Saat gerbang Nether kembali terbuka, Kate Velnaria seorang Ksatria Cahaya terkuat Overworld, kehilangan segalanya. Kekuatan Arcanenya hancur di tangan Damian, pangeran dari kegelapan. Ia kembali dalam keadaan hidup-hidup, tetapi dunia yang dulu dikenalnya perlahan berubah menjadi asing. Arcane-nya menghilang, dan dalam bayang-bayang malam Damian selalu muncul. Bukan untuk membunuh, tetapi untuk memilikinya.
Ada sesuatu dalam diri Kate yang membangkitkan obsesi sang pangeran, sebuah rahasia yang bahkan dirinya sendiri tidak memahaminya. Di antara dunia yang retak, peperangan yang mengintai, dan bisikan kekuatan asing di dalam dirinya, Kate mulai mempertanyakan siapa dirinya sesungguhnya dan mengapa hatinya bergetar setiap kali Damian mendekat.
Masa lalu yang terkubur mulai menyeruak, membawa aroma darah, cinta, dan pengkhianatan. Saat kebenaran terungkap, Kate harus memilih antara melawan takdir yang membelenggunya atau menyerahkan dirinya pada kegelapan yang memanggil dengan manis.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aria Monteza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Semalam bersama Damian
Langit mulai berganti warna, dari biru terang ke jingga keemasan yang membias di antara daun-daun tinggi pepohonan. Angin lembut berembus, membawa aroma rerumputan dan tanah yang menghangat sepanjang siang.
Di atas bukit yang terbuka, Orion dan timnya akhirnya tiba di tempat yang cocok untuk berkemah. Hamparan tanah datar dengan beberapa pohon teduh di sekelilingnya, cukup strategis untuk bertahan semalam dan mengawasi pergerakan dari segala arah. Suara tawa Jasper dan Danzzle terdengar di sela angin, diselingi dentingan peralatan tenda yang dipasang oleh tangan-tangan terampil.
“Pasang di sana,” ujar Orion sambil menunjuk area teduh dekat semak rendah.
Kate ikut membantu, meski sesekali memandang ke arah hutan seolah mencari sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Matanya tampak lebih tenang hari itu, meski tampak kelelahan. Beberapa saat kemudian, suara langkah mendekat terdengar dari arah timur.
Lyra mendekati Kate perlahan, rambutnya yang biasanya dibiarkan terurai kini dikuncir setengah. Tak ada kesombongan di wajahnya, hanya sorot mata yang tenang, mungkin terlalu tenang bagi seseorang seperti Lyra.
“Aku...” Lyra menarik napas sebelum akhirnya menatap Kate. “Aku minta maaf atas tadi siang. Aku terbawa emosi.”
Kate menatapnya lekat, ada sesuatu yang tidak biasa dalam ekspresi Lyra. Bukan palsu, bukan pula penuh rasa bersalah. Namun terlalu terkendali.
Kate mengangguk. “Lupakan saja. Kita semua sedang di bawah tekanan.”
Senyum kecil muncul di bibir Lyra, meski tidak menyentuh matanya. Ia lalu bergabung dengan Jasper dan Danzzle yang tengah membenahi api unggun.
Beberapa menit kemudian, suara langkah berat dan berirama terdengar dari lereng barat. Bayangan panjang bergerak cepat di balik cahaya senja. Kali ini adalah Damian yang datang bersama tiga pengikutnya. Sosok-sosok yang tak kalah mengintimidasi, berpakaian serba gelap dengan lambang asing di dada mereka. Damian mengenakan jubah luar yang longgar, rambutnya yang gelap tertiup angin dengan dramatis. Di bawah sinar matahari terakhir, wajahnya tampak lebih menyerupai makhluk legenda dibanding manusia.
“Tempat yang cukup nyaman.” Damian menilai sekeliling dengan tatapan santai. “Kupikir kami bisa bergabung. Tentu jika kalian tidak keberatan.”
Orion yang tengah memeriksa tenda, berdiri dengan kaku. “Kau tak butuh izin, kan?” Nada suaranya datar, tapi tidak bersahabat.
Damian tersenyum, sinis. “Aku hanya mencoba bersikap sopan.”
Kehadiran Damian membuat suasana yang sebelumnya hangat dan santai, berubah menjadi tegang dan diam. Bahkan Danzzle yang biasanya banyak bicara, kini hanya berpura-pura sibuk dengan kayu bakar. Jasper mencuri-curi pandang, sedangkan Lyra duduk dengan tenang, seolah tidak terganggu sama sekali.
