Lanjutan dari Beginning And End.
Hasane Reina... selamat dari kematian. Di rumah sakit Osaka, mayat Reina di bawa oleh dua perawat. namun setelah perawat itu mengunci pintu kamar mayat, terungkap identitas yang membawa Reina ke ruang mayat, yaitu Reiz dan Tia.
Reiz dan Tia menukar mayat Reina dengan boneka yang hampir menyerupai diri Reina. Lalu Reina secara diam diam di bawa ke Rusia, untuk menukar jantung nya yang rusak dengan jantung robot yang akan bertahan di akhir tahun.
Namun supaya dapat hidup selama nya, Reina harus mencuri sebuah jantung, sumber kehidupan. Namun yang ada di benak Reina saat ini adalah membalas kan dendam nya kepada ayah kandungnya sendiri, Yaitu Hasane Danton. Reina berencana akan mengambil jantung Danton dan membunuh nya dengan sangat keji.
Apakah Reina berhasil? dan apa yang akan Reina lakukan selanjutnya? apakah dia masih menyembunyikan diri nya bahwa dia masih hidup kepada Kei dan yang lainnya? itu masih sebuah misteri....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 : Rahasia kan.
Udara malam Tokyo masih dingin menusuk, embun menempel di rerumputan taman yang gelap. Aroma petrichor—bau tanah basah yang khas—bercampur dengan aroma rempah-rempah dari warung kaki lima tak jauh dari situ, menciptakan koktail aroma yang unik. Andras, dengan senyum miring yang sulit ditafsirkan, melirik Jimmy yang berdiri tegang di samping Alice. Rambut Jimmy yang mulai menipis berkilauan di bawah cahaya lampu taman yang remang.
"Wah… si botak juga datang ke sini, ya?" celetuk Andras, suaranya terdengar seperti desiran angin malam, santai namun menyimpan sedikit ejekan. Ia menyilangkan tangan di dada, matanya mengamati Jimmy dengan tajam, seolah-olah sedang membaca isi pikirannya.
Jimmy menggaruk kepalanya yang botak dengan gerakan kikuk, senyumnya tampak dipaksakan. "Hehe… ya bagaimana pun juga, aku harus berbalas budi padamu, Andras," jawabnya, suaranya sedikit gugup. Ia melirik ke arah Alice yang berdiri kaku di sampingnya, seolah-olah meminta dukungan diam-diam. Wajahnya yang biasanya tegap kini tampak sedikit pucat, menunjukkan sedikit kecemasan.
Leon, dengan langkah pasti, mendekati Jimmy. Ekspresinya serius, alisnya bertaut, menunjukkan ketegangan yang terpendam. Ia menepuk bahu Jimmy dengan pelan, sebuah isyarat persahabatan yang terselubung dalam kekhawatiran.
"Jimmy," suara Leon berat, "Bagaimana laporan terkait persenjataan teknologi di Rusia?" Matanya, yang biasanya berbinar-binar, kini tampak redup, dipenuhi oleh keprihatinan. Ia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang ia lakukan ketika sedang memikirkan sesuatu yang serius.
Jimmy menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Ia mengeluarkan sebuah tablet kecil dari sakunya, jari-jarinya gemetar sedikit saat ia membukanya. Layar tablet menampilkan grafik dan data yang rumit.
"Semuanya telah diperbarui, Leon," jawab Jimmy, suaranya sedikit serak. Ia menunjuk ke arah grafik tertentu. "Ada sedikit masalah… sebuah kendala tak terduga…" Ia mengusap keringat dingin di dahinya, menunjukkan betapa besar tekanan yang sedang ia hadapi. Bahunya sedikit merosot, menunjukkan kelelahan dan keputusasaan.
Leon mengangguk pelan, memahami beban yang dipikul Jimmy. Ia melirik ke arah Alice yang sedari tadi berdiri diam, mengamati mereka dengan tatapan dingin dan sinis. Bibir Alice terkatup rapat, menunjukkan ketidaksukaannya yang terselubung. Ia memeluk tubuhnya, menunjukkan sikap defensif. Sikapnya yang dingin dan acuh tak acuh menunjukkan ketidakpeduliannya terhadap situasi yang sedang terjadi.
