Pernikahan antara Adimas Muhammad Ibrahim dan Shaffiya Jasmine terjalin bukan karena cinta, melainkan karena sebuah perjodohan yang terpaksa. Adimas, yang membenci Jasmine karena masa lalu mereka yang buruk, merasa terperangkap dalam ikatan ini demi keluarganya. Jasmine, di sisi lain, berusaha keras menahan perasaan terluka demi baktinya kepada sang nenek, meski ia tahu pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas.
Namun Adimas lupa bahwa kebencian yang besar bisa juga beralih menjadi rasa cinta yang mendalam. Apakah cinta memang bisa tumbuh dari kebencian yang begitu dalam? Ataukah luka masa lalu akan selalu menghalangi jalan mereka untuk saling membahagiakan?
"Menikahimu adalah kewajiban untukku, namun mencintaimu adalah sebuah kemustahilan." -Adimas Muhammad Ibrahim-
“Silahkan membenciku sebanyak yang kamu mau. Namun kamu harus tahu sebanyak apapun kamu membenciku, sebanyak itulah nanti kamu akan mencintaiku.” – Shaffiya Jasm
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAGIAN 26
Setiap rumah tangga itu ada ujiannya. Entah itu dari internal ataupun pihak eksternal. Sebelum menikah pun Jasmine jelas tahu bahwa menikah memang selalu bukan tentang kebahagiaan. Pasti ada kerikilnya. Namun Jasmine tidak menyangka bahwa ujiannya akan datang dari suaminya sendiri.
Keterikatan Adimas dengan perempuan lain dan proses penerimaan Adimas terhadap dirinya membuat Jasmine harus melatih kesabarannya lagi. Tidak hanya berdasarkan teori namun juga praktiknya.
Tadi sore Jasmine merasakan kebahagiaan dan rasa sakit dalam satu waktu. Ia bahagia ketika mengetahui Adimas datang ke kafe untuk menjemputnya dan pulang bersama. Lebih berbunga lagi hatinya saat ia menangkap basah Adimas sedang menatap ke arahnya tanpa berkedip. Namun rasa bahagia itu terlampau membuat Jasmine melayang tinggi, sehingga perginya Adimas tanpa kata apapun membuatnya terhempas keras.
Rasa sakitnya masih begitu terasa. Meskipun sudah tiga juz Jasmine tilawah, nyatanya sakit di hatinya masih juga terasa. Inilah resiko yang harus ia rasakan ketika ia berani mengambil keputusan untuk menjalani pernikahan ini sejak awal.
Di teras samping rumah mereka, Jasmine duduk sendiri. Matanya sesekali melirik jam dinding yang berada tidak jauh dari tempatnya sekarang. Sudah pukul 10 malam, namun belum ada tanda-tanda Adimas akan pulang. Ditemani segelas cokelat hangat dan sebuah buku, Jasmine merapatkan outer baju tidurnya untuk menghalau rasa dingin yang sejak tadi menyusup ke tubuhnya.
Matanya menatap langit malam yang tampak berkilauan karena bertaburan bintang. Cuacanya cukup bagus. Padahal beberapa hari terakhir hujan seringkali hadir membasahi bumi.
"Apakah seperti ini rasanya dikecewakan oleh harapan diri sendiri?" gumam Jasmine semakin merapatkan outernya. Rambutnya ia biarkan tergerai dan tersapu angin malam.
Lama Jasmine terdiam sendiri. Hingga rasa kantuk itu datang pun, Jasmine enggan beranjak. Membiarkan matanya terlelap di bawah langit malam dan diselimuti angin malam.
"Jasmine? Ya Tuhan! Kenapa malah tidur di sini?"
Suara itu terdengar samar di telinganya. Mimpinya bahkan tentang Adimas. Namun Jasmine tidak kunjung benar-benar berhasil mengumpulkan kesadarannya. Matanya terlalu berat untuk terbuka sempurna menatap lelaki di depannya ini.
"Dasar merepotkan!" gusar lelaki itu dengan wajah datar namun alis tebalnya terlihat samar menukik.
Jasmine enggan bangun. Ia justru tersenyum kecil berharap mimpinya ini akan bertahan lama. Apalagi sekarang Adimas berjongkok di depannya.
