Entah ini mimpi atau nyata, namun Jenny benar-benar merasakannya. Ketika dia baru saja masuk ke dalam rumah suaminya setelah dia menikah beberapa jam lalu. Jenny harus dihadapkan dengan sikap asli suaminya yang ternyata tidak benar-benar menerima dia dalam perjodohan ini.
"Aku menikahimu hanya karena aku membutuhkan sosok Ibu pengganti untuk anakku. Jadi, jangan harap aku melakukan lebih dari itu. Kau hanya seorang pengasuh yang berkedok sebagai istriku"
Kalimat yang begitu mengejutkan keluar dari pria yang baru Jenny nikahi. Entah bagaimana hidup dia kedepannya setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zaina Yang Kembali Ceria
Hildan pulang ke rumahnya dan dia melihat putrinya yang sudah kembali ceria. Bahkan saat ini dia sedang bermain dengan Papa. MElihat itu Hildan merasa senang karena sudah lama dia tidak melihat tawa anaknya lagi.Mungkin sejak kepergian Jenny. Hildan menghampiri anaknya.
"Wah, anak Daddy sudah sembuh ya sekarang"
"Iya dong kan sudah bertemu dengan Bun..." Zaina langsung menutup mulutnya sendiri ketika dia hampir saja keceplosan pada Ayahnya itu.
"Bertemu dengan siapa Sayang?"
"Tidak Daddy, Zaina tidak bertemu dengan siapa pun. Tadi Zaina hanya pergi jalan-jalan dengan Oma, jadi seneng deh"
Hildan mengangguk memngerti, dia percaya saja pada anaknya itu. "Yaudah kalau gitu Daddy mau mandi dulu ya Sayang"
"Iya Daddy"
Hildan tersenyum lega ketika melihat anaknya yang sudah kembali ceria. Setidaknya saat ini dia hanya perlu memikirkan tentang bagaimana meluluhkan Jenny yang sama sekali belum dia temui sampai saat ini, agar tidak jadi menggugat cerai dirinya ini.
"Aku akan membuat kamu kembali padaku, Jenny. Aku akan benar-benar berusaha akan hal itu"
Tekad Hildan yang sudah sangat yakin untuk membuat Jenny kembali padanya. Hildan akan membuat Jenny memaafkannya meski mungkin dia harus bersujud di bawah kaki Jenny.
Hildan selesai mandi dan sekarang langsung ikut bergabung dengan kedua orang tuanya yang sedang bermain dengan Zaina.
"Ma, apa sudah ada kabar dari Ibunya Jenny? Apa Jenny sudah mau bertemu denganku?"
Bahkan Jenny benar-benar mengganti nomor ponselnya hanya untuk menghindari Hildan. Mama saja masih belum mendapatkan nomor ponsel Jenny yang baru, karena tadi saja saat mereka akan bertemu Mama harus menghubungi pada Ibunya, bukan pada Jenny langsung.
"Sepertinya belum Dan, Mama belum mendapatkan kabar apapun"
Hildan hanya menghela nafas pelan dengan sedikit frustasi. Karena sampai saat ini dia masih belum bisa mendapatkan maaf dari Jenny. Bahkan Hildan masih belum bisa bertemu denagn Jenny karena sampai saat ini saja dia belum mengetahui keberadaan Jenny dimana sekarang.
"Kamu nikmati saja dulu penyesalan kamu, Dan. Sudah kami carikan pendamping hidup yang baik dan mau menerima Zaina dengan begitu tulus. Tapi malah kamu sia-sia'kan" ucap Papa datar
Hildan hanya terdiam karena apa yang di ucapkan Papa barusan memang benar. Dirinya yang tidak bersyukur sampai tidak melihat ketulusan Jenny padanya dan juga anaknya. Hildan yang terllau sombong, hingga berfikir jika dirinya bisa hidup tanpa Jenny. Bahkan sebelumnya dia pernah berpikir jika Jenny pergi maka kehidupan Hildan akan lebih baik daripada saat Jenny ada di kehidupannya.
Namun pada kenyataannya, dia tidak bisa hidup tanpa Jenny. Karena setelah Jenny benar-benar pergi dari kehidupannya, maka dia semakin merasakan ketulusan yang Jenny berikan padanya juga anaknya. Hildan mulai merasa kehilangan sejak itu.
"Hildan sudah benar-benar menyesal Pa, sekarang aku sudah sadar jika Jenny memang yang terbaik untuk aku dan Zaina. Aku memang bodoh..."
"Kau baru sadar jika kau itu memang bodoh?"
