NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:8.4k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Nihil

Cahaya lampu minyak menari lembut di dinding ruang kerja, memantulkan bayangan samar buku-buku tebal yang berjejer rapi. Di tengah meja kayu besar, beberapa berkas telah dibuka, termasuk satu map bersegel merah tua—dengan cap resmi dari bagian intel kerajaan.

Vanessa duduk di balik meja, rambutnya sudah digelung sederhana. Di hadapannya berdiri Lucien, tenang seperti biasa, meski sorot matanya waspada.

“Lady Armelle Lysandre,” gumam Vanessa, membaca lembar pertama. “Tadi siang dia sangat vokal di jamuan. Aku ingin tahu lebih banyak tentangnya.”

Lucien mengangguk. Ia menarik satu dokumen tambahan dan meletakkannya dengan hati-hati di hadapan sang Ratu.

“Nama lengkap: Armelle Lysandre d’Elaroux. Pernah menikah dengan Baron Marleau dua belas tahun lalu, namun diceraikan karena tidak memiliki keturunan. Sejak itu, ia kembali ke nama keluarganya.”

Vanessa mengangguk pelan. “Keluarga Lysandre…?”

“Garis bangsawan rendah dari utara, tapi punya koneksi kuat dengan keluarga-keluarga tua. Ayahnya adalah bangsawan senior di timur yang kini tak lagi aktif dalam pertemuan istana.” Lucien menatap Vanessa sejenak, lalu menambahkan, “Sayangnya, tidak banyak catatan resmi tentang sang ayah. Namanya jarang muncul dalam arsip pemerintahan.”

Vanessa mengernyit. “Itu terdengar… tidak biasa.”

“Memang,” jawab Lucien. “Beberapa orang percaya dia terlibat dalam urusan militer dan politik kelam, terutama di masa kekuasaan Kaisar Alaric dulu. Tapi tak ada yang berani bicara terbuka.”

Vanessa menelusuri nama itu lagi. Ia mengetuk ujung pena di kertas. “Dan Armelle? Apa dia pernah terlibat dalam intrik sebelumnya?”

Lucien tampak berpikir. “Tak ada bukti langsung, tapi reputasinya… tajam. Banyak wanita bangsawan memilih menjauh darinya. Beberapa mengatakan dia lihai memanipulasi opini sosial dan cukup dekat dengan mereka yang menentang kebangkitan keluarga Anda.”

Vanessa tersenyum tipis. “Tidak mengherankan. Dia nyaris tak berkedip saat mencoba menjatuhkanku di meja teh.”

Lucien mengangkat alis. “Dan saya dengar Anda menangkisnya dengan elegan, Yang Mulia.”

Vanessa terkekeh kecil. “Siapa yang bilang padamu?”

“Saya punya… mata dan telinga,” balas Lucien sambil memberi anggukan ringan. “Termasuk beberapa pelayan yang terlalu kagum pada Anda sampai membicarakan setiap detik tentang jamuan tadi.”

Vanessa tertawa, meletakkan penanya. “Ah, seandainya mereka tahu betapa gugupnya aku tadi.”

“Gugup?” Lucien menggeleng pelan, “Saya tidak percaya. Yang saya tahu, hanya sedikit orang yang bisa membuat Lady Armelle kehabisan kata.”

“Jadi kau penggemarku sekarang?” Vanessa menaikkan alis, nada suaranya jenaka.

“Saya sekretaris Anda, Yang Mulia. Kekaguman adalah syarat pekerjaan.”

Mereka tertawa bersama. Suasana ruang kerja yang sebelumnya serius mulai mencair. Vanessa menyandarkan tubuhnya ke kursi dan memiringkan kepala.

“Lucien,” ujarnya tiba-tiba, “apa kau punya kekasih?”

Lucien tampak terkejut sejenak, lalu kembali tenang. “Pertanyaan itu… tidak saya duga.”

“Ayolah. Aku hanya penasaran,” ucap Vanessa ringan. “Orang seperti kau—rajin, pintar, cukup tampan—harusnya sudah dikejar banyak gadis.”

Lucien tertawa pendek. “Mungkin. Tapi kebanyakan lari begitu tahu pekerjaanku lebih banyak bicara dengan kertas daripada manusia.”

Vanessa terkikik. “Itu menyedihkan sekaligus jujur.”

“Saya menganggapnya prestasi.”

Namun tawa mereka mendadak terhenti saat pintu ruang kerja terbuka perlahan. Udara malam yang dingin seolah ikut menyelinap bersama sosok yang berdiri di ambang pintu.

Maxime.

Pria itu tampak baru selesai mandi—rambutnya masih sedikit basah, dan ia mengenakan jubah dalam rumahnya yang longgar, namun tetap memancarkan wibawa. Tapi bukan itu yang membuat ruangan mendadak terasa tegang.

Sorot mata Maxime langsung tertuju pada Vanessa… dan kemudian pada Lucien. Tajam. Dingin. Diam.

“Lucien,” ucapnya pelan namun tajam. “Kau tidak tahu jam sudah lewat malam?”