"Ni anak ngapain dah?" gumam Leon, suaranya sedikit meninggi, menunjukkan rasa frustrasinya. Ia menghela napas panjang, seolah-olah sedang menahan amarah. Matanya menyipit, menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Alice.
Alice memalingkan wajahnya, menghindari tatapan Leon. Rambutnya yang panjang tergerai, menutupi sebagian wajahnya. Ia menggigit kukunya, sebuah kebiasaan yang ia lakukan ketika sedang merasa gugup atau cemas.
"Tak ada apa-apa pun," jawab Alice, suaranya dingin dan datar, namun sedikit gemetar. Ia mencoba untuk terlihat tenang, namun gemetaran tangannya dan gigitan kukunya menunjukkan ketegangan yang terpendam. Ia menundukkan kepalanya, menunjukkan rasa malunya. Sikapnya yang defensif dan gugup menunjukkan rasa bersalahnya.
Andras, yang mengamati interaksi mereka dengan senyum misterius, mendekati mereka. Ia menepuk pundak Leon dan Jimmy secara bergantian, seakan-olah memberikan dukungan diam-diam.
"Baiklah, baiklah," kata Andras, suaranya menenangkan. "Kita fokus pada rencana utama. Danton dan Alexander… kita harus menemukan mereka." Ia melirik ke arah Emi dan Earl yang duduk di kursi taman, wajah mereka masih dipenuhi oleh kesedihan dan amarah yang terpendam.
Suasana kembali tegang. Bayangan-bayangan masa lalu, persekutuan yang rumit, dan rencana balas dendam yang masih samar, menciptakan lapisan kompleksitas yang menyelimuti mereka. Malam itu, di bawah langit Tokyo yang gelap, mereka semua terikat oleh sebuah ikatan yang rumit, ikatan antara persahabatan, pengkhianatan, dan dendam yang tak terelakkan. Keheningan yang mencekam menyelimuti mereka, hanya diselingi oleh suara jangkrik dan desiran angin malam yang dingin. Aroma petrichor dan rempah-rempah masih bercampur di udara, menciptakan latar belakang yang dramatis untuk pertemuan yang penuh intrik ini. Malam panjang di Tokyo baru saja dimulai.
“Jimmy… aku mempercayaimu,” kata Leon, suaranya serak, mengungkapkan beban berat yang dipikulnya. Ia mengulurkan tangan, telapak tangannya terbuka lebar, sebuah isyarat kepercayaan yang tulus, namun juga rapuh. Gerakannya sedikit gemetar, menunjukkan kecemasan yang tersembunyi di balik sikap tegarnya.
Jimmy membalas jabat tangan Leon dengan erat, sebuah tos yang lebih dari sekadar formalitas. Mata mereka bertemu, sebuah pertukaran diam yang penuh arti. “Percaya padaku, sahabat lama,” jawab Jimmy, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya, menunjukkan beban tanggung jawab yang sama beratnya. Senyumnya, walaupun tulus, tidak mampu menyembunyikan kelelahan yang terpancar dari sorot matanya yang redup. Ia mengusap sudut matanya dengan punggung tangannya, seolah-olah hendak menghapus jejak kelelahan dan kekhawatiran.
Leon mengangguk pelan, sebuah persetujuan yang berat. Jari-jari tangannya masih mengepal, menunjukkan ketegangan yang belum hilang.
Mobil hitam Jimmy dan Alice menghilang di balik kelamnya malam Tokyo, meninggalkan hanya deru mesin yang memudar dan bau asap knalpot yang menusuk hidung. Leon menyaksikan kepergian mereka, tangannya mengepal erat, jari-jari tangannya memutih karena tekanan. Ekspresinya, biasanya ceria dan penuh semangat, kini dipenuhi oleh bayangan keraguan yang dalam. Ia menarik napas panjang, udara dingin malam terasa menusuk paru-parunya. Bau petrichor—bau tanah basah khas setelah hujan—bercampur dengan aroma asin laut yang terbawa angin, mengingatkannya pada kenangan masa lalu yang pahit.
Leon memutar kepalanya, memandang Emi dan Earl yang berdiri di kejauhan, terbungkus oleh kesunyian malam yang mencekam. Keheningan di antara mereka bertiga terasa begitu pekat, dipenuhi oleh kesedihan yang terpendam dan keraguan yang menggantung.
