Nayla mendapatkan kabar dari Tante Ida agar pulang ke Indonesia dimana ia harus menghadiri pernikahan Anita.
Tepat sebelum acara pernikahan berlangsung ia mendapatkan kabar kalau Anita meninggal dunia karena kecelakaan.
Setelah kepergian Anita, orang tua Anita meminta Nayla untuk menikah dengan calon suami Anita yang bernama Rangga.
Apakah pernikahan Rangga dan Nayla akan langgeng atau mereka memutuskan untuk berpisah?
Dan masih banyak lagi kejutan yang disembunyikan oleh Anita dan keluarganya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Rangga memeluk tubuh Nayla yang sudah lemas dan menggigil.
Tanpa membuang waktu, ia segera membopong istrinya dengan hati-hati, berlari menuruni tangga menuju lantai tempat kamar Nayla berada.
Di sepanjang lorong, perawat yang melihat mereka langsung menghampiri dengan ekspresi panik.
“Cepat, tolong bantu saya!” teriak Rangga dengan suaranya penuh kecemasan.
Para perawat segera mengambil alih dan Nayla diletakkan kembali di tempat tidurnya dengan lembut.
Tubuhnya basah kuyup dan rambutnya menempel di wajah yang pucat.
Beberapa perawat sibuk mengeringkan tubuhnya, sementara yang lain mengganti pakaiannya dengan baju pasien yang bersih dan kering.
Seorang perawat memasang kembali selang infus ke pergelangan tangan Nayla, lalu memeriksa tekanan darah dan detak jantungnya.
“Tekanannya darahnya rendah tapi masih stabil,” gumam perawat sambil melihat monitor.
Rangga berdiri di sudut ruangan, tubuhnya masih basah dengan nafasnya memburu dan wajahnya dipenuhi kekhawatiran.
Ia memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya.
Tapi gambaran wajah Nayla yang ingin menyusul Jati terus menghantui pikirannya.
“Den Rangga…” panggil Bi Ina yang baru datang, membawa pakaian ganti untuknya.
“Aku hampir kehilangannya lagi, Bi…”
“Yang penting sekarang Nona Nayla selamat. Tuhan masih kasih waktu." ucap Bi Ina.
Rangga mengangguk pelan dan ia mendekat ke sisi tempat tidur Nayla sambil menggenggam tangan istrinya yang dingin.
Matanya tak lepas dari wajah Nayla yang kini tertidur kembali lemah, namun hidup.
“Maaf Mau, aku janji akan jaga kamu. Walau semua terlambat untuk Jati, tapi tidak untuk kamu."
Suara mesin monitor detak jantung tetap terdengar stabil.
Malam yang penuh kecemasan mulai mereda dan perjalanan panjang penyembuhan hati Nayla baru saja dimulai.
Keesokan paginya dimana cahaya matahari pagi mulai menerobos masuk lewat jendela rumah sakit.
Di dalam kamar, Nayla masih terlelap. Sementara Rangga duduk di kursi di samping ranjang, menatap wajah istrinya dengan tenang.
Suasana hening itu tiba-tiba terusik oleh suara langkah sepatu yang tergesa-gesa.
Pintu kamar terbuka keras, dan masuklah seorang wanita paruh baya dengan dandanan mencolok dan ekspresi kesal yang tak bisa disembunyikan.
“Mana Nayla?! Aku dengar dia nyaris bunuh diri gara-gara si Jati itu!” serunya lantang tanpa memperdulikan pasien lain atau ketenangan ruangan.
“Tante Ida, tolong jangan buat keributan. Nayla masih dalam pemulihan.”
“Pemulihan? Jangan-jangan ini semua karena si Jati itu lagi! Lelaki tak tahu diri! Bahkan setelah mati pun masih bikin masalah!”
Rangga mengepalkan tangannya, matanya mulai tajam.
“Tante cukup!!"
“Cukup apa?! Aku dari dulu sudah bilang, anak itu nggak pantas ada di dekat Nayla. Dasar anak buangan, pembawa sial!”
“Cukup!” bentak Rangga tiba-tiba dan suaranya menggema di dalam kamar. Beberapa perawat yang lewat menoleh panik.
Rangga melangkah cepat ke arah Ida yang berdiri tepat di depannya.
Matanya menatap tajam dan penuh emosi yang ditahan.
“Tante tidak berhak berkata seperti itu. Jati sudah meninggal dunia. Kalau Tante kesini hanya untuk menyakiti Nayla dan menjelek-jelekkan orang yang bahkan sudah tidak bisa membela dirinya, ebih baik pergi sekarang juga.”
Tante Ida tampak terkejut mendengar nada suara Rangga yang selama ini dikenal tenang.
“Aku ini keluarganya, aku berhak—”
“Tidak. Bukan keluarga yang menyiksa dan menyakiti sejak kecil. Bukan keluarga yang membunuh semangat Nayla sedikit demi sedikit. Jati adalah satu-satunya orang yang pernah benar-benar mencintainya tanpa syarat. Jadi, kalau Tante tidak bisa menghormati itu, silakan keluar dari rumah sakit ini!”