Lucien segera membungkuk sopan, menangkap ketegangan di udara. “Maafkan saya, Paduka. Saya segera pamit.”

Ia menunduk kepada Vanessa dan segera meninggalkan ruangan tanpa menoleh sedikit pun.

Begitu pintu tertutup kembali, suasana ruangan menjadi hening dan tegang.

Vanessa tidak langsung berkata apa-apa. Ia bisa merasakan ketegangan Maxime, dan lebih dari itu—ia tahu betul tanda-tanda pria itu sedang cemburu. Namun ia memilih untuk pura-pura tidak tahu. Dengan tenang, ia bangkit dari kursinya dan bersiap menuju pintu.

Namun baru dua langkah, suara Maxime menahannya.

“Berhenti.”

Vanessa menoleh dengan alis terangkat.

Maxime melangkah perlahan mendekat, suaranya rendah. “Lain kali… jangan tunjukkan tawamu pada pria lain.”

Vanessa mengerjap. “Kenapa?”

Pria itu mendekat, menatap wajah istrinya dengan dalam. “Karena aku tidak suka berbagi keindahan itu. Kau tahu… saat kau tertawa, kau terlihat dua kali lebih cantik. Dan aku ingin itu hanya untukku.”

Vanessa menghela napas dan menggeleng pelan, tersenyum kecil. “Astaga… kau seperti anak kecil yang sedang merajuk.”

Maxime menyipitkan mata. “Anak kecil tidak akan mengatakan bahwa dia ingin menghabiskan seluruh malam untuk memeluk istrinya.”

Vanessa tertawa pelan, lalu menatap suaminya dengan lembut. “Maaf kalau aku membuatmu cemburu.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Maxime langsung menarik Vanessa ke dalam pelukannya. Erat, seolah ia tak ingin melepasnya dalam waktu dekat.

“Aku merindukanmu,” bisiknya lembut di dekat telinga istrinya. “Bahkan saat kita berada dalam satu istana.”

Vanessa memejamkan mata, membiarkan pelukan itu menyelimuti dirinya.

Sebelum mereka beranjak ke kamar, Maxime menyingkap sedikit rambut yang menempel di pipi Vivienne dan mengecupnya lembut.

“Malam ini… kau sangat cantik,” bisiknya pelan, matanya menatap bibir wanita itu seolah memohon izin untuk merasakannya.

Namun saat ia hendak mendekat, suara Vanessa tiba-tiba menginterupsi dengan lirih namun jelas.

“Maxime…”

Pria itu berhenti, hanya beberapa inci dari wajahnya. “Hmm?”

“Apa… apa kau pernah berniat menikahi pelayan itu?”

Pertanyaan itu mencelos begitu saja dari mulut Vanessa. Ia sendiri tak yakin kenapa tiba-tiba terucap, namun ingatan akan ucapan Lady Armelle sore tadi menyeret perasaannya dalam kekhawatiran yang tak bisa ia tolak. Kekhawatiran yang selama ini ia pendam dalam diam.

Maxime terdiam. Mata pria itu masih menatapnya, tapi kini dengan sorot berbeda—penuh perhatian, dan mungkin juga sedikit terluka karena sang istri meragukan hatinya.

Vanessa menunduk, mencoba menyembunyikan suara getir dalam nadanya.

“Aku hanya takut… jika suatu saat kau menyesal. Karena memilihku. Kita sudah sering bersama… tapi sampai sekarang aku belum bisa memberimu apa pun. Tak ada keturunan, tak ada ahli waris. Aku takut… kau akan kecewa.”

Maxime mengangkat wajah Vanessa dengan lembut, memaksanya menatap langsung ke matanya.

“Vivienne,” ucapnya pelan tapi tegas. “Jangan pernah bicara seperti itu lagi.”

“Aku tidak pernah—tidak akan pernah—menyesal memilihmu. Apa pun yang terjadi.”

“Tapi—” Vanessa masih ingin membela diri, namun Maxime memotong dengan lembut.

“Cinta yang kutawarkan padamu bukan sebuah kontrak untuk melahirkan. Kau bukan rahimmu. Kau adalah wanita yang berdiri di sampingku saat banyak yang memilih menjauh. Wanita yang memilih tetap hidup… meski dunia menilaimu mati. Dan itu jauh lebih berarti bagiku dibanding apa pun.”

Ia mendekat, menyentuhkan keningnya ke kening istrinya.

“Dan soal keturunan…” Maxime menyeringai kecil, menggoda dengan napas yang menyapu pipi Vanessa, “…itu artinya kita harus lebih berusaha lagi. Istriku.”

Wajah Vanessa memerah, jantungnya berdetak lebih cepat. Tapi Maxime tak memberinya kesempatan untuk membalas. Pria itu langsung mencium bibirnya—panas, dalam, dan penuh gairah. Tak ada keraguan dalam ciuman itu. Hanya keyakinan. Dan cinta.

Vanessa membalas ciuman Maxime dengan hati yang masih bergetar oleh perasaan tak menentu. Ada kekhawatiran… tapi juga kelegaan yang hangat. Ia tahu Maxime tulus—dan setiap sentuhannya selalu berhasil menenangkan badai di dalam dirinya.