Hildan hanya diam saat Mama memotong ucapannya. Ya, Hildan memang terllau bodoh sampai dirinya tidak bisa menyadari dan merasakan ketulusan Jenny padanya dan anaknya. Malah dengan teganya Hildan malah membuat hancur hidup Jenny hingga dia merasa lelah padanya dan akhirnya pergi dari kehidupannya.
######
Jenny duduk diatas sofa dengan kedua kakinya yang di angkat ke atas sofa dan di tengkuk. Tangannya memeluk lututnya sendiri sambil menatap pemandangan malam di luar jendela yang tirainya sengaja dia buka. Jenny masih memikirkan ucapan Mama tadi siang. Mencoba meyakikan keputusan apa benar-benar membuatnya yakin.
Entahlah, apa memang bercerai adalah keputusan yang baik? Tapi kenapa aku tidak yakin dengan keputusan itu.
Jenny sedang benar-benar bingung dengan keadaan sekarang. Dalam fikirannya dia memang harus bercerai dengan Hildan setelah apa yang dia lakukan padanya selama ini.Tapi dalam hati kecilnya merasa tidak yakin dengan keputusan yang dia ambil.
Jenny benar-benar sedang dibuat bingung dengan fikiran dan hatinya yang tak sama. Tentang fikirannya yang mendukung berpisah dan hatinya yang tidak yakin dengan keputusan itu.
"Au serahkan saja semuanya pada takdir Tuhan, entah akan bagaimana ujung dari kisahku ini"
Jenny lebih memilih untuk tidur untuk sejenak melupakan masalah yang sedang dia hadapi saat ini. Jenny yang ingin sejenak saja menenangkan fikirannya yang sedang kacau.
Dan pagi ini dia terbangun ketika rasa mual yang kembali menyerang tubuhnya. Jenny juga bingung kenapa akhir-akhir ini dia sering sekali muntah di pagi hari.
Melihat itu, kecurigaan Ibu semakin menjadi. Dia sudah beberapa hari melihat Jenny yang seperti ini. "Jen, kamu tidak papa 'kan?"
Jenny menggeleng pelan sambil mengelap mulutnya dengan tisu. Meski tubuhnya yang sekarang terasa sangat lemas karena terlalu sering muntah di pagi hari, di tambah lagi dengan selera makannya yang tidak baik akhir-akhir ini.
"Mungkin Jenny hanya masuk angin saja Bu"
Ibu menghampiri Jenny yang sedang duduk di kursi meja makan dengan menuangkan air ke dalam gelas. "Jen, apa tidak sebaiknya kita mulai periksa saja? Sepertinya kamu sudah terlalu sering seperti ini dan kita tidak bisa membiarkannya. Kalaupun masuk angin tidak mungkin setiap pagi kamu akan seperti ini. Sebaiknya kita periksa saja"
Jenny terdiam, memang benar juga apa yang di katakan oleh Ibunya itu. Memang dia sudah beberapa hari terakhir mengalami semua ini. Meski awalnya dia menganggap semua ini hanya karena dia masuk angin saja. Tapi lama-kelamaan dia juga merasa tubuhnya yang lemas dan gampang sekali kelelahan.
"Sepertinya memang seperti itu Bu, aku memang harus periksa ke Dokter. Karena aku juga merasa ada yang tidak beres dengan tubuhku ini"
Ibu mengangguk, dia segera membantu Jenny bersiap dan segera mengantarnya ke rumah sakit. Saat ini Ibu memilih untuk membawa Jenny dengan menggunakan taksi saja, karena dalam kondisi seperti ini mana mungkin dia bisa menyetir dengan fokus.
"Jadi sejak kapan anda mengalami ini?" tanya Dokter
Jenny melirik Ibu sekilas sebelum dia menjawabnya. "Mungkin sudah ada satu minggu terakhir"
"Apa anda sudah mengalami menstruasi bulan ini?"
Jenny mengerutkan keningnya, bingung dengan pertanyaan Dokter yang malah mempertanyakan tentang siklus datang bulannya. "Saya memang belum datang bulan, tapi memang biasanya juga seperti ini. Karena saya sering sekali telat datang bulan jika sedang kacapean dan banyak pikiran atau stres"
"Baiklah kalau begitu ayo kita periksa saja sekarang"
Jenny mengangguk, dia mengikuti Dokter ke arah ranjang pemeriksaan disana. Meski dia merasa sedikit takut jika mungkin saja dia akan menderita penyakit yang cukup serius dengan gejala yang dia alami saat ini.
Bersambung
Kisah Vania judulnya Noda Dan Luka