Jiao Lizhi, 25 tahun, seorang agen profesional di abad ke-21, tewas tragis saat menjalankan misi rahasia. Yatim piatu sejak kecil, hidupnya dihabiskan untuk bekerja tanpa pernah merasakan kebahagiaan.
Namun tak disangka, ia terbangun di dunia asing Dinasti Lanyue, sebagai putri Perdana Menteri yang kaya raya namun dianggap “tidak waras.” Bersama sebuah sistem gosip aneh yang menjanjikan hadiah. Lizhi justru ingin hidup santai dan bermalas-malasan.
Sayangnya, suara hatinya bersama sistem, dapat didengar semua orang! Dari keluhan kecil hingga komentar polosnya, semua menjadi kebenaran istana. Tanpa sadar, gadis yang hanya ingin makan melon dan tidur siang itu berubah menjadi pejabat istana paling berpengaruh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kaligrafi Profesional
Jiao Fei membantu sang ayah untuk duduk, sementara ia melihat adiknya yang senang, ada keraguan dihatinya.
“A Zhi, tolong bantu aku.”
Baru setelah keluar suara dari Jiao Fei, Jiao Lizhi menoleh dan melihat bahwa sang ayah sedang kesakitan.
“Ah? Oh tidak ayah, kau kenapa?” tanya Jiao Lizhi yang kaget lalu menghampiri sang ayah, dan memegang lengannya.
Jiao Wenqing yang melihat Jiao Lizhi sekarang mengkhawatirkan nya, dalam hati ia merasa sangat hangat. Anak perempuannya, masih menyayanginya.
“Ayah tak apa!” jawab Jiao Wenqing sambil tersenyum, namun setelahnya ia membeku karna Jiao Lizhi akhirnya melepaskan tangannya di lengan Jiao Wenqing.
“Oh, kalau begitu ayah dan kakak lanjutkan kegiatannya.”
Jiao Wenqing, “...”
“Ehm ayah,” katanya ceria, “hadiah ini… boleh aku ambil semua?”
Jiao Wenqing menatap anaknya lama. Sangaaat lama. Sampai Jiao Fei pelan-pelan menepuk punggung ayahnya.
Akhirnya Jiao Wenqing menyerah. “…Ambil lah.”
“AYAH TERBAIK DI DUNIA!!” Jiao Lizhi langsung memeluk lengan ayahnya erat, begitu erat hingga Jiao Wenqing hampir jatuh mundur.
Saat sang ayah hendak membalas pelukan, anak perempuannya itu sudah lenyap seperti angin, berlari ke arah peti-peti hadiah. Ia kecewa untuk kedua kalinya.
“HALO PELAYAN! CEPAT, CEPAT! BAWA INI KE GUDANGKU! YA, SEMUANYA! JANGAN ADA YANG YANG TERTINGGAL!” teriak Jiao Lizhi semangat.
Para pelayan terlonjak dan langsung bekerja dengan panik.
Jiao Wenqing hanya bisa melongo, mulut terbuka tanpa suara seperti ikan yang diangkat dari air.
Jiao Fei menepuk pundak ayahnya dengan simpati yang tulus. “Ayah… sabar… aku hanya punya satu adik perempuan… dan ayah punya anak perempuan satu-satunya.”
Jiao Wenqing menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kenapa… kenapa tidak ada ramuan penenang khusus untuk anak perempuan ini…”
Akhirnya Jiao Wenqing dan Jiao Fei pergi dari halaman itu menuju ke tempat tinggal Jiao Wenqing.
Sementara itu, Jiao Lizhi masih berada di gudang, memperhatikan para pelayan yang membawa peti-peti hadiah dengan langkah super hati-hati seolah kotak itu berisi bayi naga tidur yang bisa membantai satu desa kalau terbangun.
Pelayan kesayangannya, Cui, mencatat setiap barang yang masuk dengan serius, bahkan sampai menjulurkan kepalanya sedikit karena terlalu fokus.
Tepat saat Jiao Lizhi sedang menghitung-hitung kemungkinan jumlah emas yang bisa ia jajakan diam-diam:
[Selamat. Tuan rumah mendapatkan satu kesempatan memutar undian.]
Suara sistem terdengar begitu tiba-tiba hingga Jiao Lizhi hampir jatuh.
“Hah?” Jiao Lizhi mengerutkan kening.
Di depannya muncul sebuah layar transparan, berkilau lembut. Di dalamnya ada sebuah roda besar penuh tulisan: Pedang Ilahi, Seni Kecantikan, Tubuh Kebal Racun, Ahli Strategi, Kaligrafi Profesional… dan entah apa lagi.
Jiao Lizhi melotot. “Apa-apaan ini? Permainan pasar malam?”
Ia tahu cara main roda keberuntungan, ia bukan bodoh, tapi…
“Siapa yang mutar ini? Dan bagaimana cara berhentinya? Apakah kau ingin aku lari mengejar roda?”
Sistem menjawab tenang,
[Tuan rumah memulai dengan mengatakan ‘mulai’, dan permainan akan berhenti saat tuan rumah mengatakan ‘berhenti’. Hadiah yang ditunjuk adalah milik tuan rumah.]
“Oh gitu…” Jiao Lizhi mengangguk.
“BAIK! MULAI!”
Roda berputar cepat, berputar dan berputar, huruf-hurufnya nyaris jadi kabur.
Setelah beberapa detik,Jiao Lizhi merasa gaya.
“BERHENTI!”
Roda melambat… lalu berhenti.
Hadiah yang terpilih:
KALIGRAFI PROFESIONAL
Hening.
