Wallace Huang, dikenal sebagai Mafia Iblis yang tanpa memberi ampun kepada musuh atau orang yang telah menyinggungnya. Celine Lin, yang diam-diam telah mencintai Wallace selama beberapa tahun. Namun ia tidak pernah mengungkapnya.
Persahabatannya dengan Mark Huang, yang adalah keponakan Wallace, membuatnya bertemu kembali dengan pria yang dia cintai setelah lima tahun berlalu. Akan tetapi, Wallace tidak mengenal gadis itu sama sekali.
Wallace yang membenci Celina akibat kejadian yang menimpa Mark sehingga berniat membunuh gadis malang tersebut.
Namun, karena sebuah alasan Wallace menikahi Celine. pernikahan tersebut membuat Celine semakin menderita dan terjebak semakin dalam akibat ulah pihak keluarga suaminya.
Akankah Wallace mencintai Celine yang telah menyimpan perasaan selama lima tahun?
Berada di antara pihak keluarga besar dan istri, Siapa yang akan menjadi pilihan Wallace?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Beberapa hari kemudian.
Pagi itu, sinar matahari menembus kaca besar gudang pabrik tempat Celine bekerja. Ia mengenakan seragam kerjanya yang sederhana dan rompi kepala gudang berwarna biru dongker. Tangannya sibuk memegang clipboard, mencatat data stok barang satu per satu. Wajahnya tampak serius dan fokus pada pekerjaannya.
Peluh menetes di pelipisnya, namun ia mengusapnya dengan punggung tangan tanpa mengalihkan pandangan dari angka-angka di kertas.
Di sisi lain gudang, tiga orang wanita tampak berdiri sambil memperhatikannya. Mereka bersandar di dinding dengan tangan terlipat di dada. Senyum sinis terlukis jelas di wajah mereka.
“Dengar kabar dia sering dijual sama kakaknya yang serakah itu,” bisik salah satu wanita berambut pirang pendek, suaranya terdengar meremehkan. “Pantas saja dia tidak datang kemarin.”
Temannya, wanita berambut panjang bergelombang, ikut tertawa kecil sambil menatap Celine dari atas ke bawah dengan jijik. “Dia pasti sudah tidak perawan. Mana ada pria yang menginginkannya lagi.”
Wanita ketiga, yang memiliki tubuh gempal, mengangguk setuju. "Wanita seperti dia pasti murahan.”
Mereka bertiga saling pandang sambil tertawa pelan, seolah sedang menertawakan lelucon paling lucu di dunia. Setelah puas menggosip, mereka melangkah mendekati Celine yang masih sibuk menulis angka-angka di clipboardnya.
“Hey, Celine!” seru wanita berambut pirang pendek sambil menepuk bahu Celine dengan kasar.
Celine menoleh, matanya menatap mereka dengan tatapan kosong. “Ada apa?” tanyanya pelan.
“Menghilang hampir tiga bulan, dan tiba-tiba kembali lagi ke sini seolah tidak terjadi apa-apa,” sindir wanita pirang itu sambil melipat tangan di dada. “Bos kita sangat baik padamu!"
“Celine,” sambung wanita berambut panjang sambil menyeringai. “Apa yang kau berikan kepada bos kita? Kenapa dia masih menerima kau bekerja di sini? Apa kau bayar dia dengan tubuhmu?”
Celine terdiam, menatap mereka tanpa ekspresi. Namun di dalam dadanya, rasa sakit itu kembali muncul, menyesakkan napasnya.
“Wanita yang sudah sering melayani pria…,” lanjut wanita gempal sambil mendekat dan menatap Celine dari dekat. “Tidak akan ragu melayani siapa aja di sini. Tapi… lihat dirimu. Siapa juga yang mau bersama wanita kotor sepertimu?”
Tawa kecil terdengar dari ketiganya. Suara tawa yang pelan namun tajam, seperti belati yang menusuk telinga Celine.
"Wanita ini telah menghinamu… menamparmu… menindasmu. Kau harus membalasnya."
Suara Wallace terdengar jelas di dalam ingatan Celine. Suara itu bergema, menembus relung hatinya yang selama ini penuh ketakutan. Matanya perlahan berubah tajam. Tubuhnya gemetar, namun bukan karena takut, melainkan karena amarah yang sudah terlalu lama ia pendam.
Dengan gerakan cepat, Celine berbalik. Tatapannya menatap tajam pada wanita berambut pirang pendek yang baru saja menghina dan menepuk bahunya dengan kasar. Tanpa ragu, tangannya terangkat dan menampar wajah wanita itu dengan keras.
Plak!
Suara tamparan itu menggema di antara rak-rak besi dan barang-barang yang tersusun tinggi di gudang. Wanita pirang itu terbelalak kaget. Tangannya menempel pada pipinya yang kini memerah.
“T-tidak perlu pura-pura suci!” bentak Celine dengan napas memburu. Matanya menatap tajam bagaikan elang. “Kau sendiri suka menggoda teman kerja di sini. Lantas apa kau punya hak untuk menghina hidup orang lain, hah?!”
Amarah dan keberanian yang selama ini terkubur di dalam dirinya akhirnya meledak keluar. Suaranya bergema di sudut gudang, membuat beberapa karyawan lain menoleh dengan kaget.
Wajah wanita pirang itu berubah merah padam karena malu dan marah. “Dasar wanita kotor!” teriaknya sambil mendorong tubuh Celine dengan kasar.
Bruk!
Tubuh Celine membentur tumpukan barang di belakangnya. Suara dus dan kotak plastik jatuh terdengar keras memenuhi gudang. Namun sebelum wanita itu sempat bergerak lagi, Celine menatapnya dengan mata yang penuh amarah.
Tanpa ragu, ia maju, menjambak rambut wanita itu dengan kuat dan menariknya mendekat. Suara erangan kesakitan keluar dari bibir wanita tersebut. Dengan gerakan cepat, Celine membenturkan kepalanya ke rak besi di belakang mereka.
Bruk!
“Aaah!” jeritan wanita itu memecah ruangan. Kedua temannya menjerit kaget.
“Lepaskan dia!” teriak dua temannya bersamaan, berusaha menarik Celine agar melepaskan cengkeramannya.
Namun Celine justru semakin menatap tajam. Tangannya meraih pulpen yang terselip di saku rompinya, lalu menahannya di depan wajah wanita pirang itu, ujung pulpen itu nyaris menyentuh matanya. Wanita itu menahan napas, tubuhnya gemetar ketakutan.
“Ulangi… sekali lagi… apa yang kau katakan tadi,” desis Celine dengan suara rendah namun tegas, membuat ketiga wanita itu membeku di tempat mereka. Matanya berkilat tajam, penuh kemarahan yang menakutkan.
Gudang itu hening. Hanya suara napas berat Celine dan isak kecil wanita pirang itu yang terdengar di antara tumpukan barang.