Emi melangkah mendekati Andras, langkahnya lambat dan ragu-ragu, seperti seorang penari yang kehilangan irama. Ia menggigit bibir bawahnya, sebuah kebiasaan yang ia lakukan ketika sedang merasa cemas atau tertekan. Rambutnya yang terurai menutupi sebagian wajahnya, seakan-akan ia ingin menyembunyikan emosinya yang bergejolak.
“Andras… walaupun aku masih ragu… aku berharap… mereka bisa memberikan kita petunjuk,” ucap Emi, suaranya hampir tak terdengar, dipenuhi oleh keraguan dan sedikit harapan yang masih tersisa. Matanya berkaca-kaca, menunjukkan kesedihan yang mendalam dan ketakutan yang masih menghantuinya.
Andras berbalik, menatap Emi dengan tatapan yang penuh pengertian dan sedikit kelembutan. Ia menghela napas panjang, seolah-olah sedang menanggung beban berat yang tak terlihat. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini tampak sedikit lesu, menunjukkan kelelahan yang tersembunyi di balik sikap tegarnya.
“Emi… kau tahu… Alice… dia lebih dari sekadar agen rahasia biasa. Kemampuannya dalam mendeteksi, meretas, dan melacak jauh melampaui Lynn dan Yuuka,” kata Andras, suaranya tenang namun tegas, menunjukkan keyakinannya pada kemampuan Alice. Ia menatap Emi dengan tatapan yang serius, seolah-olah ingin meyakinkan Emi dan menenangkan ketakutannya.
Emi mengangguk pelan, menunjukkan bahwa ia mengerti. Namun, ia masih menggigit bibir bawahnya, menunjukkan kecemasannya yang belum hilang. Ia kemudian mendekati Yumi dan Earl, langkahnya masih ragu-ragu, seakan-akan ia sedang berjalan di atas bara api.
Earl, dengan suara lembut dan penuh perhatian, mendekati Yumi. “Yumi… bagaimana keadaanmu sekarang?” Suaranya penuh kepedulian, menunjukkan rasa simpati dan kekhawatirannya. Ia menyentuh lengan Yumi dengan lembut, sebuah sentuhan yang penuh pengertian.
Yumi menggeleng pelan, wajahnya masih pucat, menunjukkan kelemahan fisik dan mentalnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan kekuatannya. Matanya yang biasanya berbinar kini tampak redup, menunjukkan kelelahan yang mendalam.
“Aku… hanya menunggu waktu… untuk mengurangi beban pikiranku…” ucap Yumi, suaranya lirih, hampir tak terdengar. Ia tersenyum tipis, sebuah senyum yang dipaksakan, mencoba menutupi kelemahannya. “Setelah itu… kita akan melanjutkan YMEE band…”
Yumi menatap Emi, matanya berbinar, namun di baliknya tersimpan kekhawatiran yang mendalam. “Emi… kau yakin… kau akan tetap bersama kami?” tanya Yumi, suaranya sedikit bergetar.
Emi terkejut, wajahnya memerah. Ia gugup, menunjukkan rasa bersalah dan keraguannya. “B… bukan begitu, Yumi… aku hanya… cemas… maafkan aku…” Suaranya bergetar, menunjukkan penyesalan dan ketakutannya.
Yumi memeluk Emi dengan erat, sebuah pelukan yang penuh kasih sayang dan pengertian. Air mata Emi mengalir deras, menunjukkan kesedihan dan penyesalannya. “Walaupun Reina… sudah tiada… dia masih bisa mendengar musik kita… paham?” bisik Yumi, suaranya lembut dan menenangkan.
Emi menangis tersedu-sedu, mengingat Reina, sahabatnya yang selalu hadir di setiap konser YMEE band. Kenangan indah bersama Reina membanjiri pikirannya, menciptakan gelombang emosi yang kompleks. Di bawah langit malam Tokyo yang gelap, mereka bertiga terikat oleh kesedihan, harapan, dan tekad untuk melanjutkan hidup. Malam itu, di tengah kesedihan dan keraguan, mereka menemukan kekuatan untuk tetap bersama, untuk menghadapi masa depan yang masih belum pasti, dengan aroma petrichor dan asin laut yang masih bercampur di udara.
