpa ekspresi.