"Senyum, Mas. Suamiku itu gantengnya jadi berlipat kalau tersenyum. Masa iya marah-marah terus." Sengaja Jasmine menggoda Adimas tanpa malu. Untungnya ini hanya mimpi sehingga Jasmine bisa melakukan apapun dengan suaminya. Termasuk menatap wajah suaminya dengan jarak sedekat ini tanpa perlu takut diomeli.
Lalu tanpa ia duga tubuhnya pun melayang. Anehnya matanya justru memilih untuk terus terpejam. Hatinya bersorak bahagia. Meski ini hanya mimpi, namun berada dalam gendongan Adimas nyatanya memang senyaman ini. Tanpa sungkan Jasmine lalu menyandarkan kepalanya di bahu suaminya. Menghirup aroma parfum Adimas yang masih begitu lekat di ceruk lehernya.
"Jangan mengendus, Jasmine!"
See, suaminya tetap saja galak. Tidak jauh berbeda dengan di alam nyata.
Dilarang mengendus, membuat Jasmine memberanikan dirinya mencium lama leher Adimas. Mumpung ini masih di alam mimpi, Jasmine harus menggunakan kesempatan ini untuk menyentuh Adimas. Terkesan kurang ajar memang. Namun Jasmine memang penasaran dengan segala hal tentang Adimas.
"Jasmine!..." geram Adimas membuat Jasmine terkekeh dan akhirnya menyudahi ciumannya pada leher Adimas.
Lalu ia hanya menyandarkan kepalanya di bahu kokok Adimas. Tangannya ia kalungkan di leher lelaki itu. Kesadaran Jasmine akhirnya menghilang sempurna. Ia benar-benar tertidur dalam dekapan Adimas.
****************
Deringan alarm yang terpasang otomatis itu membuat Jasmine mengerjapkan matanya beberapa kali. Namun anehnya sekarang bukan matanya yang terasa berat untuk ia buka, namun sesuatu yang berat dan hangat melingkar di perutnya. Tangan Jasmine dengan malas mengangkat benda itu dengan sisa tenaganya yang belum sepenuhnya pulih karena baru bangun tidur.
Namun saat tangannya menyentuh benda itu, mata Jasmine langsung terbuka dan kesadarannya pun berhasil terkumpul. Apalagi tiba-tiba ia merasakan hembusan napas seseorang berada di belakangnya. Bahkan hembusan napas teratur di tengkuknya itu cukup untuk membuat tengkuknya menghangat. Jasmine menelan ludah pelan.
Saat Jasmine sadar, ia bisa melihat jelas bahwa tangan milik seorang lelaki berada di perutnya. Jasmine membalikkan arah tubuhnya perlahan dan ia hampir terkejut ketika melihat wajah Adimas sedang tertidur nyenyak di dekatnya.
"Bagaimana bisa? Kenapa dia ada di sini?" batin Jasmine cemas.
Jasmine otomatis memeriksa pakaiannya. Lengkap. Meskipun akhirnya ia bisa bernapas lega karena kemungkinan tidak terjadi sesuatu di antara mereka selain tidur di ranjang yang sama dalam posisi Adimas memeluknya dari belakang, namun tetap saja membuat Jasmine terkejut.
Perlahan Jasmine mengangkat tangan milik Adimas yang masih berada di atas perutnya agar ia bisa segera pergi. Namun bukannya terlepas dengan mudah, tubuhnya justru dipeluk erat Adimas layaknya guling.
Hal itu membuat wajah Jasmine berada sangat dekat dengan dada Jasmine. Saat itulah ia menyadari bahwa lelaki itu masih memakai pakaian yang sama dengan tadi sore. Masih dengan kemeja kerja yang sudah kusut dan kancing atasnya sudah terlepas. Suaminya itu belum berganti pakaian.
Ini kali pertama ia melihat Adimas seperti ini. Seingatnya, Adimas adalah tipikal orang yang sangat peduli terhadap kebersihan dan kerapian. Adimas bahkan melarang Jasmine masuk kesitu karena tidak ingin kamarnya kotor.
"Mas...." lirih Jasmine karena ia kesulitan bernapas.
Tubuhnya yang kecil didekap erat oleh lengan Adimas yang begitu kencang dan cukup besar.
"Mas... lepasin dong," pinta Jasmine. "Aku kesulitan bernapas." Jasmine menusuk-nusuk dada Adimas pelan.
