Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makeover Jingga…
Langkah Nisa menuruni basement parkiran awalnya ringan, kunci mobil sudah ia putar-putar di jari. Tapi pandangannya tiba-tiba terpaku pada sepasang bayangan di ujung ceruk pojokan. Lidya, dengan rok ketatnya, dan Mahesa yang tampak gugup.
Alis Nisa langsung bertaut. Apa lagi ini? Tanpa pikir panjang, ia berjingkat, bersembunyi di balik tembok beton dingin. Dari sana ia jelas mendengar percakapan mereka.
“Lid, kenapa kau membuat cerita palsu begitu tentang Jingga? Mana pernah dia membullymu, bukankah justru selama SMA dia yang selalu menolongmu?” suara Mahesa terdengar resah.
“Oh… ayolah Mahes,” Lidya mendesah manja. “Kan sudah aku bilang, aku akan buat semua orang membenci Jingga. Kamu lihat sendiri kan gosipnya? Cepat sekali menyebar. Tinggal tunggu waktu, semua akan dukung kita.”
Nisa menganga, matanya membelalak. Rahangnya mengeras. Berengsek… desisnya lirih.
Lidya makin menggoda, mengalungkan lengannya di leher Mahesa. “Tadi bahkan ada yang nyaranin supaya aku rebut kamu dari Jingga. Bukankah itu artinya semua orang lebih berpihak pada kita sekarang?”
Mahesa tampak bimbang. “I-iya sih… tapi apa harus secepat itu? Dan… Kevin? Siapa Kevin? Apa benar Jingga merebutnya darimu?”
“Kamu nggak percaya aku, Mahes? Hm?” Lidya mengerling manja. “Apa kamu khawatir sama Jingga? Aku jadi cemburu. Apa aku kurang cantik? Kurang menggoda?”
Mahesa buru-buru menggeleng. “Bukan begitu, Lidya. Tentu saja kamu jauh lebih cantik. Jingga itu… kampungan. Aku malu kalau teman-temanku lihat penampilannya. Dia memang nggak selevel sama aku.”
Nisa berdiri kaku di dekat pilar parkiran basement. Nafasnya masih terengah, dada naik turun, telinganya seolah masih panas oleh percakapan busuk yang barusan ia dengar. Tatapan Lidya yang manis-manis racun, suara Mahesa yang enteng merendahkan Jingga, semua berputar ulang di kepalanya.
Ia mengepalkan tangan. “Kurang ajar kalian…,” gumamnya lagi. Hatinya berkecamuk antara ingin menampar Lidya di tempat, atau menyeret Mahesa supaya sadar, tapi akhirnya ia memilih satu hal lain: membalas dengan cara elegan.
Ia berbalik, langkah kakinya cepat, seakan lantai marmer kantor tak cukup menahan ledakan emosinya. Begitu sampai di lantai atas, matanya langsung tertuju pada sosok yang masih setia di balik meja, tenggelam di antara tumpukan map dan kertas. Jingga. Rambutnya yang panjang dikuncir seadanya, wajahnya polos tanpa make up, kemeja kerjanya kusut karena dari tadi duduk.
Nisa menarik napas dalam, lalu menghampiri.
“Jingga!” panggilnya singkat, nada tegas.
Jingga menoleh, terkejut melihat ekspresi sahabatnya. “Eh, Nis? Bukannya kamu udah pulang? Kok balik lagi? Ada apa, mukamu kayak habis adu tinju.”
Nisa tak menjawab. Ia langsung menarik kursi Jingga hingga bergeser. “Udah, beresin cepat. Ikut aku sekarang.”
“Loh, loh, loh, mau kemana? Aku masih banyak kerjaan nih. Deadline, Nis! Mau lembur.” Jingga mencoba mengulur, tangannya masih meraih pena.
“Aku gak peduli. Kamu ikut aku sekarang,” suara Nisa meninggi, lalu ia mendekat, menunduk, berbisik dengan nada menahan emosi, “Aku gak tahan lagi lihat kamu diremehin, dihina. Aku barusan denger sendiri omongan mereka. Aku gak akan biarin kamu terus jadi bahan ejekan. Ayo!”
Jingga terdiam. Ekspresi polosnya berubah bingung. “Eh, maksudmu siapa? Siapa yang ngejek aku lagi? Aku udah biasa kok, Nis. Udah kayak makanan sehari-hari… “
“Jangan bilang ‘biasa’. Itu bukan hal yang pantas dibiasakan, Jingga! Mereka itu… keterlaluan.” Nisa menggertakkan gigi, lalu menatap sahabatnya dalam. “Kamu harus berubah. Kalau mereka meremehkan kamu karena penampilan, kita tunjukkan kalau mereka salah.”
Jingga mengerjap, lalu tiba-tiba nyengir iseng. “Ah, jadi ini ya… kamu mau ngajak aku ikut acara ‘Make Over 101’ ala sinetron? Habis itu aku disulap kayak putri raja? Jangan-jangan kamu bawa tongkat sihir.”
Nisa menepuk jidat. “Jingga! Aku serius.”
