"Salahkah aku mencintainya?" -Regina-
"Ini hanya tidur bersama semalam, itu adalah hal biasa" -Arian-
-
Semuanya berawal dari kesalahan semalam, meski pria yang tidur bersamanya adalah pria yang menggetarkan hati. Namun, Regina tidak pernah menyangka jika malam itu adalah awal dari petaka dalam hidupnya.
Rasa rindu, cinta, yang dia rasakan pada pria yang tidak jelas hubungannya dengannya. Seharusnya dia tidak menaruh hati padanya.
Ketika sebuah kabar pertunangan di umumkan, maka Regina harus menerima dan perlahan pergi dari pria yang hanya menganggapnya teman tidur.
Salahkah aku mencintainya? Ketika Regina harus berada diantara pasangan yang sudah terikat perjodohan sejak kecil. Apakan kali ini takdir akan berpihak padanya atau mungkin dia yang harus menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita.P, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Cinta Dan Takdir
Menjalani kehidupan yang baru, Regina masih mencoba untuk melupakan satu hal. Melupakan apa yang pernah terjadi dalam cerita hidupnya. Waktu berlalu, sudah satu bulan sejak Regina meninggalkan Arian. Waktu yang cukup panjang untuk dia lewati.
Mengalami pengalaman kesehatan yang buruk beberapa hari ini, apalagi dengan cuaca yang berubah-ubah, membuat daya tahan tubuhnya sedikit menurun. Beberapa hari lalu dia sempat pingsan di tempat kerja. Lalu dua hari terakhir, selalu muntah di pagi hari. Regina mulai tidak nyaman dengan keadaan tubuhnya, membuat dia memutuskan untuk pergi ke Dokter sekarang.
Setelah pulang kerja, dia pergi ke sebuah Klinik untuk memeriksakan dirinya karena merasa tidak nyaman akhir-akhir ini. Setelah melakukan pemeriksaan dan membawa hasilnya ke Apartemen, langkah kaki Regina seperti melayang, pikirannya semakin kacau.
Regina duduk di sofa dengan sebuah kertas hasil pemeriksaan ditangannya. Memegangnya dengan tangan gemetar, masih tidak percaya dengan hasilnya. Ini seperti sebuah mimpi baginya.
Regina masih menatap hasil pemeriksaan ditangannya, setetes air mata meluncur mengenai kertas di tangannya.
"Ini tidak mungkin terjadi" Regina menggeleng dengan cepat, air mata mengalir begitu saja di pipinya. Kabar ini seperti sebuah mimpi buruk baginya. "Aku tidak mungkin hamil, seharusnya aku tidak hamil. Tidak, ini tidak mungkin!"
Regina mengacak rambutnya sendiri, air mata terus mengalir tanpa henti. Bahkan untuk menjalani kehidupan seorang diri dalam keadaan hamil, tidak pernah terpikirkan oleh Regina.
Untuk beberapa saat Regina hanya duduk diam seperti orang yang kehilangan arah. Tatapan kosong, rambut yang berantakan, wajah yang pucat dan mata sembab karena terus menangis. Jangan lupakan hidung yang memerah.
Regina membuka ponsel, menggulir layar ponsel, lalu meng-klik salah satu gambar obat, memesannya dengan segera. Setelahnya dia menjatuhkan ponsel di atas sofa, dia menyandarkan kepalanya di sandaran sofa dengan mengusap wajah kasar.
Menatap langit-langit kamar dengan mata sembab, tatapannya penuh kerapuan. Mengingat kejadian terakhir sebelum dia memutuskan untuk pergi meninggalkan Arian. Malam yang terjadi diantara mereka berdua.
"Bodoh!" lirihnya dengan menjambak rambutnya sendiri dengan frustasi. "Seharusnya aku meminta dia memakai pengaman. Tidak ... seharusnya aku tidak melakukannya lagi"
Menyesal untuk saat ini adalah hal yang percuma. Regina sudah terlanjur memutuskan untuk pergi meninggalkan Arian. Apalagi cara mereka berpisah tidak dengan cara yang baik. Regina sendiri yang ingin menunjukan dirinya yang salah di depan Arian atas perpisahan yang terjadi. Tapi, sekarang dia benar-benar menyesalinya.
Mengambil kembali ponselnya, bodohnya Regina ketika memutuskan untuk menghilang dari hidup Arian, tapi dia masih menyimpan nomor ponsel Arian, meski tidak pernah menghubunginya dengan nomornya yang baru ini.
Cukup lama hanya menatap nomor ponsel itu, sampai akhirnya jarinya menekan icon telepon. Ketika dering pertama dan kedua terdengar, Regina mengerjap kaget atas apa yang dia lakukan. Akhirnya dia mematikan kembali sambungan.