Kate berdiri sedikit di tengah, matanya bergeser ke arah Damian lalu ke Orion. Ia bisa merasakan ketegangan yang menegang di udara, seperti senar busur yang ditarik terlalu lama.
Damian melangkah mendekat ke api unggun, lalu duduk tanpa diminta. Salah satu anak buahnya mulai mendirikan tenda tambahan tak jauh dari area tenda utama. Kate tahu, mereka bukan hanya sekadar ikut bergabung. Damian tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan.
“Jangan terlalu tegang,” ucap Damian sambil melempar senyum tipis ke Orion. “Aku hanya ingin menikmati malam bersama keluarga kecilku.”
Kate menggertakkan gigi, merasa pipinya memanas meski ia menahan ekspresi.
Orion hanya menjawab dengan tatapan dingin. “Terserah. Selama kau tidak membuat masalah.”
“Oh, tentu. Aku hanya membuat kejutan.”
Malam mulai turun perlahan, membalut perkemahan mereka dengan kegelapan yang dihias bintang-bintang pertama. Api unggun menyala perlahan, mengusir dingin dan bayang-bayang, walau tidak cukup kuat untuk menghanguskan ketegangan yang terlanjur tumbuh di antara dua pria yang duduk hanya beberapa langkah berjauhan, terhubung oleh satu sosok yang tak mereka lepaskan yaitu Kate.
***
Malam menjelma seutuhnya. Kabut tipis mulai menyelimuti area perkemahan di puncak bukit, menyusup perlahan ke antara batang-batang pohon dan dedaunan yang bergerak pelan dihembus angin. Di tengah perkemahan, hanya api unggun yang masih menyala, nyalanya menggerakkan bayangan panjang di atas rerumputan.
Kate duduk sendirian, matanya menatap ke dalam kobaran api. Jemari tangannya merapat ke tubuh, mencoba mengusir hawa dingin yang menggigit kulit meski mantel tipis sudah melapisi bahunya. Kemudian langkah lembut terdengar dari belakang.
“Berjaga sendirian?” suara Damian terdengar rendah, seperti bisikan malam.
Kate menoleh cepat, tetapi tak terkejut. Ia seolah sudah tahu pria itu akan muncul.
“Orion bilang aku tak boleh tidur dulu. Giliranku berjaga,” jawab Kate singkat, meski suaranya sedikit bergetar karena dingin.
Damian tersenyum kecil, melirik sekeliling. “Kurasa tidak akan ada yang terganggu kalau mereka tertidur lebih cepat.”
Dengan gerakan halus dan nyaris tak terlihat, Damian mengangkat jemarinya dan meluncurkan energi tipis ke tenda-tenda yang berjajar di sekitar. Aura lembut berpendar sebelum menghilang dalam bisikan udara. Tidak lama kemudian, suara napas perlahan mulai terdengar dari arah tenda. Semua penghuni terlelap, lebih dalam dari seharusnya.
Kate mengerutkan dahi. “Damian, kau…”
“Ssshh,” Damian memotongnya dan duduk di samping gadis itu. “Anggap saja hadiah agar kita bisa berbincang, tanpa gangguan.”
Angin malam bertiup lebih keras. Kate merapatkan mantelnya, tetapi tubuhnya tetap menggigil. Damian mengamati itu dengan tatapan menyipit. Tanpa berkata-kata, ia menarik Kate ke arahnya dan menempatkannya ke pangkuannya, seolah hal itu sudah sering ia lakukan.
“Damian,” protes Kate.
Namun suara itu langsung tenggelam ketika sepasang sayap besar hitam-kebiruan mengembang perlahan dari punggung Damian, membuat Kate merasa lebih hangat. Bulu-bulunya berkilau seperti obsidian di bawah cahaya api.
Kate terkesiap. Bukan karena takut, tetapi karena terpesona. Ia menatap sayap-sayap itu lekat-lekat, lalu secara refleks mengangkat tangannya dan menyentuh bulu-bulu halusnya. Ujung jarinya bergerak pelan dan hati-hati.
“Kau selalu suka menyentuh sayapku,” bisik Damian lembut di telinganya. “Bahkan saat pertama kali kita bertemu di Nether. Meski saat itu kau bilang membenciku, tanganmu berkata lain.”