Tangan Maxime melingkar di pinggangnya, menarik tubuh sang istri lebih dekat. Napas mereka menyatu dalam keheningan malam yang begitu sunyi.

——

Di saat istana diliputi keheningan malam, dan bulan menggantung pucat di langit Aragon, sebuah bayangan menyelinap cepat di antara lorong-lorong sempit yang jarang dilewati.

Selene.

Gaun gelapnya memudahkan ia menyatu dengan gelapnya malam. Langkah-langkahnya ringan, nyaris tak bersuara. Ia menghindari jalur utama penjagaan, berbelok ke arah timur istana—menuju paviliun tempat para tabib kerajaan biasa bekerja dan menyimpan catatan medis.

Pintu kayu yang tampak kokoh itu terbuka dari dalam. Seorang pria bertudung hitam muncul sebentar, lalu memberi isyarat. Tatapannya kosong, nyaris tanpa emosi. Ia adalah salah satu tabib istana—atau lebih tepatnya, orang dalam yang telah lama dibujuk oleh Selene lewat cara-cara licik dan halus.

“Sepuluh menit,” bisik pria itu.

Selene mengangguk, lalu masuk ke dalam.

Ruangan itu berbau tajam—campuran tanaman kering, alkohol herbal, dan tinta. Rak-rak kayu menjulang tinggi, penuh dengan botol, jurnal, dan kotak kayu kecil berukir lambang kerajaan.

Matanya menyisir cepat setiap meja kerja, membuka lembaran-lembaran yang tampak baru dipakai. Namun tak ada apa pun yang menjelaskan ramuan yang dimaksud. Tidak ada bahan mencurigakan, tidak ada formula atau catatan yang mengarah pada percobaan yang disorot.

Dahi Selene berkerut. Ia membuka satu laci—kosong. Menggeser papan tersembunyi di bawah meja—juga tak ada apa-apa. Semua tampak terlalu rapi. Terlalu… kosong untuk tempat yang katanya sedang digunakan untuk eksperimen yang membahayakan.

Ia bahkan menemukan buku tulis Tabib Alana—berisi catatan pengujian suhu dan reaksi bahan—tapi tak satu pun yang menyebutkan hasil uji coba atau tujuan akhir dari ramuan tersebut. Tidak ada botol ramuan. Tidak ada prototipe. Tidak ada peta kerja yang menyeluruh.

Semua nihil.

“Tidak mungkin,” gumamnya rendah. “Mereka menyembunyikannya.”

Ia memutar tubuh, matanya menyipit penuh curiga.

“Vivienne tak mungkin cukup cerdas untuk menyimpan ini di tempat yang tak terpikirkan…” bisiknya pelan, sebelum matanya tiba-tiba terarah ke arah luar jendela.

Ke arah menara bagian barat—tempat ruang kerja Ratu berada.

Dan di balik jendela tinggi yang sedikit terbuka tirainya, samar-samar Selene melihat cahaya lilin bergoyang… dan bayangan dua tubuh yang tengah bercumbu.

Ia menyipit. Rahangnya mengeras.

“Di sana, ya?” gumamnya, suaranya mengandung racun dan rasa benci yang dalam.

Tapi malam ini, tak ada yang bisa ia lakukan. Ruangan ini tak memberikan hasil apa pun, dan waktu yang ia miliki hampir habis. Ia keluar dari ruang tabib itu dengan geram yang ditahan, sebelum kembali menyelinap dalam kegelapan.

Namun dalam hatinya, api dendam menyala semakin kuat.

“Kau boleh menang malam ini, Vivienne… tapi aku bersumpah akan membuka semua rahasiamu. Dan saat itu terjadi, bahkan suamimu sendiri tak akan menyisakan tempat untukmu di singgasana.”

1
Vlink Bataragunadi 👑
dih amit amit
Vlink Bataragunadi 👑
kasiaaaaan deh lu/Chuckle/
Vlink Bataragunadi 👑
ih keren banget kata2nya/Angry/
Vlink Bataragunadi 👑
nikmati Maxime.... nikmati kegelisahan yg akan menggerogoti mu dg halus
Vlink Bataragunadi 👑
aduh.... aku berasa ikutan sesaaaak
Vlink Bataragunadi 👑
setiap babnya panjang ya, bikin kita kenyang, tapi kenyang yg proper, bukan kenyang yg bikin muntah
Vlink Bataragunadi 👑
ih tiap katanya tuh keren banget, seperti difikirkan dengan hati-hati dan terperinci, loooooveee 😍😍😍
Vlink Bataragunadi 👑
bab 1 aja udah bikin aku merindiiiiing
Vlink Bataragunadi 👑
aduh...!! beratttt cok🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️🤦🏻‍♀️
Vlink Bataragunadi 👑
ini..... kata2nya indah bangetttt, heiii authooor, dimana kamu bersembunyi selamanini, kok aku baru ketemuuu. dan bagaimana bisa novel seindah ini g banyak yg baca.....
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!