"Tidak Regina, kamu tidak boleh mengemis tanggung jawab pada keluarganya. Sudah tahu jika dia terikat perjodohan dengan perempuan lain, sebaiknya aku tidak muncul lagi di kehidupannya"
*
Arian menatap ponselnya, sebuah panggilan dari nomor tidak di kenal, namun sebelum dia sempat menerimanya, sambungan telepon malah sudah terputus. Membuat Arian merasa bingung.
"Mungkin hanya orang iseng saja"
Arian berbalik saat mendengar seseorang yang memanggilnya. Menatap seorang perempuan yang keluar dari ruang ganti di Butik ini.
"Bagaimana? Bagus gak, Kak?" tanya Evelina sedikit berputar untuk menunjukan keindahan gaun yang dipakainya.
Sebenarnya Evelina memang cantik, apalagi dengan gaun itu membuat auranya terlihat lebih cantik. Namun, di mata Arian itu terlihat biasa saja. Seolah memang tidak ada yang istimewa dalam dirinya.
"Sudah pas? Tidak ada yang perlu dirubah lagi 'kan?"
Evelina menggeleng pelan, masih dengan senyum yang indah. "Tidak Kak, aku suka dengan gaun ini. Sudah pas di tubuhku"
"Baiklah, kalau begitu ayo kita pulang"
Evelina mengangguk, setelah berganti pakaian kembali, Evelina hanya mengikuti Arian untuk pulang.
"Kak aku tidak sabar untuk acara pernikahan kita. Semuanya sudah sesuai dengan impian aku. Dari mulai dekorasi dan gaunnya juga"
Disini hanya Evelina yang terlihat antusias dengan persiapan pernikahan mereka. Tapi, tidak dengan Arian. Pria itu hanya diam dan menanggapi seadanya saja. Tidak terlalu antusias dengan pernikahannya yang tinggal menghitung hari.
"Aku masih tidak menyangka jika benar akan menikah dengan Kak Arian"
Arian hanya mengangguk saja, dia fokus pada kemudinya. Sama sekali tidak menanggapi segala celotehan Evelina. Bukan dia jahat atau benci pada Evelina, tapi dia hanya sebatas menganggapnya seorang adik saja.
"Cepat turun dan istirahat" ucap Arian, dia mengelus pelan rambut Evelina layaknya seorang Kakak yang menyayangi adiknya.
Evelina tentunya langsung tersenyum dengan ceria ketika Arian melakukan itu. Dia mengangguk dan segera turun dari mobil saat sudah sampai di depan Gedung Apartemen tempat dia tinggal.
"Terima kasih ya Kak"
"Ya"
Arian kembali melajukan mobilnya, meski pikirannya masih begitu kacau. Tapi dia lebih bisa mengendalikan diri sekarang. Sudah satu bulan dia mencoba untuk melupakan perempuan yang pertama kalinya membuatnya jatuh cinta. Namun, waktu satu bulan terlalu singkat untuk dapat melupakan semua hal yang pernah terjadi diantara mereka.
"Aku mencintainya, tapi skenario kehidupan bukan untuk mempersatukan aku dan dia"
Ingin sekali mencoba untuk ikhlas, tapi nyatanya tidak semudah itu bagi Arian. Hatinya yang pertama kali merasakan cinta, harus kecewa dengan kepergian Regina. Dia yang jelas mengatakan lebih memilih pria lain daripada dirinya.
"Aku tidak menyalahkan pilihannya, karena bersamaku, dia belum menemukan kepastian. Meski aku juga tidak pernah ingin berada dalam situasi seperti ini. Aku juga ingin bahagia dengan orang yang aku cintai. Sayangnya, hal itu tidak akan pernah terjadi"
Arian memegang kemudi dengan erat, menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Memikirkan tentang jalan cerita hidupnya, membuat dia marah. Meski Arian tidak tahu harus marah pada siapa. Apa dia harus marah pada keadaan, takdir, atau Tuhan yang sudah mengatur semua ini?
"Baiklah, setelah pernikahan aku dan Eve terjadi. Maka kamu benar-benar lepas dariku, Regina. Aku akan mencoba ikhlas, meski itu sulit"
Karena sampai saat ini, Arian masih begitu berharap jika ada sebuah keajaiban yang mempersatukan kembali dirinya dan Regina. Terkadang Arian berharap jika semua yang terjadi dalam hidupnya adalah sebuah mimpi yang ketika dia bangun, maka semuanya akan kembali baik-baik saja.
Sayangnya, ini adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dia hindari lagi. Antara cinta, perjodohan, dan berakhir perpisahan. Takdir yang tidak berpihak pada cintanya.
Bersambung
Habis bab ini, akan ada bab yang cukup menguras emosi jiwa raga dan air mata.. Author aja sampe... aaa.. gila banget sih.. bab paling bikin mood ancur.
semoga reghina slalu baik baik dan kandungan nya sehat,,,Samuel beri perlindungan pada reghina..takut ada yg mencelakai nya
Mungkin ada keajaiban esok hari