Jiao Lizhi mengedip. Sekali. Dua kali. Tiga kali.
“…HAH?! BUAT APA AKU JADI ORANG YANG BISA MENGGAMBAR GORESAN HURUF?! Itu tidak menghasilkan uang! Aku mau emas! Mungkin pedang ilahi! Atau tubuh kebal racun! Minimal sesuatu yang bisa dijual!”
Namun sebelum ia bisa memaki lebih jauh...
BRUK!
Seolah sebuah pintu terbuka di kepalanya dan seluruh pengetahuan kaligrafi, teknik kuas, aliran tinta, bentuk karakter kuno hingga teknik gaya bangsawan, semuanya masuk sekaligus.
Jiao Lizhi memegangi kepalanya, wajah meringis.
“Uh, kepalaku, apa ini? siapa? siapa yang memasukkan perpustakaan ke otakku….”
Ia tersandar ke dinding kayu, memejamkan mata, tubuhnya goyah.
Cui yang sedang mencatat sampai hilang warna wajahnya.
Ia memelototkan mata, menjatuhkan buku catatan, lalu berlari kecil menghampiri.
“Nona?! Nona! Apakah Anda baik-baik saja? Nona!”
Ia mengguncang pundak Jiao Lizhi panik.
Jiao Lizhi hanya mengerang pelan.
“Em… aku baik-baik saja… sebentar…”
Cui menggigit bibir cemas, menunggu seperti anak ayam menunggu induknya membuka mata lagi.
Beberapa saat kemudian, Jiao Lizhi membuka matanya. Sakit kepalanya benar-benar hilang seketika, seolah tidak pernah ada.
Cui langsung mencondongkan tubuh, suaranya penuh kekhawatiran, “Nona! Anda benar-benar tidak apa-apa? Tadi wajah Anda pucat sekali!”
Jiao Lizhi menghela napas, kembali menjadi dirinya yang sok kuat.
“Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Lanjutkan pekerjaanmu. Aku akan kembali.”
“Tapi, Nona… biar aku mengantar Anda kembali ke kediaman.”
“Tidak perlu. Aku bisa berjalan sendiri.”
Jiao Lizhi menepuk-nepuk pakaiannya lalu bangkit berdiri.
“Aku benar-benar tidak apa-apa. Aku kembali ke kamar dulu.”
Cui masih ingin membantah, tapi Jiao Lizhi sudah melambaikan tangan.
Cui akhirnya membungkuk kecil.
“Baik, Nona… hati-hati.”
Dan Jiao Lizhi berjalan pergi, sambil masih menggerutu dalam hati.
Setelah masuk kamar, Jiao Lizhi langsung menutup pintu dan berjalan ke ruang kerjanya yang sederhana, meja kayu tua, tumpukan kertas berdebu, dan kuas-kuas yang selama ini hanya dipakai untuk… ya, hiasan. Ia menarik kursinya, duduk, lalu mengambil sehelai kertas putih bersih.
Ia mengambil kuas, mencelupkannya ke tinta hitam pekat, dan tanpa berpikir panjang menulis apa pun yang terlintas di kepalanya.
Tangannya bergerak…
Garis pertama melengkung lembut.
Garis kedua menyambar tajam.
Lengkungannya harmonis, tekanan tintanya sempurna.
Dalam beberapa detik, klik!, sebuah karakter besar muncul dengan estetika yang bahkan para sarjana pun belum tentu bisa buat.
Jiao Lizhi mematung.
Lalu...
“WOOOOOW!”
Ia bangkit dari kursi sampai hampir menabrak meja.
Matanya berbinar seperti menemukan emas batangan.
“Ini… aku menulis ini?! Aku?! Dengan tanganku?! Wah, aku jenius! Lihat niihhh! Indah sekali! Sempurna! Luar biasa!”
Jiao Lizhi mengangkat kertas itu tinggi-tinggi, memutarnya ke segala sisi.
Ia tersenyum bangga, senang setengah mati…
…sampai mulutnya mendadak mengerucut.
“……”
Ia mendesah panjang.
Sangat panjang.
“Untuk apa aku punya keahlian seperti ini?”
Ia menjatuhkan wajah ke meja.
“Hah… seandainya aku dapat hadiah lain. Yang bisa dijual.”
Ia mengangkat kepala sedikit.
“Hei, sistem… bolehkah aku menukar hadiahnya? Katakan saja aku salah pilih… gimana kalau ditarik balik? Atau diulang?”
Sistem menjawab datar, [Tidak.]
Jiao Lizhi mengerjap cepat, lalu mencoba tersenyum manis seperti mau menipu manusia bodoh.
“Ayo sistem… bagaimana kalau begini… kau dapat cinta dan kesetiaan abadiku. Kau suka itu kan? Kau bisa bangga punya tuan rumah sepertiku. Gimana kalau saling menguntungkan saja… ayo… ayo lah…”
[Tidak.]
“HEI! Kenapa jawabannya selalu ‘tidak’?!”
[Karena permintaan tuan rumah tidak valid.]
Jiao Lizhi membanting kuas ke meja.
“AARRRGHHH! Sistem jahat! Sistem pelit! Sistem tidak tahu cara membahagiakan tuannya!”
[Hadiah sudah diambil. Tidak dapat diganti.]
Jiao Lizhi mendengus kesal, meraih kertas hasil kaligrafinya lagi, menatap karakter indah itu seolah ingin mengomeli huruf itu saja.
Lalu ia berdecak lirih.
Ia mengubur mukanya ke meja sekali lagi.
habis sudahhh