“Tapi aku serius juga, Nis. Aku mana bisa disulap. Nih liat, wajahku tuh wajah pas-pasan, kulitku gampang belang, rambutku kusut kayak mi instan. Kamu yakin gak salah target?” Jingga terkekeh, mencoba mencairkan suasana.
Tapi Nisa malah menatapnya lekat-lekat. “Aku serius, Jingga. Kamu cantik. Dari dulu aku tahu itu. Cuma kamu terlalu cuek sama diri sendiri. Sekarang waktunya kamu kasih pelajaran. Biar mereka semua ternganga.”
Jingga terdiam, melihat kesungguhan di mata Nisa. Pelan-pelan ia meletakkan pena. “Hmm… kalau aku nolak?”
“Kalau nolak, aku culik kamu sekarang juga,” jawab Nisa mantap.
Jingga terbahak. “Astaga! Kayak mafia aja. Ya udah deh… daripada aku dibekap di basement, aku ikut. Tapi inget ya, Nis, jangan bikin aku kayak boneka Barbie gagal.”
Nisa menarik tangannya. “Tenang aja. Aku tahu persis yang kamu butuhkan.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Salon modern di pusat kota jadi tujuan pertama mereka. Begitu masuk, aroma wangi hair treatment dan suara hairdryer bercampur. Stylist yang ramah langsung menyambut.
“Selamat malam, Mbak. Mau treatment apa?”
Nisa menunjuk Jingga. “Dia. Full treatment. Rambut potong, cat, blow, semua. Bikin dia fresh, chic, classy. Jangan ada kompromi.”
Jingga melotot. “Woi, aku masih hidup loh, bisa ngomong sendiri! Dan… full treatment? Kamu kira aku pohon beringin yang butuh perawatan lengkap?”
Stylist terkekeh, Nisa menepuk bahu Jingga. “Udah, duduk. Nikmatin.”
Sambil rambutnya dicuci, Jingga mendesis geli. “Ya Allah, aku kayak kerbau disikat. Eh, jangan kuat-kuat, ntar kepalaku botak.”
Stylist menahan tawa. Nisa hanya menggeleng sambil tersenyum, matanya hangat melihat sahabatnya yang selalu bisa bercanda bahkan di situasi begini.
Ketika rambut panjang hitamnya dipotong sebahu, Jingga sempat menutup mata. “Nis… kalau hasilnya jelek, aku pakai wig ya?”
“Hasilnya bakal bikin mereka semua bengong,” jawab Nisa mantap.
Tak lama, rambut baru Jingga terurai: bob sebahu dengan highlight coklat kemerahan. Lebih segar, lebih modern, lebih dewasa.
Jingga menatap cermin, bibirnya ternganga. “Wih… siapa nih? Jangan-jangan aku kembaran artis FTV?”
Nisa terkekeh puas. “Nah kan? Baru permulaan aja udah cakep gini.”
Mereka lanjut ke butik pakaian. Nisa berkeliling cepat, memilih dress elegan, blazer simpel, rok pensil, dan beberapa blouse satin.
“Nis, plis deh, ini baju-baju kayak buat rapat direksi. Aku kan bukan CEO, aku staf biasa.” Jingga menolak, bersembunyi di balik hanger.
“Tepatnya, staf paling cantik di kantor setelah malam ini.” Nisa mendorongnya masuk fitting room. “Coba semua. Jangan protes.”
Di dalam, Jingga meracau. “Astaga, ini rok sempit banget. Aku kayak lontong dikepit. Nih heels… aku jalan bisa kayak jerapah keseleo!”
Nisa ngakak di luar. “Cepat keluar, biar aku nilai.”
Pintu fitting room terbuka. Jingga keluar dengan dress sederhana warna navy, rambut barunya jatuh manis, wajahnya masih polos tanpa makeup. Bahkan begitu saja, Nisa sudah menahan napas.
“Ya ampun, Jingga… kamu cantik banget.”
Jingga mengangkat alis. “Ah masa sih? Aku merasa kayak pramugari gagal.”
“Pramugari gagal apanya! Kamu… kamu levelnya udah beda.”
Tahap terakhir, makeup dan parfum. Di meja makeup, Jingga pasrah didandani MUA butik. Foundation merata, eyeliner tipis, bibir glossy nude.
Begitu selesai, Jingga menatap cermin dengan raut tak percaya. “Ini… aku?” suaranya pelan.
Nisa berdiri di sampingnya, tersenyum puas. “Ya, ini kamu. Akhirnya dunia bisa lihat yang aku lihat dari dulu.”
Jingga terdiam beberapa detik, lalu menoleh. “Nis… makasih ya. Aku gak tahu harus bilang apa.”
Nisa mengangguk, menepuk tangan sahabatnya. “Ingat, Jing. Ini bukan sekadar makeover. Ini perang. Kita tunjukkan kalau mereka salah menilai kamu. Dan aku janji, aku gak akan ninggalin kamu sendirian.”
Jingga menarik napas panjang, senyum tipis terukir. “Kalau gitu… ayo kita bikin mereka menyesal.”
(Bersambung)
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya