NovelToon NovelToon
Regret By Mendayu Aksara

Regret By Mendayu Aksara

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Janda / Cerai / Percintaan Konglomerat / Obsesi
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Mendayu Aksara

‎"Mas tunggu, dia siapa? Jelaskan pada ku Mas" seketika langkah kaki Devan terhenti untuk mengejar Wanitanya.

‎Devan menoleh pada Sang Istri yang sedang hamil

"Dia pacarku kinara, dialah orang yang selama ini aku cintai. Sekarang kamu sudah tau, kuharap kau mengerti. Aku harus mengejar cintaku, ak tidak ingin Nesa pergi meninggalkan ku."

‎"Mas kamu ga boleh kejar dia, aku ini istri mu, aku mengandung anakmu. Apakah kami masih kurang berharganya di banding wanitamu itu?" tanya Ibu hamil itu tersendat

"‎Maafkan aku Kinara, aku sangat mencintai Nesa di bandingkan apapun."

"Tapi mas..."

Devan segera melepas paksa tangan Kinara, tak sengaja sang istri yang sedang hamil pun terjatuh.

"Ahhh perutku sakit..." Ringis Kinara kesakitan

"Maaf kinara, aku tak mau kehilangan Nesa" Ucap devan kemudian pergi

‎Kinara menatap kepergian suaminya, dan lama kelamaan gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mendayu Aksara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kedatangan Devan

"Diminum dulu"

Ucap Briyan sembari menawarkan secangkir kopi.

"Terimakasih Yan" Balas Devan.

Briyan menatap sekilas Devan yang mulai menyeruput kopi dengan santai.

Tak lama, nampak Devan kembali berucap.

"Entahlah, mengapa kopi ini terasa begitu enak"

Ucap Devan sembari menaruh cangkir kopi yang telah kosong tersebut ke atas meja.

"Ya mungkin saja karena udara di sini begitu dingin, sehingga menikmati minuman panas jadi lebih enak" Jawab Briyan menerka.

"Hemm, mungkin juga" 

Balas Devan dengan anggukan kepala pelan.

"Kapan kamu sampai ke Vila ini Dev?"

Tanya Briyan ingin tau, ia merasa tak enak hati karena telah membuat Devan menunggu.

Andai ia tau Devan akan segera tiba di tempat ini, mungkin ia akan berdiam diri saja di Vila guna menyambut kedatangan Devan.

"Ohh itu, baru dua jam lalu Yan. Santai saja, kapan aku tiba itu bukanlah hal yang penting. Yang terpenting sekarang, informasi mengenai istriku, apa kau sudah menemukannya?" Tanya Devan dengan begitu antusias.

Melihat Devan yang begitu antusias, Briyan merasa tambah tak enak hati. Karena sudah satu bulan lebih ia berada di desa ini, namun belum pula ia temui titik terang soal keberadaan istri sahabatnya itu.

"Dev maafkan aku sebelumnya. Dalam surat yang aku kirim, sudah memberi tahumu bukan, bahwa aku juga sedang mencari istri mu dan belum menemukannya. Untuk itu aku minta maaf"

Balas Briyan dengan nada tak enak, sembari menggaruk pelan kepalanya yang tak gatal.

Mendengar hal itu, ekspresi Devan yang begitu semangat tadinya, seketika berubah menjadi ekspresi putus asa.

"Ya aku tau Yan, aku bahkan sudah membaca suratmu itu berkali-kali. Aku juga tau kau belum menemukan istriku dan juga masih mencarinya. Tapi aku tetap meyakinkan diriku bahwa nantinya setelah aku tiba, istriku sudah ditemukan. Atau mungkin, akan segera kita temukan"

Tutur Devan sembari menghela nafas panjang setelah ia berucap.

"Dev maafkan aku, mungkin ini akan terdengar menyebalkan untukmu. Tapi aku harus jujur."

Ucap Briyan lagi, kemudian menatap Devan takut.

Mendengar ucapan Briyan, Devan hanya menyerengit bingung.

"Begini Dev, sebenarnya aku tak memiliki informasi akurat untuk menemukan istrimu itu. Aku bahkan lupa wajahnya yang pernah kau tunjukkan di photo waktu lalu. Sehingga dalam mencarinya di desa ini, aku cukup kesulitan." Papar Briyan jujur.

Mendengar hal tersebut, Devan merasa sedikit kesal. Ia tarik nafas panjang guna menetralisir amarahnya saat ini. Ia tau, tak sepantasnya ia marah. Karena bagaimana pun, Briyan sudah berusaha dan berkorban untuk membantunya mencari Kinara.

"Yan, kenapa kamu tak bilang sebelumnya" Tanya Devan masih mampu menahan kesal.

"Maaf Dev, pada saat itu aku hanya tak mau kehilangan jejak Geby. Dan ku pikir, tak ada salahnya membuntuti Geby walau aku tak tau benar wajah dan nama istrimu. Toh nantinya setelah sampai ke desa tujuan, aku masih tetap bisa berhubungan denganmu melalui telepon genggam dan bertanya seputar istrimu sebagai bekal guna mencarinya. Tapi ternyata semua tak sesuai apa yang aku harapkan, aku juga tidak tau kalau disini tak ada sinyal. Setelah sampai disini, barulah aku sadari hal tersebut. Saat telepon kita terputus pada saat itu, disana jugalah handphoneku sudah tak dapat menjangkau  sinyal."

Jelas Briyan begitu panjang, agar tak ada kesalahpahaman antara ia dan Devan.

"Lalu, bagaimana cara mu mencarinya selama ini?" Tanya Devan setelah mendengar penjelasan Briyan barusan.

"Dengan menanyakan namanya"

Jawab Briyan kali ini dengan singkat.

"Benarkah kau mengingat betul nama istriku?"

Tanya Devan selidik sembari memicingkan mata seakan ragu.

"Ayolah Devan, aku tidak sebodoh itu. Aku selalu menempati peringkat teratas pada saat sekolah dulu, lalu juara olimpiade. Hanya sekedar mengingat nama, aku tak mungkin lupa" Jawab Briyan yakin.

"Benarkah?" Tanya Devan masih tak yakin

"Tentu saja" Jawab Briyan dengan begitu percaya diri.

"Sebutkan nama istriku kalau begitu" Pinta Devan

"Baik"

Jawab Briyan kembali dengan begitu percaya diri.

"Kirana.!"

"Kinara.!"

Sebut Briyan dan Devan bersamaan

Seketika, kedua pasang mata itu saling terpaut satu sama lain

"Oh tidak, ternyata selama ini aku salah" Batin Briyan sembari memejamkan mata singkat.

"Briyan.!"

Gerutu Devan kesal, tangannya spontan memukul kepala Briyan kuat.

"Maafkan aku Devan. Maafkanlah kebodohan sahabat mu ini."

Serga Briyan cepat sembari mengelus kepalanya yang terasa sakit akibat pukulan Devan barusan.

"Ku pukul kepalamu, biar nantinya kau tidak jadi orang yang pelupa lagi"

Ucap Devan ketus, dengan menatap Briyan singkat kemudian membuang muka ke arah luar jendela.

Nampak Briyan sedang berfikir, tangannya masih setia mengelus pelan kepalanya yang terasa sedikit nyeri.

"Jadi Kirana Ayu bukanlah wanita yang ku cari selama ini? Ahh pantas saja dia mati-matian tak ingin mengakui kalau dia adalah istri Devan. Briyan, sumpah. Kau sangat bodoh kali ini. Mau di letakkan di mana mukamu saat bertemu Ayu nantinya. Kau bahkan sempat memaksanya mengakui hal yang nyatanya tidak ia ketahui."

Batin Briyan panjang dalam hati, matanya terpejam sempurna seoalah tak sanggup lagi melihat hasil buruk dari tingkahnya kali ini.

"Nampaknya, aku sendiri lah yang akan turun tangan untuk mencari Kinara kali ini"

Ucap Devan menyadarkan lamunan Briyan.

Mendengar hal tersebut, mata yang tadinya senantiasa tertutup, kini terbuka sempurna sembari melirik cepat ke orang yang ada di depannya saat ini.

"Biarkan aku tetap membantu mu Dev." Pinta Briyan cepat.

"Bagaimana bisa Yan, kamu saja tidak tau muka, bahkan nama istriku."

Sanggah Devan kesal.

"Dev, kau bisa menunjukkan photo Kirana sekarang padaku. Dengan begitu aku bisa mengenalinya. Sudah banyak orang yang aku temui selama satu bulan lebih disini, mungkin saja ada salah satu dari mereka yang nyatanya adalah istrimu"

Pinta Briyan dengan alasan yang masuk akal.

"Hemm benar juga"

Bantin Devan menimbang.

