NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:914
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suamiku Dan Caranya Menenangkan

   Malam itu, setelah kelelahan emosional di rumah Ibu, aku kembali ke rumah kontrakan kecilku bersama Ardi di daerah Antapani. Jalanan Bandung sudah sepi, lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kuning di aspal yang masih basah. Aku duduk di kursi penumpang sambil memeluk lengan sendiri, seolah tubuhku masih mencari kehangatan yang hilang di rumah tadi.

   Ardi tidak banyak bicara selama perjalanan. Ia hanya sesekali melirikku, memastikan aku tidak menangis lagi. Dari sorot matanya, aku tahu ia sedang menimbang sesuatu, tapi seperti biasa Ardi hanya akan bicara ketika ia sudah menemukan kata yang tepat.

   Saat kami tiba, Ardi mematikan mesin mobil dan menoleh.

“Alya,” panggilnya pelan, “kamu mau langsung istirahat, atau mau duduk sebentar dulu?”

   Aku menunduk, suara serakku hampir tidak terdengar. “Aku nggak tahu, Di.”

   Ardi mengambil napas, lalu keluar dari mobil. Ia berjalan ke arahku, membuka pintu penumpang, dan mengulurkan tangan. “Ayo. Kita masuk dulu.”

   Aku menggenggam tangannya tanpa kata. Sentuhan itu sederhana, tapi hangat.

Dan anehnya, hanya dengan itu saja, jantungku seperti menemukan ritme baru.

 

   Begitu masuk ke rumah, Ardi tidak langsung bertanya macam-macam seperti kebanyakan orang. Ia tahu aku tidak siap. Ia tidak pernah memaksaku membuka isi kepala ketika pikiranku masih berantakan. Itu salah satu hal yang membuat pernikahan ini yang awalnya dipaksakan mulai terasa seperti rumah bagiku.

   “Alya, duduk dulu di sofa,” ujarnya.

   Aku menurut. Ardi masuk ke dapur, dan terdengar suara kettle air panas dinyalakan. Tak lama kemudian ia kembali sambil membawa dua cangkir teh hangat. Mint tea minuman yang selalu ia buatkan kalau aku sedang gelisah.

   Ia menyerahkan cangkir itu ke tanganku. “Pelan-pelan aja minumnya.”

   Aku meniup perlahan lalu menyeruput sedikit. Kehangatannya turun dari tenggorokan sampai dada, membawa rasa nyaman yang sudah lama tidak kurasakan.

   Ardi duduk di sebelahku, tapi tidak terlalu dekat. Ia selalu memberi ruang saat aku butuh, tapi cukup dekat untuk membuatku tahu ia ada di sana.

   “Kamu keliatan capek banget,” katanya lembut.

   Aku menunduk. “Aku bingung, Di. Rasanya kayak semua yang aku tahu selama ini tiba-tiba berubah.”

   Ardi menatapku. “Soal perceraian Ibu dan Ayah?”

   Aku mengangguk. Air mataku menetes begitu saja, padahal aku tidak bermaksud menangis lagi malam itu. “Aku kira mereka kuat. Aku kira mereka bahagia. Aku kira… keluarga kami aman.”

   Ardi mengusap punggung tanganku perlahan. “Alya… kadang orang tua itu nggak mau keliatan rapuh di depan anak-anaknya. Mereka tutup retakan itu lama banget.”

   Aku menggigit bibir, mencoba menahan sesak di dada. “Tapi kenapa harus sekarang? Kenapa setelah Laras kehilangan bayi? Kenapa saat Raka baru gede? Kenapa justru waktu aku baru mulai belajar jadi istri?”

   Ardi tersenyum tipis. “Karena hidup nggak pernah pilih waktu yang enak buat ngasih kita ujian.”

   Aku menghela napas panjang, membiarkan tubuhku tenggelam di sofa.

   Ardi tidak banyak bicara. Ia hanya duduk di sana, menjadi diam yang menenangkan bukan diam yang menyakitkan seperti Ayah. Diam Ardi adalah ruang aman. Tempat aku bisa taruh semua kekacauan tanpa takut dihakimi.

   Beberapa menit berlalu tanpa percakapan. Cuma suara hujan tipis yang mulai turun lagi di luar.

   Baru setelah aku menarik napas lebih stabil, Ardi bertanya pelan, “Kamu mau cerita dari awal?”

   Aku mengangguk. Dan aku mulai bercerita pelan, patah-patah, tapi jujur.

   Tentang wajah Ibu yang pucat saat aku tiba.

   Tentang Raka yang menahan tangis.

   Tentang Dimas yang kelihatan hilang arah.

   Tentang Laras yang takut masa depan anaknya akan

   berantakan.

   Tentang album foto yang membuat kami menangis bersama.

   Tentang retakan tiga puluh tahun yang akhirnya pecah

   malam itu.

   Ardi mendengarkan tanpa menyela.