Andras mendekat, bayangannya menjulang di atas mereka bertiga. Suasana yang tadinya dipenuhi kesedihan, kini berubah menjadi tegang. Ia menghela napas panjang, suaranya berat ketika mulai berbicara. "Yang lebih penting… kita harus merahasiakan identitas Jimmy dan Alice," katanya, suaranya tegas, menunjukkan urgensi situasi. Ia menunjuk ke arah langit malam yang gelap, seolah-olah ada ancaman yang mengintai di balik kegelapan.
"Walaupun kita semua akan didatangi oleh rekan Jimmy dan Alice… kalau kalian ingin tahu kenapa kita harus merahasiakan identitas mereka… karena setiap kita akan didatangi oleh agen yang berbeda," Andras melanjutkan, suaranya sedikit lebih rendah, menciptakan suasana misterius. Ia menatap mereka satu per satu, mencoba memastikan bahwa mereka mengerti. Gerakan tangannya yang tegas menekankan pentingnya kerahasiaan ini.
Yumi, Emi, dan Earl mengangguk pelan, menunjukkan pemahaman mereka. Ketiga wajah mereka dipenuhi oleh campuran kekhawatiran dan tekad. Keheningan singkat menyelimuti mereka, hanya diiringi oleh suara-suara malam yang samar.
Earl, dengan suara yang sedikit gemetar, mengajukan pertanyaan yang telah lama terpendam. “Andras… bagaimana kabarmu dan Hanna?” Suaranya lembut, menunjukkan rasa khawatir dan kepedulian. Ia menatap Andras dengan tatapan yang penuh perhatian, menunggu jawaban dengan sabar.
Andras menunduk, menunjukkan kesedihan yang mendalam. Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangannya, seolah-olah ingin menghapus kenangan pahit yang masih menghantuinya. "Hanna… dia masih belum mau berbicara denganku…" suaranya bergetar, mengungkapkan luka yang masih belum sembuh. Bahunya sedikit merosot, menunjukkan beban berat yang ia pikul.
Emi, dengan suara lembut dan penuh empati, mencoba menghibur Andras. "Andras… walaupun sekarang masih terluka dengan kematian Reina… kita harus memaklumi dia. Dia yang paling tahu tentang Reina…" Suaranya penuh pengertian, menunjukkan rasa simpati dan dukungannya. Ia menatap Andras dengan tatapan yang hangat, mencoba memberikan kekuatan dan semangat.
Yumi, dengan suara lemah namun tegas, menyatakan tekadnya. "Dan kita… harus membalaskan dendam kita… dengan bantuan agen rahasia Agen H, Jimmy, Alice, dan beberapa rekan mereka… kita bisa menolong satu sama lain." Suaranya, walaupun lemah, menunjukkan tekad yang kuat dan tak tergoyahkan. Ia menatap ke arah langit malam, seolah-olah sedang mencari kekuatan dari alam semesta.
Leon, dengan langkah pasti namun berat, berjalan menuju sebuah tong sampah yang terletak di sudut taman. Ia mengambil sebuah bungkusan kertas yang kusut, menunjukkan ekspresi yang serius dan penuh tekad.
“Dan kertas ini… berisi informasi tentang Danton dan Alexander,” kata Leon, suaranya berat dan penuh arti. Ia membuka bungkusan kertas itu, menunjukkan beberapa lembar kertas yang penuh dengan tulisan dan gambar. “Mereka akan hancur… saat kita semua bersatu… dengan bawahan Craig…” Ia merobek kertas itu menjadi beberapa bagian, kemudian membuangnya ke dalam tong sampah. Gerakannya tegas, menunjukkan tekadnya untuk membalaskan dendam. Ia menatap teman-temannya, menunjukkan bahwa mereka harus bersatu untuk menghadapi musuh bersama.
Keheningan kembali menyelimuti mereka, tetapi kali ini, keheningan itu terasa berbeda. Keheningan yang dipenuhi oleh tekad, harapan, dan kesedihan yang mendalam. Aroma petrichor dan asin laut masih bercampur di udara, menciptakan latar belakang yang dramatis untuk rencana balas dendam yang akan segera dimulai. Malam itu, di bawah langit Tokyo yang gelap, mereka berlima terikat oleh sebuah ikatan yang kuat, ikatan persahabatan, kesedihan, dan tekad untuk membalaskan dendam. Malam itu, babak baru telah dimulai.