"Baiklah, akan ku tunjukkan padamu photo Kinara. Siapa tau kau pernah bertemu atau mungkin pernah berpapasan dengannya selama kau berkeliling di desa ini. Dan ku ingatkan sekali lagi, nama istriku itu KI-NA-RA bukan KI-RA-NA, baru saja kau salah mengucap nama lagi."

Ucap Devan masih kesal sembari merogoh saku celana yang saat ini ia gunakan.

"Kemana?! Ha? Tidak ada.!" Ucap Devan terkejut

"Dev, ada apa?" Tanya Briyan bingung akan gelagat Devan saat ini.

"Handphoneku hilang"

Tutur Devan masih dengan ekspresi tak percaya bahwa saat ini telepon pintar miliknya tersebut hilang entah kemana.

"Sudah kau cari dengan benar?"

Tanya Briyan lagi guna meminta Devan kembali mencari dengan teliti.

"Sungguh, Handphoneku tidak ada"

Ulang Devan lagi.

Seper-sekian menit kemudian, nampak Devan sedang berfikir. Menarik sepenggal memorinya ke beberapa jam lalu. Saat dimana ia berada di kantor agen perjalanan tempat ia menyewa mobil dan sopir yang mengantarnya ke tempat ini.

Flashback On

"Tuan, mari berangkat.  Mobil dan Sopir sudah kami siapkan."

Tawar salah satu pekerja Agen perjalanan tersebut.

Devan yang tadinya sedang duduk menunggu, mendengar itu secepat mungkin ia berdiri dan melangkah menuju mobil yang akan membawanya pergi pagi ini.

Dengan cepat ia mengikuti langkah pekerja yang saat ini menuntunnya menuju luar kantor.

Namun seketika langkah Devan terhenti akibat deringan ponsel yang begitu mengganggu.

Dengan cepat ia rogoh saku celana yang saat ini ia kenakan, guna meraih benda tipis berlogo apel dengan tiga kamera di belakangnya.

"Devan, ini Aunty Ria"

Ucap seseorang dari seberang sana, ketika orang itu dapati jaringan telepon antar negara tersebut telah terhubung.

"Oh iya Aunty, ada apa?"

Tanya Devan sedikit terkejut. Tak biasanya tante Ria menelponnya langsung seperti saat ini.

"Devan, apakah Aunty bisa bicara dengan Briyan? Sudah lebih satu bulan belakangan, Aunty tak dapat menelpon anak satu itu."

Pinta wanita paruh baya tersebut pada Devan dengan nada yang terdengar sedang tak baik-baik saja.

Bingung harus menjawab apa, Akhirnya Devan mencari penuturan alternatif.

"Ohh iya Aunty, Briyan sedang ada urusan pekerjaan ke luar kota. Tempatnya memang sedikit terpelosok sehingga susah sinyal. Sekarang Devan sedang dalam perjalanan menyusulnya."

Elak Devan.

"Oh begitu ternyata. Devan, Aunty minta kamu sampaikan pada Briyan. Bahwa saat ini Daddynya sedang sakit, sudah satu minggu Unclemu dirawat. Jika kamu bertemu dengannya, segeralah minta dia pulang ke Los Angeles"

Jelas ibu Briyan langsung ke inti.

Mendengar itu, Devan turut berduka. Devan merasa bersalah terhadap Briyan dan keluarganya.

Demi membantunya, Briyan harus berada di daerah yang sangat jauh saat ini. Bahkan keluarganya pun sulit menghubungi.

"Baik Aunty, jika Devan bertemu Briyan. Secepat mungkin Devan akan sampaikan kabar ini"  Ucap Devan prihatin.

"Terimakasih Devan"

Ucap wanita paruh baya tersebut, menutup percakapan singkat di pagi buta itu.

Nampak Devan berpikir sejenak, kemudian melamun singkat. Hingga akhirnya, lamunan itu terpecah oleh panggilan seseorang dari luar.

"Tuan, ayo. Perjalanan akan segera berlangsung."

Ucap Pekerja yang sedari tadi sudah sampai terlebih dahulu berada di luar kantor.

"Ohh, baik"

Jawab Devan dengan langkah cepat, dengan sigat ia masukkan kembali handphone itu ke dalam saku celana.

Tanpa ia pastikan ulang, apakah handphone tersebut masuk dengan sempurna di sakunya. Ia kemudian melangkah dengan terburu-buru, yang ia perdulikan saat ini hanyalah bagaimana cara agar ia dapat dengan cepat sampai ke Desa tujuannya itu.