Tubuh Adimas tidak bergeming sedikit pun bahkan semakin erat mendekap tubuh Jasmine. Karena frustasi, akhirnya Jasmine mendorong tubuh Adimas perlahan. Namun tetap saja, tenaga Jasmine jauh berbeda dengan tenaga Adimas.
Dua kali. Tiga kali. Tetap tidak bergeming.
Maka dengan sedikit frustasi dan banyak hati-hati, Jasmine akhirnya mengerahkan segenap tenaganya untuk mendorong tubuh lelaki itu ke sisi tempat tidur. Tapi mungkin karena posisinya sudah nyaris di tepi, Adimas malah terguling jatuh dan membuatnya mengaduh sakit.
"Mas!" seru Jasmine terkejut. Kemudian ia segera berlari menuju Adimas. "Mas nggak apa-apa, kan?" tanyanya khawatir sembari membantu Adimas bangkit.
"Kamu! Dasar biang masalah!" seru Adimas sambil menahan nyeri di beberapa bagian tubuhnya.
"Maaf. Aku panik soalnya Mas peluknya terlalu kuat. Jadinya aku nggak bisa napas."
Adimas menatap Jasmine tidak percaya. "Saya? Peluk kamu?" tanya Adimas meninggi membuat Jasmine mengangguk polos.
"Tidak mungkin. Kamu mimpi kayaknya," elak Adimas tidak terima.
"Tapi benar. Peluknya kayak guling lagi."
Mata Adimas sempat melirik Jasmine lagi. Lalu tanpa bicara, ia langsung mengambil jas kerjanya di sofa kamar Jasmine dan langsung pergi. Jasmine hanya diam menatap kepergian suaminya itu.
Namun sebelum benar-benar pergi, Adimas berbalik menatap Jasmine dengan meremehkan.
"Kalau memang saya peluk kamu itu saya khilaf. Satu hal lagi, kamu itu berbeda dengan guling. Tubuh kurus begitu nggak enak dipeluk."
"Galak banget," sahut Jasmine pelan namun tak urung membuat Jasmine tersenyum. "Eh, tapi mengapa dia tertidur di sini ya?" tanya Jasmine pada dirinya sendiri.
Setelah Adimas keluar, Jasmine ingin segera melakukan kegiatan rutinnya sebelum subuh. Pertama-tama ia ingin mandi segera, sebelum nantinya ia melakukan sholat tahajud. Semua rutinita*cnncnnchs ini sudah ia lakukan dalam beberapa tahun terakhir. jnn
Waktu terus bergulir dan jam dinding sudah menunjukkan waktu hampir subuh. Masih dengan memakai mukenanya, ia kemudian keluar kamar untuk mengisi tumblernya dengan minuman. Namun saat ia keluar kamar, ia melihat pintu kamar Adimas terbuka.
Jiwa ingin tahu Jasmine pun muncul. Ia pun memilih untuk mengintip sedikit ke arah dalam. Namun saat kakinya semakin dekat dengan kamar Adimas, matanya menangkap sosok Adimas di depannya.
"Mau ngapain?" tanya Adimas dengan rambut yang masih berantakan seperti selesai mandi.
Kemeja kerjanya sudah berganti kaos polos berwarna abu-abu dengan celana panjang putih. Tatapannya masih sama. Begitu tajam dan mengintimidasi Jasmine.
"Mas nggak tidur lagi?" tanya Jasmine.
"Tidak. Gara-gara kamu ngantuk saya hilang," jawab Adimas tanpa senyuman sama sekali.
Lelaki itu lalu berlalu dari hadapan Jasmine. Saat itulah mata Jasmine melihat bentol merah di leher Adimas.
"Mas tunggu," tangan Jasmine reflek menarik tangan Adimas. "Ini kenapa?" tanyanya kemudian sambil berusaha melihat tanda warna merah di leher Adimas itu dengan wajah serius.
Adimas terdiam. Hingga tiba-tiba ia mendorong tubuh Jasmine pelan.
"Awas! Tidak usah dekat-dekat saya!" Adimas langsung melangkah cepat ke bawah.
Sementara Jasmine hanya menatap Adimas dengan bingung. Adimas terlalu aneh. Lelaki itu seperti menghindari darinya.