Bagaimana jadinya jika kamu menjadi anak tunggal perempuan di dalam keluarga yang memiliki 6 saudara laki-laki?
Yah, inilah yang dirasakan oleh Satu Putri Princes Permata Berharga. Namanya rumit, ya sama seperti perjuangan Abdul dan Marti yang menginginkan anak perempuan.
Ikuti kisah seru Satu Putri Princes Permata Berharga bersama dengan keenam saudara laki-lakinya yang memiliki karakter berbeda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nurcahyani Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Kos-kosan
Beberapa detik kemudian Praga meringis sambil menyentuh telinganya yang masih berdenyut. Sudah sejak tadi ia menahan rasa sakit ini. Anehnya ternyata Mamanya itu masih mengetahui sumber kelemahannya dari ia kecil sampai sekarang.
Mobil pick up hitam itu berbelok masuk ke area pekarangan rumah dan terus terparkir tepat di samping rumah tempat pembuatan lemari dan yang lainnya membuat kedua mata Praga melirik.
Abdul melangkah turun disusul oleh Pratama yang ikut turun dari mobil. Abdul menatap sejenak ke arah putranya itu. Tatapan sedikit bingung. Yah, Praga sudah menebak pasti Bapaknya itu heran karena melihatnya pulang di siang hari. Toh, biasanya ia pulang malam hari.
Praga membuang pandang. Menoleh ke arah lain tak ingin lama-lama bertatap muka dengan Abdul. Beberapa menit kemudian ia kembali menoleh melihat Bapaknya yang sudah berbalik badan sambil membuka beberapa tali yang telah mengikat tumpukan kayu yang Bapaknya bawa dari pengepul.
"Telinga kamu kenapa?"
Praga terkejut bukan main. Jantungnya terasa ingin copot. Ia tak menyangka jika Pratama sudah ada di sampingnya, entah sejak kapan.
Andai saja pria bertubuh gendut ini bukan saudaranya mungkin ia sudah melayangkan tinjunya yang sudah banyak memakan korban.
"Lo apa-apaan, sih? Bikin kaget aja tau nggak."
"Telinga kamu kenapa? Kok beda warna?"
"Kenapa telinga gue?"
Pratama menyipitkan mata berusaha memperjelas dan memfokuskan penglihatannya ke arah telinga Praga. Praga cemas. Ia langsung menutup telinganya itu, malas diintrogasi. Ia tak mau jika saudara gendutnya itu tahu kalau ia habis di jewer oleh Marti.
"Apaan sih lo? Udah ah, gue masuk! Bau matahari juga lu. Bauu," cerocosnya lalu melangkah masuk meninggalkan Pratama yang kini terdiam.
Ia menatap kepergian Praga yang kini sudah tidak terlihat lagi. Apa benar ia bau matahari? Pratama menunduk mencium bau ketiaknya.
"Bau cuka."
...----------------...
"Ada yang lebih buruk dari tulisan ini."
Incces berhenti membaca surat cinta dari para fans Pralim. Ia melirik Pranam yang melemparkan selembar kertas yang sudah sejak tadi ia baca karena merasa bosan di kamar. Pria cerewet seperti Pranam tak tahan untuk tidak bicara walau hanya semenit saja.
"Apa?" tanya Incces penasaran.
"Tuh, punya saudara kayak dia!" tunjuknya dengan bibir pada sosok Pralim yang dari tadi hanya sibuk membaca buku di meja belajarnya. Tak pernah bicara.
Kini mereka berada di kamar Pralim untuk membongkar harta karun yang ada di dalam kantong kresek hitam yang mereka ambil tadi di sekolah.
"Diem kayak patung. Kek nggak ada semangat hidup. Nih, kayak gini nih."
Incces tertawa saat Pranam memberikan contoh tapi tak membuat Pralim berkomentar. Jemari tangannya bergerak hanya untuk membuka lembaran kertas yang akan ia baca selanjutnya.
"Lebih baik ngomong sama kucing daripada sama tuh orang. Kalau kucing kan bisa meong-meong, nah kalau dia cuman dieeeeeem aja."
Incces kembali tertawa. lucu sekali wajah Pranam saat menirukan suara kucing dengan tangannya yang digerak-gerakkan begitu lucu.
"Untung aja kamu punya saudara kayak Abang Pranam. Nah kalau kamu punya saudara yang modelnya kayak dia semua kan bahaya."
"Nggak kebayang tuh kalau kamu punya enam saudara yang pendiam."
"Bisa-bisa kamu jadi stres," tambahnya lagi namun kini suaranya sengaja dikecilkan membuat Incces tertawa. Konon katanya semakin kecil suara seseorang maka semakin penting pula pembahasannya.
"Selamat soreeeee keswayangan akyuuuu!!!"
Suara jeritan manja terdengar membuat Incces, Pralim dan Pranam menoleh mendapati Pradu yang kini sudah berdiri di pintu kamar milik Pralim.
"Nah saudara yang kayak begini bentukannya jauh lebih bahaya."
Incces tertawa cekikikan. Ia menghempaskan tubuhnya ke kasur karena tak tahan menahan tawa. Ditambah lagi saat melihat wajah Pradu yang dihiasi dengan make up yang tebal.
"Apa swihhh? Hellooo, punya saudara kayak ekyee ini adalah momen yang langka."
"Kalian nggak akan punya saudara yang cwaaaantik kayak akyeee di luaran sana," ocehnya sembari menggerakkan jemari tangannya yang dihiasi dengan kuku palsu berwarna pink.
"Hemmm," sahut Pranam malas. Ia sangat tak tertarik untuk mendengar pujian dari Pradu untuk dirinya sendiri.
Incces bangkit dari kasur. Sesekali tertawa kecil saat melihat ekspresi Pranam yang sengaja di buat bodoh untuk mengejek setiap kalimat yang diucapkan oleh Pradu yang kini masih mengoceh.
Marti yang sejak tadi sibuk menjahit baju suaminya itu terhenti saat mendengar suara keributan dari segala arah. Para penghuni rumah sedang sibuk dengan urusannya masing-masing.
Marti menggerakkan jemari tangannya menggeser permukaan kain gorden sehingga dari sini ia bisa melihat suaminya yang sedang bermain catur bersama dengan Praga. Sesekali mereka bicara tapi Marti tak mengerti apa pembahasan mereka.
Setelah cukup lama akhirnya momen ini kembali ia lihat. Tapi sedikit aneh karena anak nakalnya itu berada di rumahnya di waktu sore hari padahal jika waktu seperti ini biasanya Praga tidak ada di rumah karena sibuk dengan geng motornya yang tidak jelas itu.
Marti sudah ribuan kali menasehati Praga tapi tak sedetik pun Praga mengerti dengan nasehatnya dan akhirnya ia menyerah.
Praga menggerakkan catur hitam membuat Abdul menghela nafas. Tak ada lawan yang lebih menantang jika tidak bermain dengan Praga. Dia ahli dalam bidang ini.
Sejujurnya Praga sangat bosan tapi untuk sementara sepertinya ia harus melindungi diri dari kejaran polisi. Ia tak mau jika ia keluar rumah dan berkeliaran di jalan raya lalu membuat polisi melihat dan akhirnya menangkap dirinya.
Marti mengembalikan posisi kain gorden. Melangkah menuju bagian area kamar anak-anaknya yang berada di lorong panjang persis seperti area kos-kosan.
Pintu kamar Pratama terbuka membuat Marti bisa melihat jika anak gendutnya itu sedang tertidur pulas sambil tangan kanannya yang memegang bungkusan coklat dan tak lupa juga bagian bibir serta area kulit sekitarnya yang dipenuhi dengan coklat yang ia minta tadi dari Incces dan Pranam.
Marti menggelengkan kepalanya. Jika orang lain yang melihatnya maka mereka mengira kalau Pratama seperti orang yang habis keracunan. Yap, lebih tepatnya keracunan coklat yang berasal dari para fans Pralim.
Marti melanjutkan langkahnya namun baru selangkah Marti terdiam. Ia mendekatkan telinganya ke arah pintu kamar milik Prapat dimana dari sini ia bisa mendengar suara isakan tangis kecil.
Marti pikir tangisan itu sudah terhenti tapi rupanya tidak. Marti bisa melihat jika Prapat sedang menangis di atas sajadah dengan kedua tangannya yang menengadah ke atas. Pasti kejadian di kantor polisi membuat Prapat mengadu kepada Tuhannya.
Suara tawa Incces terdengar membuat Marti penasaran dengan apa yang terjadi pada kamar Pralim yang selalunya hanya penuh kesunyian.
Marti berdiri di pintu masuk kamar mendapati Incces, Pranam, Pradu dan Pralim yang langsung menoleh menatapnya dengan wajah yang serius. Dari sini ia bisa melihat tumpukan coklat, bingkisan dan masih banyak lagi di atas kasur. Marti tak heran lagi. Ia sudah biasa melihat barang-barang tersebut bahkan hampir setiap hari.
"Tumben pulang cepat?"
"Yah biasa lah Ma. Yang nikah cuman satu orang," jawab Pradu yang kemudian ikut memilih beberapa jenis coklat yang ia suka.
"Nah Abang Pradu kapan nikah?"
Kedua mata Pradu membulat. Pertanyaan apa yang baru saja dilontarkan oleh adiknya itu.
"Ish, jijik ekyee dengernya. Ekyee cium nanti baru tau."
Pradu mengancam sambil memonyongkan bibirnya membuat Incces tertawa ditambah lagi saat Pranam menggeliat geli lalu ikut tertawa.
"Minta tiga, ya Pralim ganteng," mintanya lalu bangkit.
"Em," sahut Pralim menjawab lalu kembali membuka lembaran bukunya.
"Emmmh, gemessh deh. Makin hari makin ganteng aja." Pradu mencolek dagu Pralim tapi yang mendapat colekan itu hanya diam.
Marti melangkah mundur memberikan jalan pada Pradu yang melangkah keluar dari kamar sambil melenggak-lenggokkan pinggangnya.
Marti tersenyum menatap Incces yang kembali tertawa saat Pranam, si biang kocak bicara. Pranam memang memiliki banyak pembahasan yang tidak ada habisnya.
Kini rumahnya bagai kos-kosan dengan penghuni kamar yang memiliki berbagai macam karakter yang berbeda-beda dari satu ke yang lainnya.
Ada yang hanya suka tidur. Ada yang kamarnya selalu terdengar suara lantunan Alquran. Ada juga kamar yang selalu wangi walau pintunya tertutup rapat. Ada yang selalu sunyi karena si penghuni kamar juga memiliki sifat introvert.
Ada yang kamarnya mirip penghuni neraka. Tembok hitam pekat dengan aroma asap rokok. Ada yang kamarnya penuh dengan canda tawa. semuanya berbeda-beda dan semuanya dibutuhkan tanpa terkecuali. Hilang satu maka semuanya akan terasa kurang.
Marti berharap rumah bagai kos-kosan ini akan terus seperti ini. Ia harap tidak akan ada masalah yang terjadi kedepannya. Dia mau keluarganya baik-baik saja sampai kapanpun.
Seru juga bacanya