Flashback Off

"Ya Tuhan, sepertinya Handphoneku terjatuh saat menerima telpon di Kantor travel Agent pagi tadi"

Ucap Devan setelah ia mengingat kejadian yang melibatkan handphonenya beberapa jam lalu.

"Bagaimana bisa?" Tanya Briyan ingin tau.

Sadar akan sebuah pesan yang telah dititipkan Ibu Briyan terhadapnya, Devan pun berniat menyampaikan pesan tersebut kepada Briyan.

"Yan, aku ada kabar untukmu"

Ucap Devan dengan nada yang begitu tak bersemangat.

"Kabar? Kabar apa? Kalau kabar buruk, aku tak ingin dengar. Namun nampaknya benar, dari nada suaramu. Pasti itu adalah kabar buruk bukan?"

Tebak Briyan sembari menatap Devan intens.

" Hemm"

Gumam Devan, mengangguk.

"Okeh, aku tak mau dengar. Sekarang lebih baik kamu kembali ke kamarmu. Aku sudah pesankan kamar untukmu di sebelah kamarku. Kau istirahatlah Dev, agar besok kita dapat mencari istrimu bersama guna menebus kebodohanku. Dan satu lagi, besok aku akan berbicara pada Pak Sopir yang membawamu kesini, agar dapat mengabari orang kantor travel agent mereka untuk menemukan handphonemu"

Ucap Briyan sembari menarik lengan Devan, kemudian mendorong tubuh sahabatnya itu keluar menuju pintu.

"Briyan, saat ini handphoneku tidak penting. tetapi kabar yang inginku sampaikan sangatlah penting."

Ucap Devan lagi, kali ini ia memantapkan diri. Menahan tenaga Briyan yang terus mendorongnya menuju luar kamar, hingga langkah mereka terhenti.

"Dev, sungguh. Aku sedang tak ingin mendengar kabar buruk. Kau tau, untuk pertama kalinya di dalam hidupku, aku merasa setenang ini. Di desa ini, aku mendapatkan ketenangan yang tak aku dapatkan sebelumnya. Disini aku bebas dari segala beban pikiran, dan aku harap selama sisa waktu ku di desa ini, aku tetap dapat menikmati ketenangan yang seperti ini."

Jelas Briyan jujur sesuai isi hatinya.

"Oh iya hampir lupa, malam nanti datang kemari lagi. Kita akan makan malam"

Tambah Briyan namun dengan warna obrolan yang berbeda.

Devan hanya menatap sahabatnya itu dengan lekat, seolah menerawang ke beberapa bagian waktu yang telah berlalu.

"Benar, selama ini Briyan adalah orang yang sangat sibuk. Ia tak pernah berhenti bekerja walau hanya sekedar untuk makan siang. Bahkan saat menelponku di jam luar kantor, yang ia bahas masih tetap seputar pekerjaan"

Bantin Devan, masih dengan menatap Briyan lekat.

Seperti yang Devan ketahui, Briyan memang pekerja keras. Ia selalu mengutamakan pekerjaan di atas kepentingan pribadinya.

Hanya sedikit waktu luang yang Briyan miliki untuk sekedar bersantai dan bercerita. Sebenarnya untuk bercerita pun, ia sungkan. Briyan hanya ingin mendengarkan jika topik pembicaraan mereka adalah seputar dunia kerja dan keluarga.

Tak heran, Briyan sesibuk itu karena ia adalah pemegang saham terbesar di perusahan milik Devan.

Sehingga, tiap rapat dan adanya kesepakatan kerja, ia turut menghadiri, sama halnya seperti Devan.

Namun yang menjadi pekerjaan ekstra, Briyan masih harus mengawasi restoran dan dua cabang lain miliknya.

Semua Briyan yang kerjakan, karena hanya Briyanlah yang dipercaya Ayahnya menangani bisnis keluarga mereka di indonesia.

Sedangakan keluarga besar Briyan, mengurus usaha mereka di Los Angles. Mereka pun tetap tinggal disana, hanya Briyan yang kembali ke Indonesia.

"Baiklah Yan, aku akan ke kamarku. Silahkan kau nikmati beberapa saat singkat, ketenangan yang kau dapati di desa ini"

Ucap Devan akhirnya, kemudian tubuh tegap itu berbalik dan melangkah pergi.

###

Guliran detik, nampak melangkah pasti. Enggan untuk sejenak menepi, apalagi berhenti. Langkah jarum jam, berjalan seirama dengan berlalunya waktu.

Kini, hari turut berganti. Menghadirkan suasana pagi, di desa yang begitu asri.