Kate terdiam. Ia tak menyangkal itu. Bahkan sekarang, hatinya masih diliputi rasa aneh antara takut, marah, tetapi juga hangat dan tertarik.
“Aku tidak tahu kenapa aku tak bisa membencimu sepenuhnya,” lirih Kate. “Padahal aku seharusnya tak sudi duduk bersamamu. Tak sudi merasa nyaman begini.”
Damian tersenyum, lalu menurunkan wajahnya ke sisi Kate berbisik pelan, “Karena kau milikku, Kate. Karena kau dan aku sudah terikat jauh sebelum dunia ini menyadarinya. Kau merasa itu, bukan?”
Kate menggigit bibir, menunduk dalam pelukannya. Ia tidak menjawab, tetapi pelukannya tidak melemah. Sentuhan tangannya di sayap Damian pun tidak berhenti.
Damian menatap langit yang mulai dipenuhi bintang-bintang. “Aku tidak peduli berapa banyak dunia yang harus kulawan. Asal kau tetap di sini dalam jangkauanku.”
Kate menutup matanya sejenak, mendengar detak jantung pria itu dan merasakan kehangatan di sekelilingnya. Ia tahu perasaannya mulai goyah, walaupun ia belum siap mengakuinya. Dan malam itu pun berlalu, dalam diam yang memeluk dua jiwa yang saling bertarung antara benci dan cinta.
***
Pagi itu embun masih menggantung di pucuk-pucuk daun saat Kate membuka matanya. Ia mendapati dirinya masih berada dalam pelukan Damian, tubuh mereka saling berbagi hangat di dalam tenda pria itu. Jantungnya berdegup tak karuan ketika menyadari betapa dekatnya posisi mereka. Damian yang masih setengah sadar hanya menggumam pelan, menarik Kate lebih dekat ke dalam dekapannya.
Kate segera sadar akan situasi yang tak seharusnya. Ia buru-buru bangkit, mengabaikan gumaman dan rayuan malas Damian yang mencoba menahannya agar tetap tinggal. Ia menyibak pintu tenda dan melangkah keluar, udara pagi yang dingin menyambutnya seperti tamparan halus. Namun lebih menyakitkan dari apa pun adalah tatapan Orion yang sudah menunggunya di luar. Tatapan pria itu tajam, penuh selidik dan sesuatu yang lain seperti kemarahan tersembunyi yang belum terucap.
"Aku tidak menemukanmu berjaga semalam," kata Orion dengan nada datar, meski sorot matanya menunjukkan lebih dari sekadar kekecewaan.
Kate baru membuka mulutnya untuk memberi penjelasan saat suara Damian terdengar dari balik punggungnya.
"Dia sudah berjaga," sahut Damian santai sembari meregangkan tubuhnya di pintu tenda. "Setelah itu, giliran pengawalku yang berjaga sampai pagi. Itu sudah cukup bukan? Lagi pula, dia hampir kena hipotermia semalam, sementara kalian semua tidur nyenyak."
Orion memalingkan wajahnya, rahangnya mengeras. Ia tidak menyanggah, tapi jelas sekali bahwa ia tidak suka dengan apa yang baru saja didengarnya. Hatinya memberontak, bukan karena Kate mengabaikan tugas, melainkan karena ia melihat Kate keluar dari tenda pria lain dengan rambut kusut dan pipi masih memerah karena kehangatan yang bukan berasal dari api unggun.
“Bersiaplah,” kata Orion singkat pada Kate tanpa menatapnya. “Kita akan melanjutkan perjalanan.”
Kate mengangguk pelan dan segera bergegas pergi untuk berkemas. Hatinya terasa berat, tetapi ia tahu tak ada penjelasan yang akan bisa menenangkan amarah yang terselubung dalam diri Orion.
Begitu Kate pergi, hanya tersisa dua pria itu berdiri berhadapan dengan ketegangan yang menggantung di udara.
“Jangan permainkan dia,” ucap Orion tanpa basa-basi, nadanya dingin dan penuh peringatan.
Damian menyeringai kecil, seolah ancaman itu hanya angin lalu. “Permainkan?” Ia terkekeh pendek. “Aku tidak bermain-main. Kate adalah milikku, kalau ada yang harus menjaga jarak, itu kau, Orion.”