   Sesekali ia mengangguk, sesekali matanya berkaca-kaca. Ia bukan laki-laki yang mudah menunjukkan emosi, tapi ia juga bukan batu. Ia merasa, ia memahami, ia ikut masuk ke dalam ceritaku seperti itu juga kisah hidupnya.

   “Alya…” setelah aku selesai bicara, Ardi menatapku lama. “Kamu udah kuat banget hari ini.”

   Kata-kata itu sederhana, tapi membuat dadaku hangat.

Dan untuk pertama kalinya dalam empat jam terakhir… aku merasa dihargai.

   “Di…” suaraku serak, “…aku takut.”

   “Apa yang kamu takutin?”

   “Aku takut pernikahan kita juga kayak gitu.” Tangisku kembali pecah. “Aku takut kita udah mulai dari perjodohan, dari nggak saling kenal, takut nanti ternyata kita cuma bertahan, tapi nggak bahagia.”

   Ardi mendekat, menghapus air mataku dengan ibu jarinya.

Lalu ia berkata dengan suara paling jujur yang pernah kudengar darinya:

   “Alya, aku menikah sama kamu karena aku mau. Bukan cuma karena dijodohkan. Aku mau kamu tahu satu hal…”

   Ia menggenggam kedua tanganku, hangat dan mantap.

    “Retakan itu nggak datang karena hubungan dijodohkan atau karena kurang cinta. Retakan datang kalau dua orang berhenti saling berusaha. Selama kamu dan aku sama-sama mau belajar, mau ngomong, mau dengerin… kita akan baik-baik aja.”

    Aku menatapnya, mata kami bertemu, dan aku merasakan sesuatu menenangkan mengalir ke seluruh tubuhku.

    “Dan kalau suatu hari kamu takut lagi,” lanjutnya, “bilang ke aku. Jangan simpan sendiri.”

    Aku menelan air mata. “Ardi…”

    “Hm?”

    “Terima kasih.”

    Ia tersenyum kecil. “Menenangkan kamu itu bukan tugas, Alya. Itu hak aku sebagai suami.”

   Seakan mengerti bahwa aku butuh lebih dari sekadar kata-kata, Ardi berdiri. “Ayo.”

   “Ke mana?”

   “Kamar. Kamu butuh dipeluk.”

   Aku tertawa kecil di tengah air mata. “Kamu sok tahu.”

   “Tapi kamu tetap ikut, kan?”

   Aku mengangguk.

 

   Di kamar, Ardi menarik selimut dan duduk di tepi ranjang. Aku menyusul, duduk di sampingnya. Ia meraih tubuhku, menarikku ke dadanya. Pelukannya hangat, stabil, tidak tergesa-gesa. Pelukan yang membuat seluruh beban di pundakku perlahan mencair.

   Aku bersandar pada bahunya, mendengar detak jantungnya yang tenang, seolah dunia di luar tidak lagi berisik.

   “Kamu boleh nangis di sini,” bisiknya. “Tapi setelah itu… kamu harus bangun lagi. Karena kamu bukan cuma anak pertama yang harus jadi penopang adik-adikmu. Kamu juga istri aku. Kamu rumah untuk aku juga.”

    Dadaku bergetar.

   “Ardi…”

   “Hm?”

   “Kadang… aku ngerasa gagal sebagai anak sulung.”

   “Tapi kamu nggak,” jawabnya cepat. “Kamu pulang waktu Ibu butuh. Kamu kuat waktu adik-adikmu goyah. Kamu temenin mereka malam ini. Alya… kamu bukan cuma anak sulung. Kamu jantung keluarga itu.”

   Aku memejamkan mata, membiarkan kata-katanya masuk ke dalam hatiku.

   Beberapa menit berlalu dalam sunyi yang nyaman.

Lalu Ardi menepuk lembut kepalaku.

   “Tidur dulu. Besok kita hadapi bareng-bareng lagi.”

   Aku mengangguk, tetapi sebelum benar-benar memejamkan mata, aku bertanya pelan, “Di… kamu takut kita retak nggak? Kayak Ibu dan Ayah?”

   Ardi tersenyum kecil, mencium keningku.

   “Enggak. Kamu terlalu keras kepala buat ninggalin aku.”

  bAku tertawa di antara sisa air mata. “Kamu lebih keras kepala.”

   “Nah, itu sebabnya kita cocok.”

   Pelukan itu menjadi jawaban.

   Pelukan itu menjadi obat.

   Dan malam itu untuk pertama kalinya setelah mendengar kabar perceraian aku tidur dengan tenang.

   Di samping seorang laki-laki yang tidak sempurna, tapi selalu tahu cara menenangkan tanpa membuatku merasa lemah.

   Suamiku, Ardi. Caranya mencintai mungkin sederhana. Tapi caranya menenangkan… Itu yang membuatku tetap pulang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!