"Bu, sekarang Ibu bisa pulang. Nara sudah membaik"

Ucap Kinara lembut pada seseorang yang saat ini sedang membawakan susu hangat.

"Ini Neng, diminum dulu"

Tawar Bu Mina sembari memberikan segelas susu pada Kinara.

Dengan lemah lembut namun pasti, wanita cantik itu menyambut susu tersebut. Dengan cepat, ia seruput minuman itu.

"Habiss"

Ucapnya sembari tersenyum hangat, gelas susu tadi, ia sodorkan kembali pada Bu Mina. Namun kali ini, kembali dalam keadaan kosong.

Melihat itu, Bu Mina membalas dengan senyuman yang tak kalah hangat sembari meletakkan kembali gelas kosong tersebut ke atas nampan.

"Bu, sekarang Nara sudah lebih baik. Ibu sudah tak perlu khawatir. Ibu tak perlu repot menginap dan mengurusi Nara lagi. Sungguh Bu, Nara sudah jauh lebih baik." 

cap Kinara jujur.

Kini tangannya perlahan menggenggam hangat jari jemari keriput Bu Mina. Menuntun tangan itu menuju kepala yang sudah bersuhu normal.

Bu Mina yang tadinya sedang meletakkan gelas, sedikit terkejut dengan tindakan Kinara saat ini. Namun setelah ia pahami maksud atas tindakan itu, Bu Mina pun kembali tersenyum.

"Benar kan Bu, Nara sudah membaik?"

Tanya Kinara guna memastikan bahwa ucapannya barusan adalah benar.

Kembali, Bu Mina tersenyum.

"Iya Neng"

Jawab Bu Mina sembari mengangguk pelan.

"Yasudah kalau begitu, Ibu bisa meninggalkanmu dengan sedikit tenang" Tambah Bu Mina lagi.

"Iya Bu, Jangan khawatirkan Nara ya. Nara pasti akan jaga kesehatan diri"

Ucap Kinara mengakhiri.

###

"Daaaa Kak Nara"

Teriak seorang bocah begitu nyaringnya dengan melambai girang digendongan seorang wanita paruh baya.

"Sampai jumpa lagi Yusuf.."

Pekik Kinara tak kalah nyaring sembari melambaikan tangan pelan kearah Bu Mina dan Yusuf yang saat ini telah berjalan jauh meninggalkan Rumahnya.

Kinara tetap diam sembari menatap lekat punggung yang kini telah menghilang di telan jarak tersebut.

Dengan tersenyum, ia akhiri pelepasan kepergian Bu Mina dengan legah. Sebelum menutup pintu, ia pastikan kembali bahwa kedua ibu dan anak itu sudah benar-benar tak nampak lagi di pelupuk mata.

Perlahan, pintu kayu lapuk itu tertutup sempurna. Kaki jenjang tersebut pun melangkah menuju bilik tengah, membawa tubuh yang masih rapuh itu ke atas sebuah kasur tipis yang berada di bilik tersebut.

Tok tok tok...!

Suara ketukan pintu terdengar samar

Tubuh yang baru saja terbaring mencari posisi nyaman, kini harus kembali bangkit. Melangkah ke bilik depan guna membukakan pintu.

"Sebentar..!"

Teriak Kinara sembari melangkah cepat.

"Kenapa Bu Mina kembali lagi? Apakah ada barang yang tertinggal?"

Tanya Kinara dalam hati.

"Iya Bu Mina.."

Ucapan Kinara terputus ketika pintu kayu dihadapannya saat ini terbuka sempurna. Menampilkan sosok seseorang yang begitu ia kenal

"Hai, apa kabar?"

Sapa orang tersebut ramah pada Kinara.

.

.

.

BERSAMBUNG***

1
Adinda
lebih baik kinara sama briyan daripada dimas Dan devan
Mendayu Aksara: Yuhu Kak, pantengin terus ya, biar tau akhir cerita Kinara bakal hidup bahagia dg siapa 🙌
total 1 replies
Adinda
cocok la briyan sama kinara Daripada dimas
Roxanne MA
OMG ADA DIL RABA🥰
Mendayu Aksara: Iyaa, cantik banget dia itu, cocok ngewakilin Kinara yg 'kata'nya cantik banget juga
total 1 replies
Roxanne MA
wahh ka alurnya seruu bangett
Mendayu Aksara: Wahh makasih kak ❤
total 1 replies
Mendayu_Aksara
Ngakak sih Briyan ini ada ada ajee
Mendayu_Aksara
ihh samaan nama
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!