Tatapan mereka bertabrakan, satu dipenuhi dengan kepemilikan arogan, satu lagi dengan kemarahan yang terpendam.
Di kejauhan Kate berdiri kaku, memandangi mereka diam-diam. Ia bisa merasakan bahwa hari ini, bukan hanya perjalanan yang akan berat dan juga beban yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Sebuah pertempuran yang belum dimulai yang mungkin akan menghancurkan salah satu dari mereka atau dirinya sendiri.
***
Mentari pagi yang mulai meninggi menembus celah-celah dedaunan rimbun, menumpahkan semburat keemasan di atas tanah hutan yang basah oleh embun. Tim Orion bergerak menyusuri jalur sempit yang berkelok di lereng bukit sebelah timur. Kate berjalan di belakang, langkahnya stabil, meski pikirannya masih terganggu oleh pagi yang aneh. Bangun dalam pelukan Damian, menghadapi tatapan tajam Orion, dan dibebani dengan kebisuan yang menggantung di antara mereka semua.
Damian seperti biasa, muncul tanpa aba-aba. Ia menyusul ke barisan belakang dengan langkah malas dan penuh kendali, seakan seluruh dunia hanya sebuah panggung kecil di bawah sepatunya.
"Aku tahu kau tidak tidur nyenyak," ujar Damian tanpa menatap Kate, berjalan beriringan di sisi kirinya. Suaranya lirih, nyaris seperti gumaman yang hanya ditiupkan angin kepada satu jiwa terpilih.
Kate tidak menjawab. Ia menunduk, pura-pura sibuk memperhatikan tanah berlumpur yang mereka lewati.
Damian melirik ke arah Lyra yang berada beberapa langkah di depan bersama Orion dan Jasper. Kemudian pelan, ia mendekatkan wajahnya ke telinga Kate dan berbisik, “Hati-hati pada temanmu itu, Kate. Ia bukan lagi gadis yang sama.”
Kate menghentikan langkahnya sesaat, menatap Damian dengan raut yang menyiratkan kebingungan dan sedikit kemarahan. “Apa maksudmu?”
“Perjanjian sihir Chaos,” jawab Damian datar. “Seseorang telah menandatangani perjanjian dengan makhluk dari Nether. Dan aku mencium bau busuk itu di tubuh Lyra.”
“Tidak mungkin,” balas Kate dengan nada tegas namun pelan. “Lyra memang keras kepala, tapi dia tidak akan…”
Sebelum Kate menyelesaikan kalimatnya, Damian mengangkat satu tangan, jari-jarinya bergerak perlahan dalam pola simbolik. Suatu mantra diam tanpa suara terurai, dan dunia Kate berubah.
Dalam sekejap, penglihatannya melampaui batas-batas kasat mata. Di sekeliling Lyra yang kini tertawa kecil bersama Jasper ada kabut gelap tipis yang mengelilinginya, seperti kabut malam yang bersinar kusam. Aura itu bergulung pelan, menggeliat seperti makhluk hidup yang terikat, tapi masih liar.
Kate terhenyak, matanya melebar. Aura itu bukan hanya sekadar bayangan, tetapi tanda dari perjanjian terlarang.
“Aku tak menyuruhmu membencinya,” Damian berkata pelan, suaranya lebih lembut dari biasanya, “Tapi kau harus waspada. Perjanjian Chaos tak selalu membuat seseorang langsung jahat. Tapi ia mengikis secara perlahan seperti tetesan racun yang tak pernah berhenti menetes.”
Penglihatan Kate kembali normal saat Damian melepaskan sihirnya. Kabut itu menghilang, tetapi kesadarannya akan keberadaannya tak bisa dipadamkan.
Kate menelan ludah, menunduk sejenak, lalu menghela napas panjang. “Apa kau yakin?” tanyanya tanpa menoleh.
“Aku tidak pernah bicara soal Chaos kalau aku tidak yakin,” jawab Damian. “Jika kau masih ingin menjaga teman-temanmu tetap hidup, maka lindungi mereka. Bahkan dari satu sama lain.”
Mereka berjalan dalam diam sesaat. Di depan, Lyra menoleh dan tersenyum ke arah Kate, lalu kembali bercanda dengan Jasper dan Orion.
Kate membalas senyum itu hambar, tetapi kini ada kegelisahan baru yang tumbuh di dadanya. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa benar-benar sendiri di tengah kelompoknya.