Wajah Tante Ida memerah karena malu dan marah. Tatapan Rangga yang begitu tajam dan suara para perawat yang mulai berkumpul membuatnya mundur perlahan.
“Dasar tak tahu diri...” gerutunya sebelum akhirnya berbalik dan meninggalkan ruangan dengan suara langkah sepatu yang berat.
Begitu pintu tertutup, Rangga menarik nafas panjang dan kembali duduk di samping Nayla, menggenggam tangan istrinya yang masih belum sadar sepenuhnya.
“Tenang ya, Nay. Aku janji nggak akan ada yang menyakitimu lagi. Aku janji.”
Rangga duduk di samping ranjang, membacakan buku untuk Nayla.
Suaranya lembut, namun pikirannya penuh kekhawatiran.
Ia tahu, cepat atau lambat, Nayla akan membahas hal yang tak bisa dihindari.
"Mas Rangga..." suara Nayla pelan, namun cukup jelas untuk membuat Rangga menghentikan bacaannya.
Ia menatap wajah istrinya yang masih pucat, namun sorot matanya sudah jauh lebih tenang.
"Aku mau bicara sesuatu."
"Apa, Nay?"
Nayla menunduk. Jemarinya bermain dengan ujung selimut, seperti sedang menata keberanian.
“Aku mau kita berpisah, Mas.”
Rangga terdiam dan matanya berkedip lambat, seperti mencoba mencerna kalimat yang baru saja keluar dari mulut Nayla.
"Apa maksudmu?" tanya Rangga.
"Aku ingin bercerai dan nggak mau terus hidup dalam kepura-puraan. Kita menikah karena keadaan, bukan karena cinta. Dan sekarang semuanya terasa makin rumit."
"Nay—"
"Aku nggak marah sama Mas. Tapi hatiu masih penuh luka dan aku nggak bisa berpura-pura bahagia lagi."
Rangga menarik napas panjang, lalu menggeleng tegas.
“Aku nggak mau ceraikan kamu, Nay.”
"Kenapa? Mas masih bisa hidup bahagia tanpa aku. Aku cuma beban.”
“Karena aku mencintaimu,” ucap Rangga, mantap.
“Karena aku tahu aku pernah salah dan aku ingin menebus semuanya. Aku tahu aku terlambat, tapi aku nggak akan pergi lagi. Dan aku nggak akan biarkan kamu merasa sendirian.”
“Tapi Mas—”
“Nayla,” potong Rangga lembut, menggenggam tangannya.
“Aku janji akan sabar dan aku akan jadi tempat kamu bersandar. Kamu boleh marah, sedih, kecewa tapi jangan menyerah pada orang yang benar-benar ingin memperbaiki semuanya.”
Air mata Nayla jatuh pelan dan ia tak sanggup berkata-kata lagi, hanya bisa terisak dalam diam.
Sementara itu, Rangga tetap di sisinya menggenggam erat, seolah menyampaikan bahwa kali ini, ia tak akan melepaskan.
Sore itu langit tampak mendung, angin bertiup pelan dari sela jendela kamar rumah sakit.
Suasana kamar Nayla terasa tenang, hanya terdengar suara pelan dari infus yang menetes.
“Assalamualaikum, Nona Nayla...” suara hangat Bi Ina terdengar dari ambang pintu sambil membawa nampan berisi makanan.
“Waalaikumsalam, Bi...”
“Aduh, wajah Nona mulai segar. Nih, Bi bawain bubur ayam kesukaan Non Nayla. Masih hangat, Bi masak sendiri,” ucapnya riang sambil meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang.
“Terima kasih, Bi. Aku jadi kangen rumah...” ucap Nayla lirih.
Bi Ina duduk di pinggir ranjang dan mengusap punggung Nayla dengan lembut.
“Pelan-pelan ya makannya. Nanti Bibi suapin kalau Non Nayla masih lemas.”
Nayla tersenyum dengan matanya yang masih sembab.
Sementara itu dimana Rangga yang sedari tadi mendengarkan dari sudut ruangan memutuskan keluar diam-diam dan ia menutup pintu pelan agar tidak mengganggu.
Begitu keluar dan menyandar di dinding lorong rumah sakit, Rangga menunduk.
Bahu lebarnya bergetar perlahan dan tangannya mengepal, butiran air mata jatuh satu per satu ke lantai putih.
Ia tak mengeluarkan suara tangisnya diam, tertahan, hanya terlihat dari tubuh yang gemetar dan napas yang tercekat.
Bukan hanya karena kelelahan tapi karena rasa bersalah, kehilangan, dan cinta yang menumpuk tak tertahankan.
Di dalam ruang pemulihan terdengar suara lembut Bi Ina terdengar samar menyuapi Nayla.
Di luar, Rangga masih berdiri sendiri dalam sepi, berusaha menyembunyikan kesedihan yang hanya ia sendiri yang tahu seberapa dalam luka itu.